Nasib Tanah Suci Mekkah-Madinah
Ibnu Burdah ;
Pemerhati Timur Tengah dan
Dunia Islam;
Dosen Kajian Timur Tengah
Pascasarja UIN Sunan Kalijaga
|
KOMPAS, 13 Mei 2016
Kementerian
Dalam Negeri Arab Saudi, 5 Mei 2016, menyatakan polisi menembak mati dua
teroris di Mekkah bagian selatan. Sementara beberapa teroris lainnya
ditangkap. Sel teroris itu diberitakan hendak melakukan penyerangan di kota
suci umat Islam, Mekkah. Beruntung, rencana serangan itu dapat
digagalkan. Sel teroris ini diduga bermaskas
di antara kota Mekkah dan Thaif. Diduga kuat mereka adalah sel NIIS (Negara
Islam di Irak dan Suriah) yang berada di Kerajaan Arab Saudi.
Bagaimana
nasib dua Tanah Suci umat Islam, Mekkah dan Madinah-khususnya Masjid Haram
dan Masjid Nabawi-pasca gelombang kekerasan di sejumlah negara di Timur
Tengah, menjadi pertanyaan menarik. Sejauh ini keamanan dua kota suci ini
dapat dikontrol oleh pihak keamanan kerajaan. Gangguan terhadap keamanan yang
menyolok bersifat kecelakaan saja, terutama pada saat puncak pelaksanaan
ibadah haji. Gelombang kekerasan beberapa tahun terakhir biasanya terjadi di
luar Tanah Suci, terutama di masjid-masjid Syiah di provinsi bagian timur.
Cermin keragaman
Namun,
peristiwa di atas semakin menunjukkan bahwa Tanah Suci juga jadi target.
Sumber ancaman juga bukan hanya insiden, tetapi ancaman sistematis dari
kelompok-kelompok ektremis, seperti NIIS. Kelompok semacam ini mengincar
Tanah Suci sebetulnya mudah
dimengerti. Bagaimanapun, ketika mereka melakukan sesuatu di Tanah Suci,
perhatian orang akan semakin besar terhadap mereka. Hal ini sangat penting
bagi kelompok yang ingin menegaskan eksistensinya itu. Dan, yang lebih
penting, gangguan terhadap tempat suci akan melahirkan kekacauan yang lebih
parah di kawasan itu dan berpengaruh luas di dunia Islam. Kekacauan adalah
surga kelompok ekstremis untuk memperbesar kelompok.
Namun,
diskusi tentang nasib dua Tanah Suci sebenarnya sudah lama menjadi
perbincangan. Sejak lama, diskusi tentang siapa seharusnya pengelola kedua
Tanah Suci itu menjadi persoalan. Sebelum Dinasti Saud dari Najd menaklukkan
wilayah itu, siapa pun yang berkuasa selalu memberikan kekuasaan otonom
kepada para syarif (syurafa') di Mekkah dan Madinah. Syarif adalah keturunan
Nabi Muhammad SAW yang secara turun-temurun memerintah kota Mekkah dan
Madinah. Karena itu, pemerintahannya
disebut dengan nidzam al-Syurafa' (pemerintahan para syarif).
Dalam
pemerintahan ini, kehidupan keagamaan di dua Tanah Suci itu mencerminkan
keragaman umat Islam. Misalnya, dalam bidang fikih, para imam masjid dan
ulama yang mengajar di Masjid Nabawi dan Haram terdiri dari berbagai mazhab,
baik Syafi'i, Hambali, Hanafi, maupun Maliki. Mereka secara bergilir menjadi
imam di Masjid Haram dan Nabawi. Demikian pula terkait kajian keislaman, mereka
memperoleh porsi hampir sama.
Banyak
ulama dari berbagai penjuru dunia Islam yang mengajar di sana. Dari Indonesia
pun, sejumlah nama tenar tercatat mengajar di Tanah Suci. Di antaranya yang
paling dikenal Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz at-Turmasi, Syekh Ihsan
Jampes, dan masih banyak deretan ulama Nusantara yang lain. Mereka umumnya
menggunakan gelar daerah-daerah di Nusantara, seperti al-Jawi dan al-Fadani.
Itu
tentu membuat kita sebagai bangsa sangat bangga memiliki ulama yang jadi
rujukan umat Islam sedunia dan mengajar di Tanah Suci. Hal yang sama tentu
dirasakan umat Islam lain dari Maroko hingga Asia Tenggara. Mereka merasa
menjadi bagian dan memiliki Mekkah dan Madinah.
Terusir dari Tanah Suci
Namun,
semuanya berubah pasca Bani Saud merebut paksa dua kota suci itu dari tangan
para syarif. Para keturunan Nabi itu kemudian diusir dari Tanah Suci. Dan,
kekuasaan atas dua Tanah Suci itu sepenuhnya di tangan penguasa baru yang
menggandeng gerakan Muhammad bin Abdul Wahab. Umat Islam di Indonesia ataupun
di tempat lain biasa menyebutnya dengan gerakan Wahabi kendati mereka sendiri
menolak sebutan itu.
Imam
masjid dan ulama di luar mazhab Hambali terusir dari Tanah Suci. Mekkah dan
Madinah tak lagi menjadi pusat kajian keislaman di mana para ulama besar dan
jadi rujukan mengajar. Pada perkembangannya, praktik keagamaan yang
diperbolehkan juga dipersempit, yaitu harus berdasarkan mazhab Hambali versi
Ibnu Taymiyyah yang dikristalkan oleh Bin Baz.
Namun,
gerakan anti syirik dan bidah pun diterjemahkan dalam tindakan
"brutal", seperti membongkar makam- makam para sahabat Nabi SAW dan
situs-situs bersejarah lain. Makam Nabi pun hampir dibongkar jika tak ada
seruan dari dunia Islam untuk mengurungkannya.
Sekarang
sulit sekali menemukan situs-situs berharga di dua kota tempat umat Islam
mula-mula itu. Padahal, usia sejarah Islam relatif muda, baru sekitar 14
abad. Sementara situs-situs nabi-nabi lain yang jauh lebih tua, misalnya, di
Palestina dan Israel, masih terpelihara dengan baik. Di negara-negara lain,
seperti Irak dan Suriah, situs-situs itu terancam karena perang dan kelompok
ekstremis NIIS.
Tanah
Suci milik semua umat Islam pun dikuasai satu keluarga. Umat Islam yang
datang ke Mekkah dan Madinah pun harus sepenuhnya mengikuti aturan yang
ditetapkan secara sepihak oleh sang penguasa. Benar bahwa Mekkah dan Madinah
saat ini dibangun seolah jadi kota metropolitan di Eropa, megah luar biasa.
Namun, pemberangusan terhadap keragaman umat Islam jadi masalah yang serius
saat ini dan tak bisa ditutupi dengan modernisasi kota itu secara masif.
Apalagi haji dieksploitasi habis-habisan untuk mengampanyekan paham Wahabi
kepada seluruh umat Islam dari penjuru dunia. Brosur, pamflet, buku cetakan,
CD video, dan lainnya yang berisi propaganda paham itu disebar sedemikian
masif di kalangan jemaah haji dan dibawa pulang ke negara masing-masing yang
kemudian membawa dampak tak sederhana.
Jemaah
yang bisa membaca dan kebetulan praksis keagamaannya diserang habis-habisan
tentu merasa tidak nyaman. Sebagian besar umat Islam dari Maroko sampai
Indonesia masuk dalam kategori ini: kalau tidak syirik , ya, bidah. Apalagi
kaum Syiah yang terlihat begitu menyolok ketika memberi penghormatan terhadap
situs-situs penting dalam sejarah Islam. Mereka mungkin meratapi apa yang
terjadi di Arab Saudi.
Penulis
sendiri bersama sejumlah jemaah haji dari Yogyakarta pernah meminta
kesempatan kepada seorang imam untuk melangsungkan doa bersama di salah satu
masjid di Mekkah untuk para korban gempa Yogyakarta 2010. Akan tetapi, dengan
alasan apa pun, mereka tidak mau menerima permohonan itu. Sebab, doa yang
dibaca dikhawatirkan berbeda dengan kelaziman yang dibaca para imam dan dai
Arab Saudi. Imam dan dai di Arab Saudi sepenuhnya dalam kontrol pemerintah.
Sungguh
memprihatinkan, di Tanah Suci milik seluruh umat Islam itu, perbedaan dan
keragaman justru dipandang sebagai ancaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar