Dimensi Kesenjangan Kemakmuran
Bagong Suyanto ;
Dosen Kemiskinan dan
Kesenjangan Sosial
di Program Pascasarjana FISIP
Universitas Airlangga
|
KOMPAS, 14 April
2016
Terkuaknya sejumlah
nama dan perusahaan asal Indonesia dalam dokumen rahasia Panama Papers
(Dokumen Panama), tidak hanya mengindikasikan kemungkinan adanya tindakan
culas orang-orang yang ingin menghindari kewajiban membayar pajak di
negaranya, tetapi juga membuktikan bahwa di Indonesia sebetulnya tidak
sedikit orang yang memiliki kekayaan luar biasa besar.
Hasil ekspose
Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ) melaporkan ada 2.961
nama individu atau perusahaan yang muncul saat kata kunci ”Indonesia”
dimasukkan. Nama sejumlah pengusaha, politikus, bintang olahraga, dan
selebritas tersebut terhubung dengan 43 nama perusahaan perekayasa bebas
pajak (offshore) di luar negeri
demi menghindari pajak.
Konon kekayaan
orang-orang kaya asal Indonesia yang tersimpan di berbagai perusahaan
perekayasa pajak mencapai angka ribuan triliun rupiah. Meski seberapa jauh
kebenaran dari Dokumen Panama masih harus diverifikasi lebih lanjut, yang
menarik adalah ironi di balik terbongkarnya kasus orang-orang kaya asal
Indonesia yang memiliki kekayaan triliunan rupiah di luar negeri itu, di saat
yang sama ternyata kemiskinan masih belum tertangani hingga tuntas, dan
kesenjangan kemakmuran kian mencemaskan. Menurut Bank Dunia, kesenjangan
sosial di Indonesia yang makin lebar sejak tahun 2000 adalah yang tertinggi
di Asia.
Rasio gini di Indonesia,
per September 2015 dilaporkan sudah mencapai 0,41, dan bahkan di perkotaan
0,43. Padahal, pada 2000 rasio gini masih 0,30.
Pengalaman berbagai
negara menunjukkan, ketika kesenjangan sosial makin lebar, yang terjadi bukan
hanya munculnya potensi keresahan sosial eksplosif, tetapi juga peluang
pemerintah untuk mengatasi problema kemiskinan menjadi terhambat. Hal ini
karena dalam struktur masyarakat yang terpolarisasi, kesempatan masyarakat
miskin melakukan mobilitas vertikal umumnya kecil akibat kekakuan struktur
yang membatasi peluang masyarakat miskin memperbaiki taraf kehidupannya.
Dimensi kesenjangan
Menurut Schaefer
(2012), yang dimaksud kesenjangan atau ketimpangan sosial (social inequality) pada dasarnya
adalah suatu kondisi di mana antaranggota masyarakat memiliki perbedaan
jumlah kekayaan, prestise atau kekuasaan yang mencolok mata.
Berbeda dengan
pendapatan (income) yang hanya
merujuk pada gaji atau upah; kekayaan (wealth)
adalah istilah khusus yang mencakup semua aset material seseorang, termasuk
tanah, saham, dan jenis kepemilikan lain. Bagi masyarakat miskin, jangankan
memiliki uang jutaan atau miliaran rupiah, dalam kehidupan sehari-hari mereka
sering kali masih dihadapkan pada kewajiban membayar utang dan kesulitan
memenuhi kebutuhan paling elementer sekali pun. Di sisi lain, kelompok super
kaya dengan basis kekayaan luar biasa besar, umumnya memiliki kekuasaan atau
paling tidak dekat dengan pusat-pusat kekuasaan yang menguntungkan dirinya.
Ketimpangan sosial
dalam banyak kasus akan melahirkan kelas sosial tertentu yang elitis, yang
senantiasa berusaha mempertahankan hierarki dan pola pembagian kelas yang
ditandai oleh adanya ketimpangan distribusi kekayaan dan kekuasaan. Tidaklah
mungkin warga super kaya menyimpan uang di luar negeri dan menghindari
kewajiban membayar pajak, jika mereka tidak memiliki referensi dan akses ke
arah sana.
Secara garis besar,
empat dimensi yang acapkali menandai masyarakat yang diwarnai kesenjangan
kemakmuran adalah, pertama, adanya tingkat isolasi yang berbeda antarkelas
satu dengan yang lainnya. Yang dimaksud tingkat isolasi adalah dalam kaitan
dengan jauh-dekatnya seseorang atau kelompok masyarakat dengan sumber-sumber
produksi yang bisa dicapainya. Bagi masyarakat dari kelas sosial elite, sudah
barang tentu peluang mereka mengakses sumber-sumber produksi menjadi sangat
terbuka. Orang-orang yang hidup di pusaran kemakmuran bukan hanya memiliki
banyak aset yang diinvestasikan untuk mengakumulasikan keuntungan yang lebih
besar, tetapi juga memiliki akses untuk menyembunyikan dan menghindar dari
kewajiban membayar pajak dan lain-lain.
Kedua, diferensiasi
struktural, yaitu tingkat spesialisasi lembaga-lembaga dan keaktifannya.
Dalam banyak kasus, makin tinggi tingkat diferensiasi struktural, akan makin
berkurang jumlah golongan miskin. Sebaliknya, ketika di masyarakat terjadi
monopoli dan penguasaan aset produksi yang cenderung memusat pada segelintir
elite tertentu, maka jangan kaget jika yang terjadi kemudian justru
meningkatkan jumlah penduduk miskin.
Segelintir orang kaya
yang sejak zaman Orde Baru telah memiliki berbagai usaha dari hulu sampai
hilir, tentu memiliki kesempatan untuk mengembangkan praktik monopoli yang
benar-benar menguntungkan usahanya. Sementara, pelaku usaha kecil dan
menengah yang mencoba-coba bersaing di pasar bebas, dengan cepat akan menjadi
korban pertama yang harus menanggung akibat dari persaingan yang bebas di
pasaran.
Ketiga, spektrum
antara kekakuan (rigidity) dan
keluwesan (flexibility) suatu
sistem sosial merupakan dimensi struktural yang sering kali memengaruhi
pasang-surut jumlah penduduk miskin. Semakin kaku suatu sistem sosial dan
semakin sulit batasan-batasan sosial yang ditembus, akan semakin banyak
jumlah penduduk miskin.
Dalam masyarakat yang
terpolarisasi, struktur sosial yang ada biasanya akan sangat kaku, dan
cenderung tidak memberi kesempatan bagi penduduk miskin untuk memperbaiki
taraf kesejahteraannya karena pembagian margin keuntungan yang tidak berpihak
kepada mereka. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi ketika setiap tahun
diumumkan bahwa orang-orang yang ada di puncak kemakmuran di Indonesia adalah
para pemilik pabrik rokok, sementara petani tembakau di berbagai daerah—yang
notabene pemasok bahan baku utama rokok—justru jatuh miskin karena anomali
cuaca dan pembagian margin keuntungan yang sangat tipis.
Keempat, derajat
sentralitas. Artinya, kalau suatu daerah kurang atau tidak diperhatikan oleh
pusat yang tecermin pada rendahnya tingkat penanaman modal, pengembangan
infrastruktur, dan sebagainya, daerah itu niscaya akan lebih sulit untuk maju
yang ujung-ujungnya akan makin memperparah terjadinya kemiskinan di daerah
itu.
Sebuah negara yang
menerapkan strategi pembangunan yang bias urban, misalnya, niscaya akan
menyebabkan desa-desa makin tertinggal, dan terjadi over urbanization karena
kesempatan berusaha hanya tumbuh di kota besar yang menjadi pusat
pertumbuhan. Bagi segelintir orang yang memiliki modal berlebih, kesempatan
menikmati hasil-hasil pembangunan yang bias urban menjadi lebih besar.
Sebaliknya, penduduk miskin di pedesaan maupun migran biasanya akan mengalami
proses marginalisasi yang membuat taraf kehidupannya sulit naik kelas.
Meritokratis
Kesenjangan kemakmuran
di negara-negara yang menerapkan model pembangunan kapitalistik harus diakui
merupakan realitas yang tak terhindarkan. Berbagai upaya untuk membantu
golongan masyarakat miskin, biasanya cenderung bersifat meritokratis. Dalam
arti, program pembangunan yang sekilas terlihat memberi kesempatan yang adil
bagi golongan miskin untuk memperbaiki taraf kesejahteraannya, hasilnya
ternyata kemudian tetap melahirkan kesenjangan karena peluang bagi si miskin
untuk bersaing secara bebas tetap saja kecil.
Bisa dibayangkan
bagaimana mungkin seorang pelaku UMKM yang sehari-hari hanya mengandalkan
teknologi yang sederhana, kurang berpendidikan, dan tidak didukung modal yang
cukup mampu bersaing dengan sektor perekonomian firma yang telah mapan dan
menang segala-galanya? Tidak dimilikinya akses pada sumber-sumber produksi
dan jaringan pemasaran adalah kendala utama yang acapkali menghambat peluang
bagi masyarakat miskin melakukan mobilitas vertikal dan memperbaiki taraf
kehidupannya.
Di Amerika, misalnya,
rumah tangga kulit putih yang berpendidikan tinggi umumnya memiliki kekayaan
tiga kali lipat dari rumah tangga kulit hitam yang berpendidikan sama
tingginya (Oliver & Shapiro, 2006). Kenapa hal ini terjadi? Karena di
masyarakat akses orang kulit putih sejak lama telah tertata dan terbuka, dan
mereka juga memiliki dukungan jaringan pemasaran, serta modal sosial yang
lebih baik untuk meraih kesempatan yang tersedia di pasar. Hal ini tidak
terjadi pada masyarakat kulit hitam di Amerika.
Di Indonesia sendiri,
walau berbagai upaya telah dilakukan untuk membantu masyarakat miskin
memperbaiki taraf kesejahteraannya, hingga saat ini hasilnya belum memuaskan.
Faktor yang membuat program-program pembangunan yang digulirkan tak banyak
menimbulkan daya ungkit yang bisa membantu masyarakat miskin, adalah karena
berbagai program tersebut umumnya bersifat amal-karitatif, yang ujung-ujungnya
justru melahirkan ketergantungan daripada memberdayakan.
Mengatasi dan
mengurangi kesenjangan kemakmuran yang makin melebar, niscaya butuh bukan
hanya komitmen pemerintah untuk benar-benar melakukan pemberdayaan dan
melindungi masyarakat miskin dari ulah kelas elite yang eksploitatif dan
memarginalisasi. Tak kalah penting adalah memberikan jaminan bahwa negara
benar-benar bertindak adil dan memberi kesempatan masyarakat miskin
memberdayakan dirinya sendiri secara adil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar