Demokratisasi dan Tingkat Korupsi
Vishnu Juwono ;
Dosen Administrasi Publik,
Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 01 April
2016
Belum lama ini kita
disibukkan oleh wacana publik mengenai makna dari “Tour de Java” mantan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan kunjungan “simbolik” dari
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke proyek Wisma Atlet Hambalang yang mangkrak
karena kasus korupsi.
Tentu saja media masa
baik cetak maupun televisi menjadi “gaduh” memberitakan dua peristiwa
tersebut. Namun, tulisan ini tidak ingin membahas lebih detil mengenai
“konflik” politik antara SBY dan Jokowi, tetapi justru menempatkan peristiwa
tersebut dalam konteks perkembangan tata kelola yang lebih demokratis di
Indonesia.
Terutama setelah
lengsernya Presiden Soeharto, yang berkuasa dengan sistem otoriternya selama
tiga dekade. Melalui artikel ini penulis mencoba melihat kembali sejauh mana
perkembangan demokratisasi dan tingkat korupsi di Indonesia. Apakah
kondisinya menunjukkan tren kemajuan atau sebaliknya, justru mengalami
kemunduran?
Negara-Negara Pembanding
Pada saat tahap awal
dari proses transisi menuju demokrasi, banyak pengamat baik dalam maupun luar
negeri mengomentari kondisi di Tanah Air. Pengamat luar negeri bahkan ada
yang sudah memvonis Indonesia sebagai negara gagal. Kolumnis New York Times,
Thomas Friedman, bahkan mengatakan Indonesia adalah “messy state“ pada 2002.
Untuk mengukur
kemajuan dari proses demokratisasi dan tingkat korupsi Indonesia, tentu saja
harus dibandingkan dengan negara-negara berkembang yang mempunyai
karakteristik politik, sosial, dan ekonomi yang sama. Seringkali para
pengamat atau organisasi nonpemerintah (NGO’s) nasional dan internasional
membandingkan Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand,
dan Singapura.
Tentu saja ini
perbandingan yang tidak sesuai, mengingat Indonesia berdasarkan statistik
Bank Dunia pada 2014 masuk dalam kategori negara berkembang, dengan
pendapatan kotor nasional sebesar USD1.046-USD4.125 (dengan jumlah penduduk
lebih dari 200 juta jiwa). Sedangkan Thailand dan Malaysia termasuk dalam
kategori negara berkembang dengan pendapatan tinggi. Jumlah penduduk masing-masing
negara hanya 67,7 juta jiwa (Thailand) dan 29,9 juta jiwa (Malaysia).
Tentu saja Singapura
yang masuk dalam kategori negara maju dengan pendapatan bruto nasional yang
amat tinggi yakni USD55.000 per kapita dengan penduduk hanya 5,47 juta jiwa bukan
komparasi sepandan dengan Indonesia. Menurut pendapat penulis, selama hampir
dua dekade transisi demokrasi pasca-Presiden RI Ke-2 Soeharto, Indonesia
lebih layak untuk dibandingkan dengan negara berkembang yang memiliki
karakteristik sosial dan ekonomi yang tidak jauh berbeda.
Dua karakteristik
tersebut adalah negara berkembang dengan pendapatan kotor nasional dalam
kategori rendah -sepandan dengan Indonesia- dan dengan jumlah penduduk yang
lebih dari 80 juta penduduk. Negara-negara yang masuk dalam kategori ini
adalah India (1,2 miliar jiwa), Filipina (100,1 juta jiwa), Vietnam (90,73
juta jiwa), dan Mesir (83,4 juta jiwa).
Dalam membandingkan
empat negara berkembang tersebut dengan Indonesia, penulis menggunakan
beberapa indikator internasional terkait demokratisasi dan tingkat korupsi
suatu negara. Indikator tersebut adalah Corruption
Perception Index (CPI) yang diterbitkan Transparency International (TI)
dan Freedom Index oleh Freedom House . Tidak dimungkiri banyak kritik terkait
dengan penggunaan indikator tersebut, dimulai dari rentan terhadap
subjektivitas dari responden yang merupakan para ahli atau pelaku bisnis (Bensacon, 2003).
Bahkan ada pula yang
mengkritisi dari segi metode statistik dalam hal memproses data dan
kategorisasi variabel datanya (Williams
dan Siddique, 2008; Neumann dan Graeff, 2010). Namun, terlepas dari berbagai
kelemahannya, indikator-indikator tersebut terbukti digunakan oleh berbagai
pengamat politik maupun ekonomi internasional dalam analisisnya.
Terutama untuk membandingkan
performa antar negara dalam konteks tata kelola, demokrasi dan tingkat
korupsi (Sachs dan Warner A, 1995;
Rodrik, Subramanian, dan Trebbi, 2004; Fukuyama, 2004; Diamond, 2009).
Dengan demikian, terlepas dari berbagai kelemahannya, di dalam tulisan ini
penulis dengan menggunakan indikator-indikator internasional tersebut mencoba
mengukur kemajuan Indonesia dibandingkan dengan Filipina, Mesir, India, dan
Vietnam dalam konteks demokratisasi dan tingkat korupsi.
Apabila kita melihat
tingkat persepsi korupsi (CPI) yang diterbitkan TI, Indonesia menunjukkan
tren yang positif sejak beberapa tahun terakhir kepemimpinan Soeharto pada
1995 dengan indeks CPI 1,94. Sedangkan masa kepemimpinan presiden Jokowi pada
2015 mendapatkan skor CPI 3,6 (dibagi 10 karena sejak 2012 digunakan skala
0-100). Hingga 2015 hanya India yang unggul dari Indonesia dengan nilai CPI
sebesar 3,8, Mesir memiliki nilai sama yakni 3,6. Sedangkan Filipina dan
Vietnam tertinggal dari Indonesia dengan masing-masing nilai CPI sebesar 3,5
dan 3,1.
Sedangkan dalam Freedom Index, di mana negara dengan
sistem politik bebas mempunyai skor semakin kecil, Indonesia menunjukkan
perbaikan. Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat di mana pada
1995 Indonesia masuk dalam kategori negara tertutup dengan nilai 6,5. Indeks
Indonesia bahkan sempat meningkat sebagai negara bebas dengan nilai 2,5 pada
2013, sebelum kembali lagi dalam kategori negara yang sebagian bebas pada
2014 dan 2015 dengan nilai 3,5.
Sementara itu, India
dan Filipina yang mempunyai tradisi demokrasi yang lebih panjang (selama 20
tahun terakhir) stabil dengan nilai antara 2,5-3,5, yang membuat mereka dalam
kategori sebagian bebas atau bebas. Sedangkan Vietnam dan Mesir selama ini
cukup jauh tertinggal karena mereka stabil dengan sistem politik tertutup
yang didominasi oleh peran militer. Oleh Freedom
House, dua negara ini dinilai 6-7 dalam kategori negara tertutup.
Indonesia Negara Gagal?
Apabila dilihat dari
tren nilai tata kelola dan tingkat korupsi seperti yang dikemukakan di atas,
Indonesia dibandingkan dengan empat negara tersebut menunjukkan tren positif
sejak 1995. Dalam hal tingkat korupsi, Indonesia hanya lebih rendah
dibandingkan dengan Mesir pada 2015. Tetapi, dalam demokratisasi, Indonesia
selalu unggul dibandingkan dengan Mesir dan Vietnam.
Sedangkan India dan
Filipina yang mempunyai tradisi demokrasi mendahului Indonesia lebih dari
satu dekade, tentu saja dalam posisi yang lebih stabil. Tren positif ini
menunjukkan bahwa Indonesia tidak termasuk dalam kategori “negara gagal”,
mengingat beberapa negara yang mengalami transisi dari pemerintahan yang
didominasi militer menuju demokratisasi— seperti di Thailand dan
Mesir—menghadapi kemunduran.
Tantangan berikutnya
adalah bagaimana mewujudkan Indonesia menjadi negara berkembang dengan
pendapatan tinggi, setara dengan Tiongkok atau Thailand. Dua negara tersebut
memiliki pendapatan kotor nasional per kapita antara USD4.126-USD12.735 serta
nilai tingkat persepsi korupsi setidaknya lebih dari nilai 50.
Tentu saja untuk
menjawab tantangan ini hanya bisa dijawab oleh Presiden Jokowi, sesuai dengan
motonya yakni dengan “kerja, kerja, dan kerja.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar