Teh Cheang Wan
Trias Kuncahyono ;
Penulis Kolom KREDENSIAL Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 10 April
2016
Suatu hari, pada bulan
Oktober 1951, segerombolan perompak membajak sebuah kapal yang mengangkut
opium. Kapal malang itu sedang bersandar di pelabuhan Punggol. Pelabuhan
Punggol terletak di Tanjung Punggol, Singapura timur-laut. Sering kali
Punggol ditulis Ponggol, dan juga dikenal dengan nama Punggol New Town.
Menurut catatan
sejarah, Punggol sudah berdiri bahkan sekitar 200 tahun sebelum Sir Thomas
Stamford Bingley Raffles (1781-1826) mendirikan Singapura pada tahun 1819,
sebagai pos perdagangan Perusahaan India Timur. Penduduk asli kota itu adalah
orang-orang Melayu. Baru pada pertengahan abad ke-19, berdatangan para
imigran dari Tiongkok. Para imigran ini bekerja di perkebunan karet.
Kemudian, mereka terjun di bidang pertanian dan peternakan, seperti babi,
ikan, dan ayam. Peternakan babi terakhir ditutup pada tahun 1990.
Pada waktu itu,
Singapura menjadi kunci penting jalur perdagangan obat bius antara India dan
Tiongkok. Singapura, di masa itu, menjadi ladang subur tindak kriminal dan
korupsi. Otoritas kolonial Inggris melakukan operasi bersih-bersih; dan
menemukan bahwa sejumlah perwira tinggi polisi terlibat korupsi dan
melindungi tindak kriminal.
Berdasarkan temuan
itu, pemerintah kolonial membentuk Biro Investigasi Praktik Korupsi. Ketika
pada akhirnya Singapura merdeka (31 Agustus 1963), perdana menteri baru, Lee
Kuan Yew, dengan tegas mengatakan, dirinya sudah "muak" karena
kemerosotan moral dan korupsi. Ia bersumpah akan membersihkan Singapura dari
korupsi, suap-menyuap, dan sejenisnya.
Lee Kuan Yew pun
bermain simbol, lambang. Para anggota kabinetnya, ketika diambil sumpah
sebagai menteri, semua mengenakan pakaian warna putih. Itu sebagai lambang,
sebagai simbol kemurnian intensi mereka. (Para anggota Kabinet Kerja pimpinan
Presiden Jokowi pun ketika dilantik memakai baju warna putih.) Presiden
selalu berbaju putih.
Patrick Radden Keefe,
dalam "Corruption and Revolt, Does
tolerating graft undermine national security?" (The New Yorker, 19 Januari 2015), menulis, Lee membuat legislasi
anti korupsi baru dan memberikan kekuasaan nyata pada biro anti korupsi. Ia
juga menaikkan gaji pegawai negeri. Kebijakan ini diambil agar pegawai negeri
tidak menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk keuntungan diri. Lee
Kuan Yew juga membuat ketentuan, orang-orang yang tertangkap menyuap,
menyogok, menerima suap, sogokan, dan korupsi harus dihukum berat.
Pada tahun 1986,
Menteri Pembangunan Nasional Singapura yang juga seorang arsitek, Teh Cheang
Wan, ketahuan menerima komisi dari dua pengembang real estat. Sebelum Lee
Kuan Yew bertindak, Teh Cheang Wan sudah mengambil langkah terakhir: bunuh
diri. Teh Cheang Wan meninggalkan secarik kertas yang ditujukan kepada Lee
Kuan Yew, bertuliskan, "Inilah langkah yang paling benar, bahwa saya
harus menebus dengan hukuman paling berat karena kesalahan saya".
Yang dilakukan Lee
Kuan Yew terlihat sekarang. Singapura menempati urutan kedelapan (Indeks Persepsi Korupsi 2015, Transparency
International). Negeri pulau itu lebih bersih dibandingkan dengan Jerman,
yang bersama Luksemburg dan Inggris menempati urutan ke-10, dan Kanada urutan
ke-9. Dari 167 negara dalam daftar itu, Indonesia menempati peringkat ke-88-sekelompok
dengan Albania, Mesir, Maroko, Peru, dan Maroko. Negara ASEAN lainnya,
misalnya, Malaysia (34), Filipina (95), dan Thailand (76). Peringkat paling
buncit adalah Somalia.
Korupsi, memang,
seperti terorisme menyerang dunia, menusuk banyak hampir semua negara di
dunia ini. Korupsi-yang diambil dari bahasa Latin corrumpere, bisa diartikan
"menyuap", juga bisa diartikan "merusak",
"mengotori"-bukanlah fenomena baru. Dua ribu tahun silam, Kautilya,
perdana menteri seorang raja di India, menulis buku Arthashastra yang
membahas korupsi. Tujuh abad lalu, Dante Alighieri (1265-1321) dalam salah
satu karyanya, Inferno, sudah bicara soal korupsi. Machiavelli menyebut
korupsi sebagai "proses pembusukan moral". William Shakespeare pun
paling tidak dalam tiga karya dramanya-Measure
for Measure, The Tragedy of King Richard the Second, dan Macbeth-menyoroti soal korupsi.
Bahkan, dalam
Konstitusi Amerika Serikat, penyuapan dinyatakan sebagai salah satu dari dua
kejahatan yang disebut secara terang-benderang bisa membawa presiden terkena impeachment, pemakzulan.
Korupsi adalah
fenomena kompleks yang hampir tidak pernah terjadi karena satu sebab. Jika
disebabkan hanya oleh satu alasan, solusinya pun sederhana. Karena
penyebabnya banyak, perang melawan korupsi pun harus dilakukan di banyak
front. Peperangan ini tidak bisa dimenangi dalam tempo sebulan, bahkan
beberapa tahun. Tetapi, perang yang terus dan terus tanpa rasa lelah.
Yang jelas, di negeri
ini, tidak ada seorang pun koruptor-entah menerima suap, komisi, atau
mengambil uang negara-berani mempertanggungjawabkan kelakuan kotornya,
kelakuan merusaknya, sesuai dengan arti kata corrumpere, seperti Teh Cheang Wan. Teh bunuh diri karena
korupsi. Di negeri ini, yang ada, yang banyak kita lihat di layar-layar
televisi, adalah para koruptor tertawa-tawa, tersenyum, dan melambaikan
tangannya.... Entah simbol apa itu.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar