Wajah Nabi
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 10 April
2016
Islam mengharamkan
umatnya untuk menggambarkan wajah Rasulullah dalam bentuk apa pun. Lukisan,
patung, atau yang lainnya. Maksud dari pengharaman penggambaran wajah
Rasulullah itu, sejauh yang saya ketahui, adalah untuk mencegah umat
mengultuskan diri beliau. Yang harus ditiru dan diimani adalah ajarannya,
perilakunya, firman-firman Allah yang disampaikan melalui dirinya, bukan
sosoknya atau individunya, karena sebagai sosok atau sebagai individu, Nabi
Muhammad SAW adalah manusia biasa.
Tetapi betulkah asumsi
atau dalam bahasa ilmiahnya: hipotesis, bahwa menggambarkan wajah Nabi akan
mengurangi, bahkan bisa mencegah sama sekali kecenderungan untuk kultus
individu? Marilah kita sejenak berpikir secara ilmiah tanpa mengaitkannya
dengan agama dulu.
Berlainan dengan
Islam, mayoritas penganut Buddha mematungkan sosok Buddha Gautama. Kaum
Buddhis sendiri tidak memandang sang Buddha sebagai nabi, apalagi Tuhan,
melainkan sebagai sumber inspirasi untuk terus-menerus melakukan kebaikan.
Tetapi di seluruh dunia, Buddha tetap dianggap sebagai agama, karena Buddha
memenuhi kriteria agama, termasuk memiliki kitab suci dan ritual-ritual
tertentu yang harus diikuti umatnya.
Buat pembaca yang
sudah pernah melihat patung Buddha di Candi Borobudur dan di Thailand tentu
bisa mengamati bahwa ada perbedaan antara patung-patung versi Borobudur dan
versi Thailand. Di Borobudur, wajah Buddha bulat seperti wajah orang Jawa
pada umumnya, dengan tubuh yang hitam (seperti kulit orang Jawa) karena bahan
dasarnya adalah batu yang diukir.
Di Bangkok, patung-patung
Buddha berwajah tyrus (bulat
panjang), lebih feminin, dan tubuhnya berwarna keemasan (mirip wajah dan
warna kulit orang Thailand), karena terbuat dari logam yang disepuh emas.
Bahkan di Jakarta, sepanjang saya tahu, ada sekte Buddha Nichiren yang tidak
meletakkan patung apa pun di altarnya, kecuali kaligrafi-kaligrafi tertentu
sebagai ornamen. Maksudnya sama dengan dalam Islam, yaitu untuk menghindari
kultus individu.
Tetapi apa pun versi
penggambaran sosoknya, saya tidak melihat umat Buddha disonan (tidak senang) terhadap sosok Buddha tertentu. Setahun
sekali umat Buddha dari seluruh dunia hadir di Borobudur pada upacara Waisak
dan tidak ada yang protes tentang sosok Buddha versi Borobudur yang seperti
orang Jawa itu.
Sebaliknya, kawan
saya, seorang dokter asli Bali, ketika berada di Nepal bersama saya dan
beberapa teman peneliti, untuk mengikuti sebuah kongres tentang kesehatan
masyarakat di Katmandu, sempat mengunjungi sebuah kuil (di Bali disebut:
pura) Hindu di tepi sebuah sungai yang besar. Karena KTP-nya bertuliskan
”agama: Hindu” dia saja yang diperkenankan masuk ke kuil tersebut. ”Mau
berdoa”, katanya. Tetapi baru beberapa menit, dia sudah keluar lagi dari
kuil. Kawan-kawannya yang di luar (termasuk saya) heran dan bertanya, ”Kenapa
cepat amat berdoanya?” Jawabnya, ”Nggak jadi berdoa, Dewanya nggak ada yang
saya kenal”. Jadi, dia disonan
dengan penggambaran dewa-dewa yang tidak sesuai dengan yang dibayangkannya.
Pada kesempatan lain,
saya pernah ke Taiwan bersama istri saya dan bersama turis yang lain dalam guided city tour. Kami diajak masuk ke
sebuah kelenteng yang sangat besar. Di dalamnya banyak patung dewa-dewi dan
banyak pula umat yang sedang berdoa. Tetapi mereka tidak berdoa di depan satu
patung dewa besar di tengah kelenteng (mungkin patung Konghucu), tetapi
tersebar berdoa di depan patung dewa masing-masing yang ditempatkan
terpisah-pisah satu sama lain, walaupun tata cara berdoa mereka tetap sama
(menggunakan hio, melempar-lempar kepingan bambu dll).
Lain lagi dengan umat
Katolik. Sosok Yesus Kristus dalam agama Katolik mempunyai peran yang lebih
sentral daripada di agama Kristen Protestan. Karena itu, penggambaran sosok
Nabi Yesus (dalam Islam: Nabi Isa AS) selalu ditampilkan, baik untuk
ditempatkan di salib, altar gereja, maupun untuk hiasan Natal dan lainnya.
Sosok Yesus yang paling umum adalah bule, rambut gondrong berwarna pirang dan
mata biru, pas dengan wajah tipikal ras Kaukasia.
Tetapi di Jawa Tengah
bisa ditemukan penggambaran kelahiran Yesus versi Jawa dalam kontes Jawa:
Yusuf mengenakan surjan lengkap dengan blangkonnya dan Bunda Maria berkebaya
cantik (Yesusnya tetap boneka). Jadi, penggambaran nabi dalam agama-agama
yang saya contohkan di atas, secara empiris tidak menyebabkan kultus individu.
Penggambaran itu hanya dimaksudkan sebagai lambang pemujaan kepada Yang
Kuasa. Sama saja dengan kaligrafi ”Allah” dalam Islam yang dipasang di atas
altar masjid untuk mengingatkan kita kepada kebesaran-Nya, dan sama juga
dengan kaligrafi huruf Cina di altar Buddha Nichiren.
Dampak dari
pengharaman visualisasi sosok Rasulullah, sepanjang yang saya tahu, sampai
hari ini belum ada yang mengultuskan Muhammad SAW sebagai individu. Di sisi
lain, justru sosok lainlah yang dikultuskan seperti Osama bin Laden, Al
Bagdadi, Abu Sayab, Abu Bakar Baasyir, dan lainnya, melalui gambar-gambar
mereka di berbagai media massa, media sosial, maupun kaus-kaus. Mereka semua
berpenampilan Arab, bersorban atau topi putih, jubah putih, dan janggut
lebat. Kemudian inilah yang di-copy
paste oleh sebagian muslim Indonesia, ditambah lagi dengan celana tiga
perempat dan sandal. Makin berkurang sosok muslim Indonesia yang berbaju koko
dan berpeci.
Di kalangan umat
perempuan yang tampil adalah jilbab, dan bahkan sudah mulai banyak cadar. Semua
ini perwujudan dari sosok Arab. Berbeda sekali dengan tahun 1960-an yang
semuanya masih asli Islam Nusantara. Celakanya, banyak di antara tersangka
KPK yang justru berjenggot atau berjilbab. Jadinya malah Islam sebagai
keseluruhan terbawa jelek citranya, sehingga Islam pun dikait-kaitkan dengan
terorisme (karena memang tidak ada teroris yang berpeci). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar