Mencari Jurus Menjinakkan Inflasi
Enny Sri Hartati ;
Direktur Institute For
Development of Economics and Finance
|
KOMPAS, 11 April
2016
Terdapat tiga fenomena
menarik jika kita mencermati pergerakan inflasi di Indonesia. Fenomena
pertama, terkait relevansi antara pelonggaran dan pengetatan kebijakan
moneter dengan laju inflasi.
Pada triwulan I-2016,
Bank Indonesia tiga kali menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) setelah hampir
satu tahun bertengger pada level 7,50 persen. Pada 14 Januari 2016, BI Rate
diturunkan jadi 7,25 persen. Selanjutnya, berturut-turut BI Rate turun
masing-masing 25 basis poin (bps), hingga Maret 2016 berada pada level 6,75
persen. Seiring dengan itu, laju inflasi bulanan (mtm) Januari-Maret 2016
menunjukkan tren menurun. Pada Januari, inflasi tercatat 0,51 persen,
Februari 0,42 persen, dan Maret 0,19 persen.
Fenomena sebaliknya
terjadi pada era kebijakan pengetatan likuiditas selama akhir 2013 hingga
awal 2015. BI Rate sejak 12 November 2013 sampai 17 November 2014 dipatok
pada level 7,50 persen. Bahkan, sejak 18 November 2014 sampai 16 Februari
2015, BI Rate berada di level 7,75 persen. Ironisnya, pada periode itu,
semakin BI Rate dinaikkan, laju inflasi bulanan justru terus meningkat. Laju
inflasi Oktober sebesar 4,19 persen, November 5,75 persen, dan Desember 8,36
persen. Artinya, dapat dikatakan penaikan suku bunga acuan tidak berdampak
terhadap pengendalian inflasi.
Penurunan suku bunga
seharusnya dapat mendorong sisi permintaan kredit ataupun produk. Penurunan
suku bunga juga akan menurunkan insentif bagi masyarakat untuk menyimpan uang
dan mendorong mereka berbelanja atau konsumsi. Peningkatan permintaan itu
berimplikasi mendorong kenaikan harga-harga. Sebaliknya, ketika suku bunga
acuan dinaikkan, konsumsi masyarakat diharapkan terkendali. Masyarakat akan
lebih suka menabung dan mengurangi konsumsi sehingga mendorong harga turun.
Ternyata teori itu terpatahkan, setidaknya dengan mengambil perbandingan
kontras dari fenomena akhir 2014 dan awal 2016 itu.
Fenomena kedua, yang
menarik pada pergerakan inflasi tampak pada hubungan antara penetapan
kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) dan inflasi. Dapat dipastikan, tiap
kali pemerintah menaikkan harga BBM, hampir semua harga bahan kebutuhan
pokok, tanpa komando, ikut naik. Bahkan, saat kenaikan harga baru wacana dan
harga BBM akhirnya urung naik pun, harga bahan kebutuhan pokok sudah naik.
Harga yang telanjur naik itu tak pernah turun kembali.
Dampak kenaikan harga
BBM ini terhadap perekonomian pun tidak cukup satu putaran. Putaran pertama,
biasanya masih terbatas pada dampak langsung, seperti kenaikan tarif
transportasi dan harga barang. Putaran kedua, mulai menyentuh dampak tidak
langsung, seperti kenaikan harga bahan baku dan tuntutan kenaikan upah tenaga
kerja. Kenaikan harga BBM mempunyai efek domino yang sangat sensitif,
fleksibel, dan cepat. Sebaliknya, penurunan harga BBM tidak cukup sensitif
terhadap penurunan harga bahan kebutuhan pokok. Ada kekakuan harga untuk
turun, tetapi sangat fleksibel untuk naik.
Harga pangan
Fenomena ketiga,
terjadi pada hubungan antara harga pangan (volatile food) dan inflasi. Tekanan inflasi selama 2015 hampir
dipastikan didominasi kontribusi tekanan harga pangan. Pasalnya, di tengah
penurunan daya beli masyarakat, hampir tidak ada tekanan permintaan konsumsi
nonpangan. Apalagi, terjadi kecenderungan inflasi cukup rendah di hampir
semua negara.
Pada Desember 2015,
inflasi di Indonesia 3,4 persen. Ironisnya, kontribusi pangan terhadap
inflasi itu 67,7 persen. Padahal, di pasar global hampir semua harga
komoditas turun, tidak terkecuali pangan. Di Indonesia, pada Januari 2015,
kontribusi pangan terhadap inflasi bahkan mencapai 90,2 persen. Berikutnya,
pada Maret 2016, inflasi relatif rendah, tetapi kontribusi pangan masih
sebesar 73,7 persen.
Dari tiga fenomena itu
dapat ditarik kesimpulan, kunci pengendalian inflasi di Indonesia adalah
menjaga stabilitas harga energi (BBM) dan terutama harga pangan. Pengendalian
harga pangan dapat disederhanakan. Komoditas yang berkontribusi besar terhadap
harga pangan dari tahun ke tahun tidak pernah berubah, antara lain, beras,
gula, cabai, bawang merah, bawang putih, daging ayam ras, telur ayam ras,
ikan segar, dan daging sapi. Daerah yang mengalami tekanan inflasi juga tidak
banyak berubah. Misalnya, wilayah Sumatera, seperti Sibolga, Tanjung Pandan,
dan Bukittinggi. Sementara di Jawa, utamanya Jabodetabek.
Melalui pemetaan
sumber inflasi dan daerah-daerah yang mengalami tekanan inflasi dapat
dirumuskan jurus jitu pengendalian inflasi. Pertama, revitalisasi tim
pemantau inflasi daerah (TPID). Undang-undang mengamanatkan, pemegang mandat
utama pengendalian inflasi adalah Bank Indonesia (BI). Semestinya BI menjadi
ketua koordinator TPID dan berkoordinasi dengan semua pemangku kepentingan
terkait.
Kedua, TPID tidak
sekadar memantau pergerakan inflasi, tetapi juga mendeteksi dini penyebab
inflasi. TPID perlu diberi kewenangan merencanakan dan menyusun langkah
strategis upaya pengendalian inflasi.
Ketiga, memperkuat
peran pemerintah daerah untuk memiliki cadangan dan menjaga stabilitas
pasokan barang kebutuhan pokok. Jika setiap daerah mempunyai neraca
komoditas, tentu semakin mudah mendeteksi dini dan mencegah lonjakan harga.
Jika peran TPID dapat dioptimalkan, inflasi 2016 berpotensi kembali di bawah
target, atau berada di bawah 4 persen. Tekanan inflasi dari energi sangat
kecil. Kuncinya adalah lebih pada stabilisasi harga pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar