Urgensi UU Penghapusan Kekerasan Seksual
Agus Riewanto ;
Doktor Ilmu Hukum; Dosen
Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret
(UNS) Surakarta
|
MEDIA INDONESIA,
13 Mei 2016
PUBLIK
dikejutkan lagi dengan kasus yang menimpa Yy, 14, pelajar SMP di Rejang
Lebong, Bengkulu, yang tewas karena diperkosa 14 orang di sebuah hutan.
Peristiwa itu telah mengoyak sisi kemanusiaan. Itulah sebabnya kejahatan
seksual terhadap anak dan perempuan tak bisa dianggap kejahatan biasa, tetapi
kejahatan yang luar biasa (extraordinary
crime). Kejahatan ini selayaknya ditindak dan dicegah dengan merancang
sistem hukum dan sanksi hukuman yang luar biasa pula, seperti yang diusulkan
Presiden Jokowi dengan mengebiri, memublikasikan identitas, hingga menghukum
mati pelakunya (Media Indonesia, 11/5).
Mengapa perlu
UU
Penghapusan Kekerasan Seksual DPR RI juga perlu segera mengesahkan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah diajukan koalisi perempuan dua tahun
yang lalu. Salah satu alasan utama mengapa UU itu diperlukan ialah norma
hukum yang termuat dalam UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak (UU PA)
tidak memberikan kejelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan unsur tindak
pidana eksploitasi seksual. Sanksi hukuman yang disediakan untuk pelaku
kejahatan seksual dalam UU itu pun tak cukup memadai karena hanya berupa
hukuman penjara 3 hingga 15 tahun.
Jika
menggunakan perangkat hukum KUHP, malah hukuman para predator seksual hanya
dikategorikan sebagai perbuatan pencabulan dan sanksi hukumannya hanya
maksimal 9 tahun.
Demikian
pula terhadap UU No 11/2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA),
UU No 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan UU No 23/2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT), dan PP No 4/2006 tentang
Penyelenggaraan dan Kerja sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Itu tak cukup efektif menghukum para predator seksual ini.
Dari
aspek sistemis hukum mengacu pada teori klasik Lawrance L Friedman (1975)
dalam The Legal System a Social Science Perspective, ada tiga aspek yang sangat
menentukan berjalannya sistem hukum yang efektif, yaitu aspek substansi,
struktur, dan budaya hukum. Ketiganya harus berjalan seirama agar dapat
menciptakan sistem hukum yang berkeadilan baik dilihat dari aspek pelaku
maupun korban kejahatan.
Dari
aspek substansi diartikan perlu tersedianya perangkat UU yang memadai bukan
saja dari filosofis, melainkan juga dari aspek pengaturan yang komprehensif
dan holistis. Aspek struktur diartikan perlunya tersedia aparat pelaksana
penegakan UU yang cerdas, jujur, dan berani. Aspek budaya hukum diartikan
perlu kesadaran hukum masyarakat untuk menaati UU tanpa paksaan dan penuh
kesadaran.
Konteks
menindak dan mencegah kejahatan kekerasan seksual pada perempuan dan anak
tidak sekadar mencitakan pranata pemberatan hukuman pada pelaku kejahatan
seksual saja, tetapi juga kesiapan pengaturan multidimensi agar tercipta
keadilan baik dari sisi pelaku maupun korban kekerasan seksual.
Kehadiran
UU yang khusus diciptakan untuk menindak dan mencegah kekerasan seksual ini
sangat mendesak agar tidak terkesan sistem hukum kita hanya bersifat reaktif
ketika merespons kasus-kasus kejahatan seksual, tetapi bersifat permanen,
sistematis, dan berkesinambungan baik dari segi substansi, struktur, maupun
budaya hukum masyarakat.
Problem substansi,
struktur, dan kultur
Di
tingkat substansi, harus dimulai dari pemahaman akan arti dan maksud utama
istilah kejahatan pemerkosaan. Selama ini sistem hukum Indonesia belum
memdefinisikan secara utuh, misalnya yang dimaksud pemerkosaan hanya mengakomodasi
tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk penetrasi penis ke vagina
dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut.
Padahal,
ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan pemerkosaan sehingga perempuan
tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki
definisi sempit atas tindak pemerkosaan.
Dari
aspek struktur, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) belum
menyediakan mekanisme dan prosedur khusus beserta unit-unit darurat untuk menangani
kasus kekerasan seksual.
Dari
aspek budaya hukum masyarakat, banyak penyelenggara hukum mengadopsi cara
pandang masyarakat tentang moralitas dan kekerasan seksual. Akibatnya,
penyikapan terhadap pemerkosaan tidak menunjukkan empati pada perempuan
korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban dan korban mengalami
kekerasan kembali (reviktimisasi).
Substansi
dari UU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual ini kelak akan mengatur aspek
materi pengaturan tentang definisi pemerkosaan yang lebih luas, maksud
kekerasan terhadap perempuan bukan hanya sekadar fisik melainkan juga bujuk
rayu, cabul, dan hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Siapa yang disebut
pelaku kejahatan seksual, kriteria pelaku, kriteria korban kejahatan seksual:
dewasa atau anak-anak. Prosedur dan mekanisme untuk melaporkan jika terjadi
tindak kejahatan seksual yang mudah dan sederhana. UU ini juga akan mengatur
sanksi hukuman yang memadai dan adil dilihat dari aspek kemanusiaan dan
korban.
Itu
sebabnya UU ini dipastikan akan mengatur sanksi untuk pelaku kejahatan agar
tidak hanya dihukum dengan penjara maksimal 20 tahun hingga hukuman mati,
tetapi juga sanksi hukum pada pelaku kejahatan seksual berupa pemberian
restitusi atau ganti rugi materiil kepada korban dan keluarga korban
kejahatan untuk memulihkan sebagian kerugian materiil dan imateriil.
Dari
aspek struktur, UU ini akan mengatur lembaga dan unit yang khusus untuk
menangani kejahatan seksual, termasuk desain pedampingan psikater kejiwaan
dan dokter khusus untuk mendampingi korban kejahatan seksual dengan pendanaan
khusus dari APBN dan pengaturan sistemis hukum dalam memberikan perlindungan
kepada korban dan saksi. Model pembuktian kejahatan seksual tanpa prosedur
yang berbelit seperti dalam KUHAP, tetapi memiliki hukum acara tersendiri
yang sederhana dan mudah.
Dari
aspek kesadaran masyarakat, UU ini diharapkan akan dapat memberikan dorongan
secara sistemis pada peningkatan kesadaran hukum masyarakat tentang perlunya
menciptakan lingkungan sekitar yang ramah pada anak dan perempuan.
UU
ini juga akan mampu menciptakan kesadaran pada lembaga formal dan informal
pendidikan dan sosial untuk merancang gerakan sistematis dan edukasi yang
memadai kepada semua orang dalam anggota organisasi dan masyarakat guna
mendorong hadirnya sikap dan perilaku yang ramah, halus, dan penuh kasih
sayang pada anak dan perempuan.
Sesungguhnya
UU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual ini bukan hal baru. Banyak negara
telah lama memiliki UU sejenis, misalnya saja ada negara yang membuat UU
tentang kejahatan atau kekerasan seksual. Inggris dan Barbados menggunakan
nama Sexual Offences Act. India juga memiliki UU yang sama, tetapi
dikhususkan bagi anak dengan nama The
Protection of Children from Sexual Offences Act 2012.
Ada
pula negara yang membuat UU khusus tentang pemerkosaan. Di Filipina dengan
nama Anti-Rape Act, Bangladesh dengan nama Oppressions Against Women and Children Act. Filipina juga
mengeluarkan kebijakan untuk pemulihan korban pemerkosaan secara terpisah
dengan nama Rape Victim Assistance and
Protection Act. Kemudian ada pula negara yang memiliki UU untuk mengatur
kekerasan seksual di lingkungan kerja, atau ditambah pendidikan dan
pelatihan. Umumnya nama yang digunakan ialah Sexual Harassment in Workplace Act seperti di India, Pakistan,
dan Belize.
Jika
negeri ini nyata memiliki sensitivitas dan kepedulian pada anak dan perempuan
untuk dilindungi dan dicintai karena mereka kelompok khusus dalam masyarakat
yang rentan terhadap potensi kekerasan seksual di tengah budaya masyarakat
yang sangat patriarkat, kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi
keniscayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar