Ekologi Nurani
Budi Widianarko ;
Guru Besar di Program Magister
Lingkungan dan Perkotaan, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang
|
KOMPAS, 07 Mei 2016
Dalam Sarasehan
”Perempuan Membaca Amdal” di kampus Unika Soegijapranata, Semarang, 21 April
2016, hadirin terpukau mendengar tutur kata lugas nan runtut dua perempuan
Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, yang menolak kehadiran pabrik semen di
kampung mereka.
Dengan menggunakan
bahasa Jawa sederhana, Gunarti (Pati) dan Sukinah (Rembang) menyampaikan
dengan jelas dan masuk akal dampak kehadiran pabrik semen terhadap
perikehidupan mereka selaku petani. Pandangan mereka menarik untuk
disandingkan dengan isi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal)
yang disusun para pakar.
Bagi kedua perempuan
itu, bumi Kendeng—yang mereka sebut sebagai Ibu Bumi—adalah sang Ibu Pemberi
kehidupan bagi petani, peternak, anak-anak, pepohonan, dan burung. Oleh
karena itu, manusia harus membalas budi Ibu Bumi dengan merawatnya dan
menyedekahinya—bukan merusaknya dengan penambangan bahan semen. Kedua
perempuan itu menyuarakan kekhawatiran akan musnahnya sumber-sumber air oleh
operasi pabrik semen yang akan membuat mereka tidak bisa bertani lagi.
Begitu sederhana,
tetapi gamblang, kearifan lokal yangmereka pegang dengan penuh keyakinan itu.
Mereka yang mempelajari keberadaan dan pemanfaatan ekosistem karst menurut
cara kerja ilmu pengetahuan modern yang sarat kaidah ilmiah—seperti para
pakar penyusun dokumen amdal—sangat boleh jadi memandang sebelah mata pemahaman
kedua perempuan itu. Dalam perkembangan pengetahuan ilmiah yang kompleks dan
terstruktur ketat, pemahaman Gunarti dan Sukinah terkesan dangkal. Bukankah
terlalu naif jika penolakan eksploitasi ekosistem karst oleh industri semen
hanya didasarkan pada prinsip balas budi kepada Ibu Bumi, sang Ibu Pemberi?
Ketegangan antara ilmu
pengetahuan dan kearifan lokal bukan hanya kisah di Pegunungan Kendeng. Kisah
serupa pernah terjadi di Hongkong pada tahun 1965, seperti dicatat oleh
Anderson, antropolog Universitas California Riverside. Ketika itu berlangsung
pembangunan rumah sakit di lereng curam yang menghadap ke teluk Castle Peak.
Atas pembangunan di lokasi ekstrem itu, warga setempat spontan berkomentar
”Ini sungguh berbahaya, fondasi rumah sakit itu memotong urat nadi sang
Naga”.
Peringatan itu
mewakili keyakinan warga setempat tentang keberadaan makhluk naga yang hidup
dalam tanah di lereng perbukitan itu. Tanpa memerlukan waktu lama, peringatan
itu terbukti. Fondasi rumah sakit yang baru selesai ditanam roboh diterjang
longsoran tanah dari atasnya. Fondasi itu tumbang setelah Hongkong dihajar
taifun yang disusul hujan lebat selama beberapa hari. Atas peristiwa itu,
warga setempat berujar: ”Lihat! ini pasti terjadi karenanadi sang Naga telah
dipotong”. Mungkin sebagian orang menganggap apa yang dipahami warga teluk
Castle Peak itu sebagai takhayul belaka. Namun, sebagai sebuah sistem
pengetahuan, kearifan lokal itu terbukti mampu bekerja dengan baik dengan
memberikan ramalan yang tepat.
Saling melengkapi
Dalam
perkembangannya—seperti diungkapkan Monica Hernandez-Morcillo dkk dalam
Journal Environment (Januari-Februari 2014)—pengetahuan ekologi tradisional
semakin diperhitungkan dalam pengembangan ilmu, kebijakan, dan manajemen
lingkungan. Meskipun berbeda, pengetahuan ilmiah (PI) dan pengetahuan ekologi
tradisional (PET) dianggap saling melengkapi dan memperkaya dalam upaya
memperbaiki proses pengambilan keputusan lingkungan dan pemahaman tentang
keberadaan serta dinamika ekosistem.
PET tidak hanya
diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya saja. Karena melekat erat
pada perilaku sehari-hari warga, transmisi PET bisa terus-menerus dan meluas.
Terlebih lagi, PET juga terdokumentasi sebagai naskah tertulis dan berbagai
media baru. Lebih jauh warga lokal juga telah mampu secara dinamik
mengombinasikan PET secara tradisional dan oral dengan pengetahuan ekologi
populer serta ilmiah—sebagai exogenous
knowledge.
Integrasi PI-PET
Kemampuan untuk
mengombinasikan dua sistem pengetahuan itu juga terbaca dari paparan Gunarti
dan Sakinah tentang dampak pabrik semen. Mereka menggabungkan ajaran untuk
setia kepada Ibu Bumi, sebagai sang Ibu Pemberi, dengan elemen-elemen
pengetahuan ilmiah seperti daya dukung ekosistem, cekungan air tanah, dan
rencana tata ruang dan wilayah—yang mereka peroleh dari pertukaran wacana
dengan para pelaku pengetahuan ilmiah.
Kesenjangan pemahaman
dan keyakinan antara para pakar penyusun amdal dan warga setempat—yang
diwakili dua perempuan itu—menunjukkan tiada pihak yang bisa memonopoli kebenaran.
Apalagi dua pihak yang ”bersitegang” menghidupi dua sistem pengetahuan yang
berbeda, yaitu PI dan PET. Dalam hal ini, kebenaran tidak tunggal, tetapi
beragam. Sudah selayaknya, pelaku PI tidak terlalu menganggap remeh PET.
Dalam persoalan lingkungan,
sebenarnya kedua jenis pengetahuan ini justru perlu diselaraskan—tetapi
sayangnya kesadaran untuk itu sering terlambat. Sebagai ”adik”, PI sering
tidak memperhitungkan muatan kebenaran dalam PET, sang ”kakak”. Anderson
(1996) menyarankan cara kerja PI hendaknya diubah untuk mengakomodasi
kebenaran sistem pengetahuan lain, termasuk PET.
Dalam ancangannya, PI
harus secara lambat laun mengakumulasi berbagai pengamatan yang bermanfaat
dan meramunya dengan teori-teori yang kokoh. Menurut Anderson, pengamatan
dibuat untuk diperbaiki dan dilengkapi; teori diciptakan untuk dirubuhkan dan
diganti. Singkatnya, ilmu pengetahuan terdiri dari pertanyaan-pertanyaan dan
peranti-peranti untuk menjalankan observasi dan menciptakan teori—bukan
kebenaran mutlak.
Penolakan hasil studi
ilmiah, seperti amdal, oleh masyarakat lokal yang mengandalkan kearifan lokal
haruslah dipandang sebagai sebuah tantangan untuk berlangsungnya integrasi PI
dan PET. Dalam kerumitan persoalan lingkungan, keragaman kebenaran adalah
sebuah keniscayaan. Berbagai kebenaran harus bisa hidup berdampingan. Jika
ini disadari oleh para pengambil kebijakan, banyak ketegangan lingkungan yang
bisa diatasi dengan mencari titik temu, bukan dengan kepongahan sistem
pengetahuan (ilmiah) yang sedang berkuasa. Keselarasan antara ilmu
pengetahuan dan kearifan lokal akan menorehkan wajah ekologi yang peka pada
panggilan nurani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar