Bentrok Tafsir dalam Kajian Akademis Sastra
Arif Bagus Prasetyo ;
Sastrawan
|
KOMPAS, 07 Mei 2016
Baru-baru ini terbit
buku Sastra dan Politik: Representasi
Tragedi 1965 dalam Negara Orde Baru (2015) karya Yoseph Yapi Taum. Buku
ini menyoroti politik ingatan Orde Baru tentang tragedi 1965. Secara
besar-besaran, sistematis, dan kontinu, rezim Orba menciptakan dan
memasyarakatkan berbagai representasi tentang tragedi 1965, mulai dari
pemberitaan G30S di harian Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata, penerbitan
buku sejarah, sampai produksi film Pengkhianatan
G30S/PKI.
Dalam berbagai
representasi resmi itu, komunis ditabalkan sebagai pengkhianat bangsa,
tragedi 1965 diingat secara terbatas pada pembunuhan petinggi militer pada 30
September 1965, dan pembantaian massal terhadap tersangka komunis serta
pelanggaran hak asasi manusia pasca G30S dilupakan.
Sastra bangkit melawan
politik ingatan Orba itu. Dalam kajian Yoseph, sepuluh cerpen bertema tragedi
1965 yang muncul pada 1966-1970 melakukan perlawanan gelombang pertama,
terdiri dari "perlawanan keras", "perlawanan pasif", dan
"perlawanan humanistik". Perlawanan dilancarkan dengan
"memberikan simpati yang sangat tinggi terhadap orang-orang komunis atau
mereka yang memiliki kaitan dengan orang-orang komunis".
"Secara umum," simpul Yoseph, "sastra Indonesia pada periode 1966-1970 menampilkan sikap yang
berbeda dari sikap aparat dan mainstream pada waktu itu, yang secara gencar
melakukan pembunuhan dengan sistem 'tumpas kelor' (pembasmian sampai ke
akar-akarnya) terhadap anggota PKI dan keluarganya.. Yang mencuat secara
sangat dominan dalam karya-karya sastra 1966-1970 adalah konstruksi wacana
tandingan yang melakukan perlawanan terhadap hukuman, siksaan, dan pembunuhan
anggota PKI, khususnya pembunuhan terhadap orang-orang yang dipandang tidak
bersalah. Wacana tandingan menolak dan memprotes pembunuhan yang kejam itu
disampaikan melalui sudut pandang tokoh-tokoh cerita."
Yoseph bukan sarjana
pertama yang membahas cerpen-cerpen tragedi 1965 pada periode 1966-1970. Dua
tahun sebelum buku Sastra dan Politik terbit, empat dari cerpen-cerpen yang
dibahas Yoseph telah dianalisis oleh Wijaya Herlambang dalam buku Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana
Orde Baru Melegitimasi Anti Komunisme Melalui Sastra dan Film (2013).
Empat cerpen itu adalah "Pada Titik Kulminasi" (Satyagraha Hoerip,
1966), "Perempuan dan Anak-anaknya" (Gerson Poyk, 1966),
"Perang dan Kemanusiaan" (Usamah, 1969), dan "Ancaman"
(Ugati, 1969).
Meskipun spirit
ideologis dan sebagian isi buku Wijaya mirip dengan buku Yoseph, analisis
Wijaya terhadap empat cerpen itu menghasilkan simpulan yang mutlak
bertentangan dengan simpulan Yoseph. Menurut Wijaya, keempat cerpen tersebut
(ditambah dua cerpen lagi yang tidak dibahas Yoseph) "adalah bentuk
justifikasi atas kekerasan yang dialami kaum komunis, dengan cara
memanipulasi gagasan humanisme yang didasarkan pada konflik psikologis para
tokohnya, untuk membuat pembaca bersimpati kepada para pembunuh ketimbang
pada para korbannya".
Sama seperti Yoseph,
Wijaya memusatkan analisis cerpen pada sudut pandang tokoh cerita. Ia
membedah konflik psikologis dan membongkar manipulasi ideologis dalam empat
cerpen itu. Namun, apa yang dilihat oleh Yoseph secara positif sebagai
simpati yang sangat tinggi dari para cerpenis terhadap korban tragedi 1965
justru dipandang negatif oleh Wijaya.
"Dengan menggambarkan tokoh-tokoh anti komunis itu sebagai
kaum humanis sejati yang bersimpati dan menolong keluarga komunis, sementara
pada saat yang sama menghujat komunisme dan simpatisannya, karya-karya ini
memaksa pembaca untuk menerima bahwa pahlawan yang sesungguhnya adalah mereka
yang terlibat dalam pembunuhan massal kaum komunis," kata Wijaya. "Apa yang terlihat sebagai simpati
kepada keluarga korban pembantaian ternyata merupakan simpati terhadap
penderitaan psikologis pelaku pembantaian sendiri yang disebabkan oleh
kesaksian mereka terhadap siksaan yang mereka lakukan terhadap para
korban."
Dua kajian
Dua kajian dari dua
sarjana tentang cerpen-cerpen yang sama ternyata membuahkan hasil yang tidak
saja berbeda, tetapi bahkan berkebalikan secara sempurna, bagaikan bumi dan
langit. Sastra dan Politik dan Kekerasan Budaya sama-sama kritis terhadap
hegemoni politik-budaya rezim Orba, sama-sama buku yang berasal dari
disertasi doktoral di perguruan tinggi ternama (Universitas Gadjah Mada dan
University of Queensland, Australia), dan sama-sama menganalisis sudut
pandang tokoh cerpen terhadap tragedi 1965. Namun, kesamaan itu ternyata
justru membuka jalan bagi perbedaan tafsir yang sangat tajam tentang makna
karya sastra yang sama. Bagaimana kita mesti menanggapinya?
Para penganut paham
"kematian pengarang" Barthes pasti menganggap wajar kasus bentrok
tafsir ini atau bahkan meniscayakannya. Setelah Barthes (dan Derrida), makna
suatu teks (karya sastra) bukanlah sesuatu yang ditanam pengarang dalam
karyanya, melainkan diproduksi oleh pembaca melalui praktik pembacaan.
Produktivitas teks inilah yang membuka kemajemukan tafsir karena tafsir yang
berbeda-beda dari setiap pembaca niscaya merupakan bagian integral dari
produksi makna teks. Suatu teks tidak pernah bermakna tunggal dan tidak ada
satu makna yang dapat diklaim paling benar atau lebih benar daripada makna
lain.
Namun, terlepas dari
filosofi Barthesian atau Derridaian yang merayakan pluralitas makna, rasanya
ada yang meresahkan dalam kasus bentrok tafsir cerpen tragedi 1965 antara
Yoseph dan Wijaya. Pasalnya, perbedaan tafsir mereka memiliki efek etis.
Tragedi 1965 adalah petaka kemanusiaan mahadahsyat yang meminta begitu banyak
korban manusia dan dampak buruknya terasakan sampai hari ini. Secara tidak
langsung tafsir Yoseph meletakkan para sastrawan penulis cerita tragis itu di
barisan "pahlawan kemanusiaan", sedangkan tafsir Wijaya menaruh
mereka di deretan "penjahat kemanusiaan". Situasinya lebih
merisaukan lagi jika kita ingat bahwa kini para pengarang tersebut telah
"tiada", dalam arti wafat atau tidak kedengaran lagi gaungnya, dan
cerpen mereka pun sulit diakses publik. Untuk menambah masalah, baiklah kita
ingat juga bahwa baik Yoseph maupun Wijaya adalah pendidik sehingga
berpotensi mengajarkan "kebenaran" tafsir masing-masing yang
berseberangan itu kepada anak didik.
Kasus bentrok tafsir
Yoseph versus Wijaya secara dramatis menunjukkan bahwa kajian akademis yang
menelaah karya sastra, tanpa menyelidiki riwayat pengarang, ternyata
berpotensi menerakan moralitas tertentu pada pengarang. Mungkin kalangan
akademis perlu memikirkan kembali model kajian sastra "politis", seperti
yang diterapkan Yoseph dan Wijaya, dan konsekuensi moral-etisnya.
Mungkin Yoseph dan
Wijaya perlu dipertemukan dalam diskusi terbuka agar masyarakat dapat lebih
arif menyikapi temuan ilmiah mereka tentang cerpen tragedi 1965. Sayang
sekali, Wijaya telah berpulang ke haribaan Tuhan, hanya selang dua bulan
setelah buku Yoseph terbit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar