Menjadi Pembantu Presiden
Saldi Isra ;
Profesor Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS, 14 April
2016
Salah satu masalah
serius praktik sistem pemerintahan presidensial Indonesia setelah perubahan
konstitusi dengan pemilihan presiden dan wakil presiden langsung adalah acap
kali terjadi kegaduhan di antara para pembantu presiden. Anehnya, dalam
posisi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi jajaran eksekutif, presiden seperti
”menerima” kegaduhan tersebut. Bahkan, apabila ditelusuri ke belakang,
terutama pasca rezim pemilihan langsung tahun 2004, kegaduhan pembantu
presiden menjadi peristiwa yang terus berulang. Karena itu, hubungan di
antara para pembantu presiden dengan mudah terjebak dalam penyakit baru:
pembelahan jajaran eksekutif (divided
executive).
Pengalaman 10 tahun di
bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, lebih
dari cukup membuktikan betapa ancaman pembelahan meruntuhkan soliditas anggota
kabinet. Sebagaimana pernah dinukilkan dalam ”Sang Pengeluh” (Kompas,
2/4/12), Presiden SBY merasa tidak mendapat dukungan memadai dari anggota
kabinet ihwal rencana kenaikan harga BBM. Karena itu, secara terbuka SBY
mengeluhkan anggota kabinet yang cenderung berdiam diri atas rencana kenaikan
tersebut.
Selain peristiwa yang
terkait kebijakan presiden tersebut, pembelahan di antara pembantu presiden
seperti berulang ketika agenda pemilu kian mendekat. Tidak hanya di antara
para pembantu presiden, pembelahan meliputi hampir semua elemen di jajaran
kabinet. Artinya, selama periode mengikuti agenda lima tahunan tersebut,
kepentingan pemilu benar-benar mencabik-cabik soliditas anggota kabinet.
Jika dibandingkan
dengan pemerintahan sebelumnya, pembelahan jajaran pembantu presiden jauh
lebih terbuka selama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dalam satu tahun
terakhir, silang pendapat antarmenteri di ruang publik benar-benar menjadi
kelaziman. Silang pendapat paling acap muncul: antara Menko Bidang Maritim dan
Sumber Daya Rizal Ramli dan Menteri ESDM Sudirman Said.
Wakil presiden
Lebih luas dari
sekadar perbedaan di antara para menteri, pembelahan dapat dikatakan tabu
dalam praktik sistem presidensial saat anggota kabinet mempertontonkan sikap
konfrontatif dengan wakil presiden. Padahal, dalam batas penalaran yang
wajar, seorang menteri mesti memosisikan wakil presiden sebagai bagian tak
terpisah dari presiden. Artinya, jika seorang menteri ”menyerang” wakil
presiden, publik sangat mungkinmemaknainya sebagai bentuk penyerangan
terselubung kepada presiden.
Secara tekstual, UUD
1945 mendesain pembantu presiden dalam dua kelompok, yaitu wakil presiden dan
menteri-menteri negara. Ihwal wakil presiden, Pasal 4 Ayat (2) UUD 1945
menyatakan: dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang
wakil presiden. Begitu pula dengan pembantu berikutnya, Pasal 17 Ayat (2) UUD
1945 menyatakan: presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
Sekalipun sama-sama
pembantu presiden, posisi wakil presiden tidak sama dengan menteri-menteri
negara. Dalam kekuasaan pemerintahan negara, posisi wakil presiden jadi
bagian yang melekat dengan kewajiban konstitusional yang diemban presiden.
Dengan penegasan konstitusi itu, dalam menjalankan pemerintahan, posisi
konstitusional wakil presiden jelas berbeda dan lebih tinggi dibandingkan
dengan menteri-menteri negara.
Selain kuasa
pemerintahan, perbedaan posisi wakil presiden dengan menteri- menteri negara
dapat dilacak dari proses pengisian kedua jabatan ini. Sebagaimana diatur Pasal
6 dan Pasal 6A UUD 1945, pencalonan dan pemilihan wakil presiden satu paket
dengan pencalonan dan pemilihan presiden. Artinya, pengisian jabatan wakil
presiden adalah hasil pilihan rakyat melalui pemilihan langsung. Berbeda
dengan wakil presiden, merujuk Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945, menteri-menteri
hanya diangkat presiden.
Konsekuensi dari
proses pengisian yang berbeda, sama dengan presiden, masa jabatan wakil
presiden ditentukan secara eksplisit dalam konstitusi, yaitu lima tahun.
Artinya, dengan menggunakan logika masa jabatan tetap, kecuali terbukti
melanggar Pasal 7A UUD 1945 dan diberhentikan sesuai proses Pasal 7B UUD
1945,wakil presiden tidak akan diberhentikan di tengah masa jabatan.
Sementara menteri negara setiap saat bisa diberhentikan oleh presiden. Posisi
lain yang tidak dimiliki menteri negara, meski acap kali disebut sebagai ”ban
serep”, hanya wakil presiden yang menggantikan presiden jika orang nomor satu
ini berhalangan tetap.
Sebagai pembantu
presiden, sekalipun pengisian jabatan menteri negara bergantung pada
presiden, bentangan fakta pasca pemilihan langsung telah mengubah bagaimana
seharusnya menteri diangkat. Apabila dilacak makna hakiki posisi menteri
dalam Pasal 17 UUD 1945 dan dari aspek sistem presidensial, pengangkatan dan
pemberhentian menteri sesungguhnya hak prerogatif presiden. Namun, dengan
bentangan fakta adanya koalisi partai politik pendukung presiden, hak
prerogatif yang dimaksud Pasal 17 UUD 1945 tidak mungkin dilaksanakan secara
utuh.
Menteri negara
Pengalaman pemerintahan
Presiden SBY, penentuan menteri-menteri negara selalu melibatkan partai
politik pendukung koalisi pemerintahan. Meski hanya meminta sejumlah nama
kepada partai politik pendukung dan penentuan posisi final berada di tangan
SBY, presiden tak lagi memiliki prerogatif utuh menentukan menteri-menteri
negara. Bahkan, pada masa pemerintahan Jokowi-Kalla, ketua umum partai
pendukung pemerintah terasa lebih dominan menentukan calon menteri dari
partai politik mereka.
Sekalipun presiden
tidak mungkin lagi menggunakan hak prerogatifnya secara utuh, mereka yang
tergabung jadi anggota kabinet harus mampu menjaga relasi tiga pihak dalam
melaksanakan setiap urusan tertentu, sebagaimana dimaksud Pasal 17 Ayat (3)
UUD 1945. Sebagai menteri dalam sistem presidensial, relasi tiga pihak yang
harus dijaga/dipelihara seorang menteri yaitu: (1) hubungan dengan presiden;
(2) hubungan dengan wakil presiden; dan (3) hubungan sesama menteri dalam
posisi sebagai pembantu presiden.
Ihwal relasi pertama,
sekalipun seorang menteri berasal dari partai politik, ketika bergabung dalam
kabinet posisi mereka adalah pembantu presiden dan bukan merupakan pembantu
ketua partai politik pengusulnya. Dalam posisi demikian, begitu menerima
jabatan menteri, mereka harus siap mengabdi membantu presiden. Artinya,
dengan menerima posisi menteri, pengabdian kepada presiden harus utuh dan
tidak boleh terbelah. Tanpa itu, seorang menteri akansulit keluar dari
jebakan kesetiaan ganda.
Tuntutan bagi menteri
memberikan pengabdian utuh kepada presiden menjadi tekanan khusus. Sebab,
sulit mengharapkan seorang ketua umum partai politik ikhlas melepas begitu
saja anggotanya tanpa kendali. Tidak hanya itu, mereka yang jadi menteri
selalu diposisikan bak ”ayam bertelor emas” oleh partai pengusul.
Sementara itu, dalam
relasi kedua, seorang menteri harus bisa menempatkan posisi wakil presiden
secara tepat: menteri harus menempatkan posisi wakil presiden lebih tinggi
daripada mereka. Berpendapat berbeda secara terbuka di ruang publik dengan
wakil presiden, dalam batas-batas tertentu, dapat saja dinilai bahwa seorang
menteri tengah berupaya ”menyerang” presiden. Lebih jauh dari itu, berbeda
pandangan di ruang publik dengan wakil presiden dapat dinilai tidak sejalan
dengan logika dan etika menteri dalam bangunan sistem presidensial.
Terakhir, relasi
ketiga, yaitu menjaga hubungan sesama menteri. Soal ini perlu jadi perhatian
karena makin hari makin banyak perbedaan di antara para menteri yang muncul
ke permukaan. Sekalipun perbedaan dinilai oleh sebagian kalangan akan
memberikan keuntungan kepada rakyat, tetapi—dalam logika sederhana—perbedaan
yang terjadi menunjukkan perpecahan jajaran anggota kabinet.
Dalam soal ini,
Presiden Jokowi pernah memberi warning bahwa perbedaan di antara menteri
silakan disampaikan dalam rapat: rapat kabinet ataupun rapat terbatas.
Seharusnya, warning tersebut dibaca dan dimaknai sebagai bentuk ketidaksukaan
Presiden Jokowi terhadap polemik di antara menteri di luar rapat kabinet.
Peringatan tersebut menjadi penting karena membawa perbedaan di antara para
menteri ke ruang publik akan menggerus kewibawaan presiden.
Masih dalam relasi
ketiga, seorang menteri harus menghindar sejauh mungkin untuk melakukan
penilaian terhadap kementerian lain. Meski yang dinilai adalah lembaga atau
institusi kementerian, tetapi menjadi sulit menghindari anggapan bahwa
penilaian institusi bukan bagian dari menilai kinerja menteri.
Di atas semua itu, di
tengah wacana perombakan kabinet, sebagai pembantu presiden, khusus menteri,
begitu menerima posisi jadi anggota kabinet mereka harus mampu menempatkan
diri secara tepat. Jika perombakan kabinet benar-benar terjadi, bagi yang
tetap dipercaya bertahan atau wajah baru, mereka harus mengerti dan paham
menempatkan diri sebagai pembantu presiden. Bagi mereka yang berasal dan
diusulkan dari partai politik harus memberikan kesetiaan utuh kepada
presiden. Kalaupun harus menjaga perasaan partai politik pengusung, kesetiaan
kepada presiden harus jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kesetiaan kepada
ketua partai politik.
Bagaimanapun,
kesetiaan yang tak utuh akan memperdalam pembelahan di jajaran eksekutif.
Apabila tidak mau dengan posisi seperti itu, jangan pernah menerima jabatan
menteri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar