Gawat Darurat Kekerasan di Sekolah
Retno Listyarti ;
Praktisi Pendidikan; Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia
|
KOMPAS, 12 Mei 2016
Tepat
pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2016, kita dikejutkan dua
berita besar terkait kekerasan pada anak. Pertama, kasus tewasnya Yuyun,
siswi SMP berusia 14 tahun yang diperkosa dan dibunuh 14 pemuda di Rejang
Lebong, Bengkulu. Dua di antara pelaku adalah teman sekolah korban. Kedua,
kasus video perundungan (bullying)
siswa senior terhadap siswa yunior SMAN 3 Jakarta. Korban tidak hanya
”dimaki”, tetapi juga ”dipaksa” merokok.
Kedua
kasus tersebut menambah panjang daftar kekerasan pada anak. Meski tidak
menimbulkan korban jiwa sekalipun, setiap kasus kekerasan pasti menimbulkan
traumatik bagi anak. Meski tidak mengalami kekerasan fisik, tetapi
perundungan berdampak sangat berbahaya bagi perkembangan anak.
Tak lagi jadi ”taman”
Berbagai
kasus perundungan yang terjadi di sekolah membuktikan sekolah tidak lagi jadi
tempat yang aman dan nyaman bagi siswa. Hal ini diperkuat dengan hasil
penelitian yang dilakukan Plan
International dan International
Center for Research on Women pada 2014, yang mengungkapkan bahwa 84
persen siswa atau 7 dari 10 siswa di Indonesia pernah mengalami kekerasan di
sekolah, di mana 43 persen di antaranya tak melakukan apa pun saat melihat
tindak kekerasan di sekolah.
Kisah
tewasnya Ringgo, siswa SDN 09 Makassar, Jakarta Timur, 2014, jadi contoh
bahwa sekolah tak lagi aman bagi anak. Penganiayaan pada Ringgo oleh kakak
kelasnya terjadi di kelas pada jam istirahat dan disaksikan beberapa teman
kelasnya. Namun, tidak ada siswa yang berani mencegah, bahkan mereka takut
melaporkan ke gurunya.
Setahun
kemudian, terjadi kembali kasus siswa SD tewas karena kekerasan fisik yang
dilakukan teman sekelasnya. Kali ini menimpa siswa SDN 07 Pagi Kebayoran Lama
Utara, Jakarta Selatan. Peristiwa itu terjadi pada saat sedang berlangsung
lomba menggambar dan mewarnai di sekolah tersebut. Sulit dibayangkan bahwa
hal ini terjadi di lingkungan sekolah, pada jam sekolah dan pada jenjang SD.
Di
luar kekerasan yang bersifat fisik, anak-anak juga berbagi tentang penggunaan
kata-kata yang mempermalukan, bahasa kekerasan, dan bentuk-bentuk emosional
lain yang menjadikan sekolah tak lagi aman dan nyaman buat peserta didik.
Contohnya,
kasus di Bekasi, korban perundungan bahkan sampai bunuh diri karena merasa
tertekan dan malu karena terus-menerus diejek ”anak tukang bubur”. Guru dan
wali kelas mengetahui ejekan tersebut, tetapi tidak peka untuk menghentikan
sehingga korban yang secara psikis tertekan tidak merasa mendapatkan empati
dari orang dewasa di lingkungan sekolahnya. Korban pun putus asa sampai
kemudian memutuskan mengakhiri hidupnya.
Di
berbagai kasus, kekerasan jadi hal biasa, dan itu menjadi normal bagi
anak-anak, di mana mereka tak melaporkan perilaku itu dan tidak menganggapnya
sebagai satu kesalahan. Di Yogyakarta, misalnya, kasus kekerasan yang dialami
seorang siswi oleh beberapa siswi teman sekolahnya hanya gara-gara atribut ”hello kitty” yang dipakai korban.
Korban disekap dan mengalami kekerasan fisik. Para pelaku notabene semuanya
perempuan. Ada dugaan, pihak sekolah tidak bisa diharapkan menyelesaikan
masalah ini, sehingga orangtua korban lebih memilih melaporkan kasus tersebut
ke polisi.
Kasus
perundungan di sekolah tidak dapat diselesaikan dari satu sektoral saja.
Namun, banyak pihak yang harus turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut. Tak hanya guru, orangtua, dan siswa juga harus diberi pendidikan
untuk menjauhi tindakan perundungan dan disadarkan bahayanya perundungan bagi
perkembangan kejiwaan anak.
Orangtua
dan guru harus memiliki kepekaan terhadap perubahan sikap anak yang tak
seperti biasanya.Kepekaan ini penting agar dapat segera menangani pengalaman
kekerasan yang menimpa anak. Jangan sampai anak-anak merasa tak memiliki
orang dewasa untuk mengadu.
Kepekaan
dan kemampuan mengatasi kekerasan dari para guru dan kepala sekolah harus
diupayakan pemerintah pusat/daerah. Sebab, dalam berbagai kasus menunjukkan
fakta bahwa banyak guru dan kepala sekolah gagap dalam menangani kekerasan di
sekolah. Misalnya, cara kepala SMAN 3 Jakarta yang akan menahan ijazah siswa
kelas XII pelaku perundungan sebagai bentuk hukuman adalah cara yang kurang
tepat. Apa pun alasannya, menahan ijazah peserta didik tidak diperkenankan.
Sanksi ini pun tidak akan memberikan efek jera.
Memutus rantai kekerasan
Tak
kalah penting adalah kesungguhan birokrasi pendidikan dalam mendukung sekolah
memutus mata rantai kekerasan. Sayangnya, banyak birokrasi pendidikan di
daerah yang gagap, misalnya, pejabat Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta
yang menganggap manajemen sekolah tidak bisa dibilang ”gagal” ketika
perundungan terjadi di luar sekolah, meski dalam video itu para korban masih
mengenakan seragam batik sekolah tersebut.
Ketentuan
Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 mendorong sekolah dan pemerintah daerah
melakukan upaya penanggulangan terhadap tindak kekerasan. Lingkupnya mulai
dari tindakan kekerasan terhadap siswa, tindak kekerasan yang terjadi di
sekolah, terjadi dalam kegiatan sekolah yang digelar di luar wilayah sekolah,
hingga tawuran antarpelajar.
Kekerasan
yang dilakukan secara bersama-sama biasanya direncanakan dan kerap terjadi
lebih dari sekali, meski yang ketahuan publik baru satu video karena diunggah
ke Instagram. Manajemen sekolah seharusnya dapat mendeteksi indikasi yang
muncul karena perundungan biasanya tak muncul spontan. Saat siswa yunior
dikumpulkan, pastilah sudah ada pemberitahuan dari seniornya untuk kumpul
pada waktu dan tempat yang sudah ditentukan, minimal sehari sebelumnya. Ini
sesungguhnya bukti kelalaian manajemen.
Anak-anak
pelaku kekerasan adalah juga korban kekerasan dari senior sebelumnya. Mereka
pelaku sekaligus korban. Korban dari sebuah sistem pendidikan yang tidak adil
terhadap peserta didik. Sekolah adalah tempat paling subur membangun budaya,
seharusnya yang disuburkan adalah budaya positif yang menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan.
Kekerasan
dalam bentukdan dengan alasan apa pun adalah melanggar harkat kemanusiaan.
Sekolah harus jadi zona aman dan nyaman bagi peserta didik. Pendidikan
seharusnya mempertajam pikiran dan menghaluskan nurani kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar