Penegakan Hukum Penuh Noda
Bambang Soesatyo ;
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi
Partai Golkar
|
KORAN SINDO, 19 April
2016
Dalam rentang waktu
kurang dari dua pekan, institusi kejaksaan dipermalukan oleh dua kasus hukum
beruntun yang diduga melibatkan oknum jaksa di Jakarta dan Bandung. Terlepas
bagaimana proses hukum dua kasus itu akan berujung, dua peristiwa itu
menambah noda di wajah institusi penegak hukum. Jangan dianggap remeh karena
rangkaian noda itu terus menggerus kepercayaan publik terhadap kemurnian
praktik penegakan hukum di negara ini. Ketidakpercayaan dan keraguan publik
berpotensi menumbuhkan keyakinan bersama tentang tidak adanya kepastian hukum
di republik ini.
Pasalnya, publik akan
berasumsi bahwa di hadapan penegak hukum, salah-benar bukan ditentukan oleh
fakta hukum, melainkan uang suap. Lalu, berat-ringan sanksi hukum pun tidak
ditentukan oleh besar-kecilnya kesalahan terdakwa, melainkan lagi-lagi uang
suap. Penegakan hukum dipraktikkan dengan cara-cara sangat liar karena oknum
penegak hukum tidak lagi bekerja sesuai dengan nurani keadilan, melainkan
nafsu memupuk kekayaan.
Pasal-pasal hukum
diperdagangkan karena oknum penegak hukum butuh dana ekstra untuk membiayai
perilaku hedonis; ingin hidup mewah bak pengusaha kaya raya. Hakikat
kebenaran tak lagi punya makna. Bahkan, karena uang suap, kesalahan bisa
disulap menjadi sesuatu yang benar atau derajatnya diturunkan dari kesalahan
berat menjadi pelanggaran hukum kategori ringan. Karena praktik penegakan
hukum yang demikian itu, publik sudah berasumsi bahwa keadilan sebagai barang
langka di republik ini.
Tidak mengada-ada
untuk mengatakan betapa sulitnya semua institusi penegak hukum bisa meraih
lagi kepercayaan publik. Pasalnya, noda pada institusi penegak hukum sudah
begitu banyak dan juga sangat beragam. Tidak hanya suka memburu uang suap,
oknum penegak hukum sudah terlibat sejumlah pelanggaran. Ada yang terlibat
perdagangan narkoba, menjadi pengguna narkoba, terlibat perselingkuhan,
hingga terlibat dalam tindak pidana lainnya.
Rangkaian perilaku
menyimpang itu di-update baru-baru ini oleh dua kasus penyuapan yang diduga
melibatkan oknum jaksa di Jakarta dan Bandung. Kasus pertama mengindikasikan
keterlibatan oknum jaksa pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta. Dalam sebuah
operasi tangkap tangan (OTT) pada Kamis (31/3), KPK menangkap dan menetapkan
tiga tersangka dari unsur badan usaha milik negara (BUMN) dan unsur swasta
yang sedang beperkara dengan jaksa pada Kejati Jakarta.
Mereka adalah Direktur
Keuangan PT Brantas Abipraya Sudi Wantoko, Senior Manager PT Brantas Abipraya
Dandung Pamularno, dan Marudut dari unsur swasta. KPK menduga ketiganya berencana
menyuap oknum jaksa di Kejati Jakarta, sebab dari OTT itu KPK menyita uang
USD148.835 atau Rp1,9 miliar dari Dandung dan Marudut. Uang itu diduga akan
diberikan kepada oknum di Kejati DKI Jakarta untuk menghentikan penyelidikan
dugaan penyalahgunaan anggaran untuk pembuatan iklan PT Brantas Abipraya.
Sudi Wantoko yang
dijerat kejaksaan diduga tidak dapat mempertanggungjawabkan penggunaan
anggaran itu. Beberapa jam setelah OTT, KPK memeriksa Kajati DKI Sudung
Situmorang dan Asisten Pidana Khusus Kejati DKI Tomo Sitepu. KPK menduga
keduanya mengetahui adanya upaya penghentian perkara PT BA di Kejati melalui
uang suap.
Mafia Hukum
Saat publik masih
menyimak kasus di Kejati DKI, kasus lain yang juga diduga melibatkan oknum
jaksa kembali terungkap ketika KPK melakukan OTT pada Senin (11/4) lalu.
Selain pemberi suap, KPK juga menetapkan dua jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa
Barat sebagai penerima suap. Adalah sosok Lenih Marliani yang lebih dulu
ditangkap. Dia istri Jajang Abdul Kholik, terdakwa kasus korupsi anggaran
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Kabupaten Subang.
Lenih ditangkap seusai
menemui Deviyanti Rochaeni, jaksa penuntut umum di Kejaksaan Tinggi Jawa
Barat. Dalam pertemuan di ruang kerja Devi di lantai 4 Kantor Kejati Jabar,
Lenih memberikan uang kepada Devi sebanyak Rp528 juta. Penyidik KPK menduga
jumlah uang sebesar itu sebagai komitmen antara Lenih dan Fahri Nurmallo,
jaksa yang sebelumnya juga bertugas di Kejati Jabar. Sebelum dimutasi ke Jawa
Tengah, Fahri tercatat sebagai ketua tim Kejati Jabar yang menangani kasus
Jajang.
Mendapat informasi
bahwa uang Rp528 juta itu berasal dari Bupati Subang Ojang Sohandi, KPK pada
hari yang sama bergerak ke Subang menangkap Ojang. KPK menduga Ojang
menyiapkan uang itu untuk meringankan tuntutan terhadap Jajang, yang kasusnya
akan disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jawa Barat. Ojang juga
berharap Jajang tidak mengaitkan namanya pada kasus itu. Permodus,
duakasusinitidak baru.
Bahkan,
pola permainan ini terbilang kuno. Begitulah mafia peradilan menyelewengkan
praktik penegakan hukum. Penyimpangan ini pernah coba diberantas oleh Satuan
Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) yang dibentuk dengan Keputusan
Presiden Nomor 37/2009. Namun, Satgas ini tidak menggigit. Praktik mafia
peradilan terus berlangsung sebagaimana terindikasi dari hasil dua OTT KPK
yang diduga melibatkan oknum dari Kejati Jakarta dan Kejati Jawa Barat.
Kapan mafia peradilan
bisa diberangus? Siapa yang bisa menghentikan sepak terjang mereka? Itulah
pertanyaan yang selalu bergaung di ruang publik. Sayang, tidak ada yang tahu.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang sangat sulit dijawab. Karena itu,
persoalannya harus dikembalikan kepada pemerintah sendiri, terutama para
insan penegak hukum, sebab hanya merekalah yang tahu bagaimana memperbaiki
kerusakan itu.
Pernyataan atau
omongan tentang niat memperbaiki kerusakan itu tak diperlukan lagi, sebab
niat dan janji itu sudah berulang kali disuarakan. Lagi pula, rekomendasi
tentang pemberantasan mafia hukum pun sudah banyak didiskusikan. Sudah
terbukti bahwa semua itu tidak membuahkan hasil. Untuk memberantas mafia
hukum dan mafia peradilan, semua institusi penegak hukum tidak boleh
ambivalen.
Jangan sampai di satu
sisi berjanji melakukan penertiban internal, tetapi di sisi lain selalu
menunjukkan kecenderungan membela atau melindungi, manakala anggota korpsnya
terjerat. Sikap mendua seperti itulah yang mempersulit pemberantasan mafia
hukum. Kini yang dibutuhkan adalah tindakan nyata dan segala sesuatunya harus
dimulai dengan niat baik. Aspirasi rakyat sangat jelas dan sederhana. Penegak
hukum harus independen setiap kali menghadapi dan mengolah kasus hukum. Pun
harus proporsional menyikapi fakta hukum.
Memang, para pihak
yang berkepentingan akan terus coba menggoda. Namun, ragam godaan itu akan
tersingkir dengan sendirinya jika niat baik lebih dikedepankan. Modal utama
seorang penegak hukum adalah niat baiknya untuk menegakan hukum itu sendiri.
Beban moral semua institusi penegak hukum kini sudah sangat berat. Ragam noda
yang nyaris melekat permanen pada semua institusi itu tidak hanya menurunkan
kepercayaan rakyat.
Persoalan moral yang
masih menyelimuti institusi penegak hukum menjadi faktor penghambat agenda
besar lainnya, yakni pemberantasan korupsi. Logika sederhananya begini; kalau
institusi penegak hukum korup, tidak masuk akal jika negara dan rakyat harus
mengandalkan atau memercayakan institusi-institusi itu memberantas korupsi
yang marak di negara ini.
Kelompok masyarakat
yang cerdas sudah sampai pada kesimpulan bahwa progres pemberantasan korupsi
tidak signifikan, karena banyak oknum penegak hukum justru menjadi bagian
dari pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri. Maka bagi rakyat, lebih masuk
akal mempertahankan eksistensi KPK jika institusi penegak hukum lainnya masih
berselimut persoalan moral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar