Mengawal Sinergi Pusat dan Daerah
Muhammad Farid ;
Fellow pada Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhannas)
|
MEDIA INDONESIA,
14 April 2016
SINERGI hubungan
antara pemerintah pusat dan daerah kembali diingatkan oleh Presiden Joko
Widodo (Jokowi) pada saat pencanangan program Sinergi Aksi untuk Ekonomi
Rakyat di Brebes, Jawa Tengah. Pada kesempatan itu Presiden Jokowi
menyampaikan bahwa program sinergi tersebut dilakukan karena pada praktiknya
selama ini, pemerintah pusat dan daerah berjalan sendiri-sendiri (Media Indonesia, 12/4).
Dalam hal regulasi,
sejak Januari 2016 Presiden Jokowi pernah menyampaikan bahwa ada 3.000
peraturan daerah (perda) bermasalah yang harus segera dicabut karena dianggap
menghambat pembangunan. Hal itu diingatkan Presiden pertama kali pada 29
Januari 2016 di Yogyakarta saat membuka Konferensi Nasional Forum Rektor
Indonesia Ke-18. Keberadaan perda bermasalah kembali diingatkan untuk yang
kedua kalinya oleh Presiden pada 22 Februari 2016 ketika mengungkapkan
keprihatinannya mengenai peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) Indonesia 2016 yang berada pada posisi
109 dari 189 ekonomi dunia. Yang ketiga, Presiden mengingatkan kembali hal
itu saat berada di Ambon, Maluku, pada 4 April 2016.
Selain tentang 3.000
perda bermasalah, Presiden Jokowi menyoroti ‘kebiasaan buruk’ kepala daerah
dalam mengelola anggaran, yaitu umumnya lebih mengutamakan pembiayaan
operasional, seperti pembelian mobil dinas, rumah, atau mebel baru bahkan
mewah dengan segala kenyamanan daripada merealisasikan sebanyak-banyaknya
pembangunan (Media Indonesia, 8/4).
Loyalitas kepala
daerah kepada pemerintah pusat juga menjadi sorotan Presiden pada 12 Februari
2016 saat melantik tujuh pasang gubernur dan wakil gubernur terpilih hasil
pilkada serentak yang dilaksanakan pada 9 Desember 2015. Pada kesempatan itu,
Presiden menegaskan posisi kepala daerah sebagai kepanjangan tangan
pemerintah pusat sehingga harus memiliki loyalitas tunggal kepada pemerintah
pusat serta menjalankan kebijakan sesuai dengan yang sudah digariskan oleh
pemerintah pusat.
Mengawal sinergi
Berbagai peringatan
itu memberi gambaran bahwa secara garis besar sinergi antara pemerintah pusat
dan daerah masih terhalang oleh keberadaan perda bermasalah, pemahaman
mengenai prinsip otonomi daerah, serta pemahaman kepala daerah mengenai tugas
pokok dan fungsinya. Dengan kata lain, upaya untuk mengatasi ketiga hambatan
tersebut menjadi tugas mendesak yang harus diselesaikan guna menjamin
keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Ada beberapa hal yang harus
dilaksanakan untuk mengawal sinergi pembangunan pusat dan daerah.
Pertama, para kepala
daerah harus memahami secara utuh prinsip desentralisasi. UU No 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (yang dua kali perubahannya ditetapkan dalam UU No
9 Tahun 2015) menegaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas
otonomi. Asas otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan
daerah berdasarkan otonomi daerah; sedangkan otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan kata lain,
daerah harus memahami prinsip bahwa kewenangan yang diperolehnya ialah urusan
pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Sejak dilancarkan pada
1999, otonomi daerah telah memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada
pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan di daerahnya di luar bidang
moneter dan fiskal nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, dan agama. Sejatinya, otonomi daerah ini mampu membantu pemerintah
pusat dalam pembangunan nasional dengan mengoptimalkan potensi dan peran
daerah. Akan tetapi, pada penerapannya, otonomi daerah masih terkendala oleh
ketidakselarasan kebijakan dan prioritas pembangunan antara pemerintah pusat
dan daerah.
Kedua, undang-undang
pemerintahan daerah yang berlaku saat ini harus disosialisasikan dengan baik
sehingga dimengerti oleh pemerintah mulai tingkat pusat hingga daerah. Sejak
otonomi daerah diberlakukan pada 1999, undang-undang mengenai pemerintahan
daerah telah dibuat dan diubah beberapa kali sehingga ada pasal-pasal baru
yang tidak ada dalam undang-undang sebelumnya yang harus dipahami oleh kepala
daerah saat ini.
Sebagai contoh, dalam
undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya, yakni UU No 32 Tahun 2004 (yang
dua kali perubahannya ditetapkan dalam UU No 12 Tahun 2008), tidak terdapat
pasal yang mengatur kewenangan pemerintah pusat dalam mengelola dan
memanfaatkan kawasan perbatasan; sedangkan undang-undang penggantinya, UU No
23 Tahun 2014 (yang dua kali perubahannya ditetapkan dalam UU No 9 Tahun
2015), mengatur kewenangan tersebut. Selain itu, undang-undang pemerintahan
daerah yang saat ini berlaku jauh lebih detail ketimbang undang-undang
sebelumnya. Sebagai gambaran, UU No 23 Tahun 2014 berjumlah 460 halaman;
bandingkan dengan UU No 32 Tahun 2004 yang hanya terdiri dari 159 halaman.
Dengan demikian, diperlukan pemahaman komprehensif oleh pemerintah pusat dan
seluruh kepala daerah tentang aturan main pemerintahan daerah ini.
Ketiga, pemerintah
pusat harus tegas dalam menangani adanya peraturan-peraturan daerah (perda)
yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini peraturan
di tingkat pusat. Undang-undang pemerintahan daerah secara tegas mengatur
bahwa pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, berwenang untuk
membatalkan perda yang tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi.
Program strategis
Ketegasan ini juga
dibutuhkan dalam menyikapi pelaksanaan program pembangunan di daerah yang
tidak sejalan dengan kebijakan pembangunan yang telah digariskan oleh
pemerintah pusat. Sebagai contoh, undang-undang pemerintahan daerah yang
berlaku saat ini telah mengatur bahwa rencana kerja pembangunan daerah (RKPD)
disusun dengan berpedoman pada program strategis nasional yang ditetapkan
oleh pemerintah pusat. Meski demikian, pada praktiknya pemerintah daerah terkadang
membuat prioritas pembangunan yang tidak sejalan dengan program strategis
pusat. Hal ini mungkin diakibatkan oleh penafsiran yang kurang tepat terhadap
Pasal 5 ayat 3 UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
Keempat, para kepala
daerah yang baru terpilih perlu memiliki kesamaan persepsi tentang
pembangunan Indonesia yang sesuai dengan karakter dan jati diri bangsa. Dalam
hal ini, para kepala daerah didorong untuk tidak hanya mengenal tugas pokok
dan fungsi sesuai undang-undang, tetapi juga memiliki pemahaman utuh mengenai
dasar negara, konstitusi, prinsip-prinsip dasar NKRI, serta wawasan
Nusantara. Penggodokan pemahaman ini sudah diupayakan oleh Lembaga Ketahanan
Nasional sebagai lembaga think tank
negara dengan mengadakan Program Pemantapan Pemimpin Daerah Angkatan (P3DA)
bagi para kepala daerah secara berkala.
Berbagai peringatan
dari Presiden yang secara garis besar menyoroti sinergi pemerintah pusat dan
daerah sudah selayaknya menjadi prioritas untuk diselesaikan. Tanpa sinergi
yang kukuh antara pemerintah pusat dan daerah mustahil program pembangunan
nasional dapat berjalan dengan efektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar