Kejahatan dalam Kondisi Mabuk
Reza Indragiri Amriel ;
Alumnus Psikologi Forensik The
University of Melbourne; Berkhidmat di Komnas Anak
|
KORAN SINDO, 09 Mei
2016
”Sesungguhnya setan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
khamar... maka berhentilah kamu (dari perbuatan itu)”
(Al Maidah: 91).
Apa
pun alibi para pelaku, bulat sempurna ekspektasi publik: belasan manusia keji
yang telah menjahati Y, gadis cilik berumur 14 tahun, di Dusun 5, Desa Kasie Kasubun,
Kecamatan Padang Ulak Tanding, Bengkulu, harus dihukum seberat-beratnya.
Terhadap
para tersangka hampir bisa dipastikan akan dikenakan pasal berlapis, yakni
mengonsumsi minuman keras di tempat umum, memerkosa, dan menghilangkan nyawa
manusia. Sepintas lalu, tiga pasal pidana tersebut berkelindan sedemikian
rupa melipatgandakan kemungkinan penjatuhan hukuman maksimal bagi seluruh
tersangka.
Misalnya,
hukuman bagi tersangka dianggap harus diperberat karena, selain memerkosa
korban, pelaku juga menenggak minuman keras. Namun, boleh jadi persoalannya
tidak sesederhana itu, khususnya bagi para tersangka yang masih berada pada
usia kanak-kanak (remaja). Tambahan lagi karena ada pernyataan- pernyataan
kontradiktif antara kapolres dan kapolsek.
Niat Memerkosa
Secara
klasik, setiap perilaku kejahatan diyakini didahului oleh pemunculan niat
jahat. Masalahnya, dalam kasus Bengkulu, kapan sesungguhnya para tersangka
berniat memerkosa korban? Apabila mens rea baru muncul setelah mereka berada
dalam kondisi mabuk, mabuk sebagai penyebab lumpuhnya mental tersangka dapat diajukan
sebagai pembelaan diri.
Sebaliknya,
manakala mens rea untuk memerkosa sudah
timbul saat tersangka masih sadar (sejak sebelum aksi mabuk-mabukan
dilakukan), mabuk tidak bisa dipakai sebagai alibi dan justru merupakan
katalis bagi tindak perkosaan. Kapolres Rejang Lebong mengatakan, para
tersangka membunuh korban setelah memerkosanya beramai-ramai dengan cara
menjatuhkannya ke dalam jurang dengan kondisi dua tangan terikat.
Jika
itu yang terjadi, terpenuhi kriteria bahwa Y adalah korban pembunuhan (murder). Kapolsek Padang Ulak Tanding
punya versi lain. Menurutnya, berdasarkan hasil visum dokter, korban sudah
meninggal saat perkosaan itu masih berlangsung. Atas dasar itu, Y tampaknya bukan
korban pembunuhan. Lebih tepat apabila ia dipandang sebagai korban
penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia (manslaughter).
Mens
rea (niat, intent) dibedakan atas niat spesifik (specific intent) dan niat umum (general intent). Begitu juga di negaranegara yang memberlakukan
pengaturan ketat terhadap minuman keras, hukum memerhatikan secara seksama
keterkaitan antara tindak kriminalitas dan kondisi mabuk (intoxication) pelaku. Pelaku
pembunuhan di sejumlah yurisdiksi karena didahului specific intent dapat menggunakan kondisi mabuk sebagai alibi
untuk meyakinkan hakim agar memberikan keringanan hukuman.
Sebaliknya,
pelaku penganiayaan yang mengakibatkan tewasnya manusia, karena merupakan
manifestasi general intent, tidak diperbolehkan berdalih mabuk untuk maksud
serupa. Demikian pula dalam kasus perkosaan; ketika mabuk menurunkan
kapasitas mental yang ditandai hilangnya kesadaran tentang apa yang tengah
dilakukannya, itu tetap bukan pemakluman yang membebaskan si pemerkosa dari
tanggung jawab meski memungkinkannya untuk mendapat peringanan sanksi.
Ketentuan
di atas kontras dengan keputusan kontroversial Mahkamah Agung Kanada pada
1994. Dalam perkara R melawan Daviault, mayoritas hakim agung berpendapat
bahwa merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi apabila
seseorang didakwa melakukan serangan seksual manakala ia dalam kondisi sangat
mabuk sehingga tidak menyadari dan/atau kehilangan kontrol atas perilakunya
sendiri. Aturan main tersebut berlaku bagi terdakwa yang berusia dewasa.
Tersangka Remaja
Undang-Undang
Perlindungan Anak mencantumkan batasan usia anak yakni sejak individu berada
di dalam kandungan hingga sebelum berumur delapan belas tahun. Karena
beberapa tersangka masih berusia remaja (kanak-kanak),
bagaimana kondisi mabuk tersebut berimplikasi terhadap pertanggungjawaban
mereka secara hukum?
Jawabannya
lebih mendasar daripada sebatas bisa atau tidak kondisi di bawah pengaruh
minuman keras digunakan sebagai unsur peringan hukuman. Bagi remaja,
kehadiran teman sebaya—terlebih yang termasuk dalam kelompok teman
dekat—memiliki makna sangat nyata. Perasaan takut dijauhi teman dan, pada
saat yang sama, kebutuhan untuk memiliki jati diri tertentu sebagai simbol
eksklusif pertemanan mewarnai tindak-tanduk remaja dalam keseharian mereka.
Alhasil,
dalam kejadian di Bengkulu, tidak menutup kemungkinan bahwa para pelaku yang
masih berusia remaja (anak-anak)
ikut-ikutan mengonsumsi minuman keras. Apabila itu yang terjadi, para
tersangka berusia remaja (anak-anak) tersebut sesungguhnya merupakan korban.
Apalagi, karena anak-anak belum memasuki usia kehendak (age of consent), satu-satunya asumsi yang bisa ditegakkan dalam kasus
Bengkulu adalah aksi minum minuman keras hingga mabuk dilakukan para
tersangka remaja (anak-anak) karena ada tekanan atau paksaan dari
tersangkatersangka lain serta tanpa seizin orang tua anak-anak tersebut.
Itulah
yang membedakan antara tersangka dewasa dan tersangka remaja (anak-anak)
dalam kasus Bengkulu kendati mereka terlibat pada seluruh tahapan kejadian
yang sama. Walau secara hukum belum memasuki age of consent, terhadap tersangka remaja (anakanak) itu tetap
perlu diperiksa kondisi kesadaran mereka saat melakukan aksi jahat
berikutnya. Seandainya mereka juga memerkosa dalam keadaan sadar, proses pemidanaan
sesuai Undang-Undang Peradilan Anak tetap harus dijalankan.
Sebaliknya,
ketika kekejian itu mereka tampilkan dalam keadaan mabuk berat sehingga
bahkan secara kognitif mereka sendiri pun benar-benar tidak tahu dan tidak
memahami apa yang mereka lakukan (bahkan mungkin tidak dapat mengingat
perbuatan mereka), ini kian menggenapkan status mereka selaku individu tanpa age of consent.
Tinggal
lagi proses rehabilitasi perlu diselenggarakan guna mencegah mereka masuk
dalam situasi serupa di waktu lain. Wallahualam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar