Anak dalam Pemberitaan Kriminal
Ignatius Haryanto ;
Pengajar Jurnalistik di
Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Serpong
|
KOMPAS, 13 Mei 2016
Akhir-akhir
ini kita menjumpai banyak pemberitaan mengenaskan menyangkut kriminalitas
terhadap anak. Kasus terakhir menyangkut seorang remaja putri asal Bengkulu,
Yy, yang meninggal karena diperkosa 14 pemuda, awal Mei lalu.
Kekerasan
terhadap anak menunjukkan angka yang makin tahun kian tinggi. Tak kalah
mengkhawatirkan, anak sebagai pelaku kriminal pun menunjukkan peningkatan
yang tak sedikit. Namun, yang tak kalah memprihatinkan adalah bagaimana media
di Indonesia memberitakan permasalahan ini.
Terhadap
kasus Yy, kita melihat banyak media tergopoh-gopoh menjelaskan dan
menjabarkan peristiwa ini, tetapi tak cukup hati-hati untuk menjaga dampak
dari pemberitaan seperti ini. Baik itu dilakukan media cetak, media daring,
maupun televisi. Ada media yang hendak menunjukkan simpatinya kepada anak,
ada pula yang hanya menekankan unsur sensasi dari peristiwa ini. Lebih ramai
lagi ketika sejumlah posting di media sosial ikut menambah kisruh soal ini.
Identitas anak
Pasal
5 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan, "Wartawan Indonesia tidak
menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan
identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan." Dalam penafsiran atas
Pasal 5 disebutkan: "Identitas adalah semua data dan informasi yang
menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak."
Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik menyentuh dua
aspek: anak sebagai korban kejahatan dan anak sebagai pelaku kejahatan.
Keduanya harus mendapatkan perlindungan dalam bentuk penyamaran identitas
anak tersebut. Dasar pemikiran di belakangnya adalah bahwa anak adalah
manusia yang masih memiliki masa depan, dan akan sangat memberatkan dirinya
di masa mendatang.
Pertanyaannya sekarang, apa saja yang
dimaksud sebagai "semua data dan informasi yang menyangkut diri
seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak"? Jika ini menyangkut
tentang anak, apa saja identitas yang melekat pada dirinya yang perlu
dilindungi? Apakah hanya jati diri si anak? Lalu bagaimana keluarga si anak
(apakah juga perlu dilindungi)? Apakah penyebutan alamat tinggal si anak juga
merupakan bagian dari identitas? Apakah penyebutan nama sekolah juga bagian
dari identitas? Kemudian, yang juga jadi problematika: ketika si anak
meninggal dunia akibat kekerasan, apakah lalu serta-merta identitas boleh
ditampilkan (nama disebut terang dan juga pemuatan foto dirinya semasa
hidup)?
Akar masalah
Dalam
penelitian skripsi yang dilakukan Lidya Caroline dari Jurusan Jurnalistik,
Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang (2016), bahwa media
cetak lokal di Jakarta menunjukkan ketidakkonsistenan dalam upaya
perlindungan anak sesuai dengan Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik tersebut.
Upaya
untuk melindungi anak terkadang dilakukan, tetapi kerap juga dua media cetak
lokal yang diteliti menunjukkan tindakan sebaliknya. Hal ini terjadi karena
ada rumusan yang tak cukup detail dari Kode Etik Jurnalistik, khususnya
menyangkut soal identitas dan cara pandang yang berbeda dari para redaktur
media tersebut dibandingkan sikap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
dan Dewan Pers.
Redaktur
satu media lokal yang diwawancarai Lidya mengatakan bahwa mereka berpatokan
pada rumusan Dewan Pers soal "menyiarkan identitas korban kejahatan
susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan". Namun, apakah perlindungan ini menyangkut juga perlindungan
terhadap keluarga korban, sekolah di mana korban pernah belajar, tak ia
perhitungkan.
Sementara
KPAI mengatakan bahwa semua hal yang memungkinkan orang mengidentifikasi anak
sebagai korban tersebut harus dilindungi (nama anak, foto, keluarga, dan
sekolah). Adapun pihak Dewan Pers mengatakan pemuatan foto anak harus dilihat
dalam konteksnya masing-masing. Jika ada anak yang hilang (belum tentu
meninggal), pemuatan foto menjadi alat untuk bisa mempermudah pencarian dan
penyelamatan anak dilakukan berbagai pihak.
Kemudian,
juga menarik mendengar pandangan yang menyangkut jika anak meninggal dunia
akibat tindak kriminal tersebut, apakah fotonya dan namanya lalu boleh
ditampilkan jelas? Redaktur media lokal mengatakan hal itu dilakukan di
medianya, pihak KPAI pun menyetujui hal tersebut dengan asumsi bahwa anak
yang telah meninggal tak memiliki masa depan lagi. Pihak Dewan Pers tidak
setuju karena pemuatan foto tetap memberikan stigma kepada keluarga yang
ditinggalkan.
Jurnalisme empati
Tentu
saja diskusi ini perlu lebih diperdalam dan penajaman terhadap Kode Etik
Jurnalistik perlu dilakukan dengan melihat sejumlah perkembangan baru ini.
Terlepas dari rumusan apa yang nanti diambil, tetapi rasanya hampir semua
pihak akan setuju bahwa dalam meliput peristiwa seperti ini media harus
mengambil sikap empati kepada korban dan keluarganya.
Jurnalisme
empati adalah konsep yang dikemukakan Ashadi Siregar (2002) ketika ia merujuk
pada kritiknya terhadap media massa di Indonesia yang melakukan peliputan
atas situasi penyebaran virus HIV/AIDS, yang kerap menaruh posisi penderita
atau pengidap virus ini dalam kondisi yang dikorbankan. Untuk melawan kondisi
tersebut, Ashadi Siregar mengutarakan gagasan soal jurnalisme empati agar
para peliput peristiwa ini lebih memiliki perhatian terhadap mereka yang diliput,
sehingga tidak jatuh pada suatu penghakiman sepihak atas korban.
Walau
sedikit berbeda konteks, esensi jurnalisme empati tetap bisa digunakan di
sini, yaitu bagaimana media bisa menaruh dirinya pada posisi si korban, dan
untuk tidak melakukan penghakiman terhadap korban. Untuk itu, penulis kira
penekanan pada jurnalisme empati inilah yang harusnya jadi nada dasar
peliputan terhadap anak dalam pemberitaan kriminal ini, baik oleh media
cetak, media daring, maupun televisi (terutama karena gambar lokasi rumah
korban atau sekolah korban kerap ditampilkan). Dan, ada baiknya juga bagi
mereka yang menulis lewat media sosial juga memiliki empati atas persoalan
ini karena persebaran posting media sosial tak kalah cepat dan tak kalah luas
dibandingkan pemberitaan dari media-media di atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar