Ketika Penjara tidak Menjerakan
Lely Arrianie ;
Dosen Komunikasi Politik,
Universitas Bengkulu;
Ketua Program Magister Ilmu
Komunikasi, Universitas Jayabaya Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
14 April 2016
KETIKA membaca tulisan
ini, pasti di luar sana, ada seseorang dan atau sekelompok orang yang tengah
merencanakan permufakatan jahat atau bahkan tengah mencuri dan memalak hak
rakyat, melakukan perbuatan bejat korupsi yang dilakukan dengan sadar atas
kuasa yang dimilikinya. Entah karena ia politikus, aparat penegak hukum,
pengusaha, atau pejabat birokrasi dari level yang tertinggi atau rendah.
Apa yang dapat
dijelaskan para politikus yang menyandang peran keterwakilan di panggung
politik itu, jika dari hari ke hari KPK menangkapi mereka karena terlibat
dalam persekongkolan jahat memalak dan terlibat dalam percaloan yang
merugikan uang rakyat dalam bentuk korupsi? Apakah kasus itu menjelaskan
kepada kita, betapa tidak pahamnya mereka atas fungsi keterwakilan dan
menggadaikannya sedemikiaan rupa?
Setiap saat KPK bisa
melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap mereka yang seolah memegang
kendali kekuasaan di negeri ini. OTT terhadap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta
M Sanusi bersama pengusaha menyisakan soal yang harus terus digali. Itu pasti
tidak dilakukannya sendiri mengingat begitu tingginya posisi tawar para
politikus yang disediakan pascareformasi sehingga hak legislasi, hak
anggaran, dan pengawasan yang mereka miliki, menempatkan posisi para
politikus itu kadang melebihi kekuatan di birokrasi. Karena itu, banyak
kepala daerah dan jajaran pejabat lainnya di daerah yang akhirnya
bermain-main dengan politisi memanfaatkan peran itu untuk berkolaborasi
menggagas korupsi.
Kekuasaan dan korupsi
Simtom kekuasaan
memang menjadikan seseorang seperti terseret ke dalam stigma korup, tidak
heran karena kekuasaan memang cenderung korup. Namun, mengapa ada satu atau
dua orang penguasa yang masih bisa membentengi dirinya untuk tidak korupsi
misalnya, apakah karena hanya mereka itu yang takut kepada KPK daripada
Tuhan? Sehingga belum jeda perbincangan tentang politisi, gubernur, atau
bupati yang ditersangkakan di KPK berkaitan dengan korupsi, kita disadarkan
(bukan dikejutkan) dengan ditangkapnya jaksa di Kejati Bandung diikuti dengan
penangkapan terhadap Bupati Subang, Jawa Barat.
Jadi, kita disadarkan
kembali kepada beberapa kasus penangkapan dan penahanan segerombolan
politikus di beberapa provinsi serta kabupaten di Indonesia. Fakta itu
menunjukkan betapa korupsi politik dan birokrasi seperti mata rantai dan
lingkaran api perselingkuhan politik di balik pasang surutnya hubungan DPRD
dan kepala daerah pascareformasi, terutama saat semua kinerja eksekutif
sangat dan akan ditentukan oleh restu para politisi di legislatif.
Lalu, para politikus
di legislatif yang seolah mengalami gegar budaya menjadikan korupsi sebagai
budaya politik dan perilaku politik dikembangkan seolah selalu menyasar
kepada budaya korup itu. Politisi dan birokrasi selalu mengembangkan perilaku
politik ke arah yang tidak mengandung model dan budaya.
Kebanyakan kebudayaan
termasuk kebudayaan politik bergerak dalam shame culture dan bukan
guilt culture. Karenanya kita akan sulit menyaksikan bagaimana perubahan
perilaku politik di negeri ini bergerak selaras dengan perjuangan anti
korupsi. Itu karena geliat para koruptor jauh lebih galak dari dimensi
kepatutan hukum, moral, etika dan bahkan kehormatan politik mereka sendiri,
alih-alih atas nama status dan nama baik.
Perjuangan untuk
membangun negeri yang bebas dari korupsi tidaklah mudah. Para koruptor dan
calon koruptor baru seolah belajar mempresentasikan dirinya menjadi
cendekiawan politik berkelas. Mereka bebas dari shame culture dan guilt
culture atau kebudayaan malu dan kebudayaan kebersalahan. Shame culture seluruhnya ditandai rasa
malu dan di sana tidak dikenal rasa bersalah, sedangkan guilt culture terdapat rasa bersalah bahwa hati nurani adalah
cermin berperilaku politik yang baik. Yang melihat shame culture dan guilt
culture sebagai gelas kaca pembeda untuk benar-benar menjalankan fungsi
keterwakilan dengan segala hak yang melekat, baik legislasi, anggaran maupun
pengawasan.
Tidak jera di penjara
Penjara tampaknya
bukan lagi menjadi tempat menakutkan bagi tikus-tikus got pemalak uang rakyat
itu bukan? Tampaknya juga bukan soal sebentar atau lamanya di penjara. Yang
harus dipikirkan oleh para pembuat keputusan hukum dan politik di negeri ini
ialah bagaimana agar para koruptor dan calon koruptor takut (bukan jera)
melakukan aksinya. Sejatinya mereka bukanlah orang waras secara hukum,
politik dan agama. Bagi orang berakal dan waras ketika kebebasannya
terberangus, walau hanya satu atau dua jam saja di penjara, merupakan hal
yang menyakitkan dan menakutkan.
Tetapi karena akal
sehat dikalahkan oleh kekuasaan dan materi, hitungan waktu di penjara seolah
menjadi ajang judi yang membuat mereka bisa bermain petak umpet bahkan dengan
para pelaku lain yang sama dipenjarakan, membentuk kelompok pertemanan baru,
lalu menjadikan mereka memiliki identitas baru dengan labelling yang sama.
Seharusnya para elite
dan penguasa itu membaca banyak hal tentang kehormatan, reputasi, nama baik,
status serta gengsi, yang justru harus dikembalikan kepada martabat politik.
Mereka harus bisa menyandang fungsi keterwakilan dan mengemban amanah
kekuasaan, dengan menjauhkan dan melepaskan diri dari niat untuk melakukan
dan memberi ruang pelanggaran hukum dalam bentuk korupsi, karena kejahatan
korupsi itu jauh lebih kejam dari terorisme dan narkoba.
Perjuangan antikorupsi
itu begitu sulit karena bila orang atau kelompok melakukan kejahatan ini,
mereka tidak menganggap sebagai sesuatu yang buruk, melainkan sesuatu yang
harus disembunyikan dari orang lain. Hal itu agar mereka tak kehilangan muka,
dikutuk, dan dicela.
Jika penjara tak lagi
menjerakan, apalagi amanah selalu digadaikan, dan koruptor baru terus
bermunculan, haruskah kita berpikir mencari cara lain agar mereka menyesali
dan bahkan menimbulkan rasa ngeri jika ingin korupsi? Barangkali upaya
memiskinkan koruptor dengan cara menyita semua harta kekayaannya adalah cara
yang bisa ditempuh atau malah sudah saatnya diberikan hukuman mati terhadap
koruptor. Yang jelas, negeri ini sudah sangat darurat korupsi. Sama
daruratnya dengan persoalan narkoba dan terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar