Restrukturisasi Industri Perunggasan
Khudori ;
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI)
|
KORAN SINDO, 01 April
2016
Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) mulai menyidangkan dugaan kartel unggas. Sebanyak 12
perusahaan unggas tengah diperiksa. Mereka diduga berperilaku kartel dan
mempermainkan harga di pasar. KPPU berangkat dari kesepakatan apkir dini 6
juta bibit ayam (parent stock/PS).
Kebijakan yang difasilitasi oleh Kementerian Pertanian itu baru terlaksana 3
juta PS di tahun lalu. Apkir dini PS akan menyeimbangkan supply-demand dan membuat harga ayam hidup (life bird) terangkat pada posisi normal. Ternyata, setelah apkir
dini 3 juta PS harga ayam usia sehari (day
old chick/DOC) melonjak.
Alasannya DOC langka.
Menurut KPPU, ini tidak masuk akal. Kalau kalkulasinya benar, apkir dini PS
akan mengangkat harga ayam hidup. Logikanya, DOC juga tidak akan mengalami
kelangkaan. Bagi KPPU, alasannya DOC langka hanya akal-akalan korporasi unggas
agar bisa mereguk untung besar. Kini KPPU memeriksa 12 perusahaan itu karena
diyakini berulah seperti kartel.
KPPU juga tidak
mengizinkan Kementan melanjutkan apkir dini 3 juta PS sampai ada audit tuntas
terhadap kebutuhan dan pasokan unggas, baik itu biang benih ayam (great-grand parent stock/GGPS), benih
ayam (grand parent stock/GPS), PS, DOC maupun ayam hidup. Sejatinya, masalah
kelangkaan DOC hanya bagian kecil dari masalah yang membelit industri
perunggasan. Masalah yang terjadi di industri ini membentang dari hulu ke
hilir, sudah akut dan struktural.
Tidak bisa
diselesaikan dengan solusi ad hoc dan parsial. Pertama, di hulu hampir semua
input produksi bergantung impor. Bukan hanya GGPS dan GPS, tetapi juga input
pakan (bungkil jagung dan kedelai). Ketika harga GGPS/GPS dan bahan pakan di
pasar dunia naik atau nilai tukar rupiah tertekan imbasnya langsung terasa di
pasar. Kedua, dominasi perusahaan perunggasan besar.
Industri perunggasan
terkonsentrasi pada segelintir pelaku baik dalam penguasaan aset, omzet maupun
pangsa pasar. Produsen GGPS hanya satu perusahaan, industri GPS tak lebih 15
perusahaan dengan dua perusahaan menguasai pangsa pasar 70%. Industri
pembiakan bibit ayam (PS) ada 100 perusahaan dengan lima perusahaan menguasai
pangsa pasar 80%, dan 20% sisanya terbagi di antara 95 perusahaan kecil dan
menengah. Integrasi pasar vertikal dan horizontal amat tinggi, sehingga
mereka sering disebut sebagai integrator (Arifin, 2016).
Barrier to entry ke industri ini pun naik jadi 13,7% pada
2012. Kondisi itu membuat pasar amat rentan dan mudah sekali menjadi ajang
permainan pihak yang kuat. Indikasinya cukup banyak, salah satunya melalui
praktik predatory pricing.
Misalnya, harga normal DOC Rp4.000/kg, tapi dibanting hanya Rp2.000/kg,
bahkan gratis. Dengan cara seperti itu peternak kecil yang memiliki PS
penghasil DOC akan mati. Praktik banting harga diakhiri bila pesaing atau
peternak kecil mati.
Akibat ulah ini, di
hilir peternak rakyat, pedagang eceran dan konsumen akhir ayam akan selalu
terombang-ambing oleh harga seperti roller
coaster. Ketiga, industri perunggasan tumbuh nyaris tanpa sentuhan tangan
pemerintah. Terlalu lama pemerintah tidak menyentuh industri peternakan.
Berbeda dengan saudara dekatnya, daging sapi, industri unggas boleh dibilang
tumbuh sendiri didorong oleh demand-driven. Intervensi pemerintah relatif
kecil. Pemerintah hanya turun tangan ketika ada masalah.
Karena hampir semua
lini diserahkan pada mekanisme pasar, intervensi pemerintah tak lebih seperti
pemadam kebakaran: hanya memadamkan api, tapi tidak menyentuh akar masalah.
Masalah kian rumit karena tidak tersedia data akurat sebagai acuan kebijakan.
Untuk membenahi industri perunggasan, perlu langkahlangkah restrukturisasi
yang simultan dan komprehensif.
Pertama, akurasi data.
Untuk membuat kebijakan, pijakan data harus akurat dan bisa
dipertanggungjawabkan. Bukan perkiraan, atau hanya mengikuti data yang
disodorkan oleh pelaku usaha. Tanpa data yang akurat, kebijakan yang dibuat
akan selalu salah. Kebijakan yang salah dampaknya akan panjang dan amat
merugikan. Bukan hanya bagi pelaku industri perunggasan, tapi juga konsumen
dan perekonomian keseluruhan. Perencanaan produksi daging ayam perlu waktu
1,5-2 tahun.
Produksi tidak dapat
diakselerasi/dihentikan mendadak bila ada fluktuasi permintaan/pasokan,
seperti cara apkir dini PS. Kuncinya ada pada izin impor GGPS/GPS.
Besar-kecilnya GGPS/GPS yang diimpor akan menentukan jumlah produksi PS, DOC
dan ayam hidup untuk konsumsi. Pangkal masalah silang sengkarut industri
perunggasan terletak pada jumlah impor GGPS/ GPS yang terlalu besar.
Akibatnya, selalu terjadi oversupply
ayam hidup di pasar.
Data-data Badan Pusat
Statistik (BPS) dan Kementan menunjukkan oversupply ayam hiduppada
2010masih31,27% dari konsumsi nasional, tapi pada 2014 mencapai 55,08%,
bahkan pada 2013 mencapai 65,75%. Kedua , pelaku/perusahaan integrasi
vertikal wajib menyelesaikan integrasi hingga ke hilir. Dengan kapasitas
modal yang dimiliki, pelaku integrasi vertikal wajib membangun rumah
pemotongan unggas berikut fasilitas pendukungnya baik cold storage maupun industri pengolahannya.
Korporasi integrasi
vertikal harus didorong untuk mengintegrasikan seluruh mata rantai nilai dari
produksi primer, distribusi, pengolahan, pemrosesan hingga penjualan di
pasar. Pendekatan yang dikembangkan adalah from feed to meet. Perusahaan integrator harus didorong ekspor.
Pendekatan ini akan jadi solusi kala ada ekses oversupply. Ketiga, mengembangkan kemitraan saling menguntungkan
antara pelaku integrasi vertikal dengan mitra, terutama peternak kecil.
Kemitraan yang
dibangun harus mendudukan kedua pihak pada posisi setara. Agar hal ini terwujud,
pemerintah perlu mengatur adanya harga eceran tertinggi untuk DOC, pakan ayam
dan ayam hidup. Pada saat yang sama, pelaku integrasi vertikal dilarang
membangun kandang budi daya close house,
baik milik perusahaan maupun afiliasi.
Hal itu dimaksudkan
agar ada payung hukum yang kuat. Tentunya langkah-langkah ini harus dibarengi
dengan upaya amendemen Undang- Undang No.41/2014 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar