Mengajar Keluarga Adam Malik
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 01 April
2016
Suatu hari di tahun
1979, Prof Harun Nasution, masih Rektor IAIN Syarif Hidayatullah saat itu,
memanggil saya untuk memberi pelajaran Islam bagi keluarga Wakil Presiden
Adam Malik, terutama anak-anaknya.
Pak Adam Malik minta
didatangkan guru agama ke rumahnya di Jalan Diponegoro, lalu Pak Harun
mempercayakan tugas itu kepada saya. Mereka memerlukan guru agama dengan
pendekatan rasional. Mereka lama tinggal di luar negeri. Orang-orangnya
senang berdiskusi. “Tipikal orang Batak,” kata Pak Harun, “kamu yang cocok
mengajari mereka.” Pengalaman bekerja sebagai wartawan dan pernah aktif di
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) membuat saya cukup percaya diri menerima
permintaan ini.
Sesuai jadwal, saya
pun datang ke kediaman Adam Malik, Jalan Diponegoro 29. Karena ini tempat
kediaman wakil presiden, ketika masuk mesti melewati pemeriksaan, ditanya KTP
dan tujuannya apa. Penjagaan ketat, standar rumah pejabat tinggi negara. Saya
menghadap Bu Endang, sekretaris Wapres, kemudian diantar ke ruang belajar.
Keluarga sudah berkumpul di ruang terbuka dekat taman belakang. Sangat nyaman
untuk ruang pertemuan keluarga.
Acara ini saya lakukan
setiap hari Jumat, dimulai pukul 9 pagi. Saya mengajar untuk mereka sekitar
empat tahun, mengajar layaknya memberi kuliah kepada mahasiswa. Saya buat
silabus dan saya bagi buku rujukan pokok. Salah satunya buku Pengantar Studi
Islam karya Miftah Farid yang berisikan tema-tema pokok ajaran Islam yang dia
persiapkan untuk mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung).
Peserta intinya adalah
putra Pak Adam Malik, yaitu Otto, Budi, Ilham, Rini, dan beberapa keluarga
dekat serta staf sekretariat, sehingga rata-rata 10 orang setiap pertemuan.
Karena mereka pernah belajar dan tinggal di luar negeri, wawasannya terlihat
luas dan terbiasa berdiskusi secara bebas.
Setiap datang ke rumah
Wapres, penjaganya selalu berganti-ganti.
Mungkin mereka heran
ketika saya lapor mau mengajar agama, mengingat penampilan saya bukan tipikal
ustaz. Kesan saya, keluarga itu begitu kompak dan rukun. Senang berkumpul dan
pergi bareng-bareng, termasuk juga salat Jumat pindah-pindah masjid di
wilayah Jakarta.
Sosok Pak Adam Malik
dan Bu Nelly bagaikan rumah tempat anak cucu berkumpul dan berteduh dalam
suasana yang selalu hangat. Meski anak-anaknya sudah dewasa dan tinggal di
rumah masing-masing, tetap saja rumah di Jalan Diponegoro seakan jadi rumah
utama mereka. Jika muncul problem keluarga, orang tua ikut menyelesaikan.
Saya sendiri ikut merasakan keakraban keluarga ini.
Sehabis salat Jumat
lalu makan bareng sambil ngobrol ke sana kemari. Gosip-gosip politik dan
anekdot yang lucu tak pernah lepas dari obrolan.
Pak Adam pernah
bercanda, suatu saat temannya kehilangan jam di NewYork. Lalu Pak Adam Malik
memberi respons, ”Wah, wah, rupanya ada juga orang Batak yang kerja di sini,”
candanya. Saya surprised ketika Pak
Adam Malik memberi buku tentang filsafat tasawuf yang rupanya pernah
dibacanya. Antara lain tentang tokoh sufi Idries Shah dan buku yang membahas wahdatul wujud, konsep menyatunya sang
hamba dan Tuhannya. Manunggaling kawula
Gusti.
Lima tahun saya
bergaul dekat dengan keluarga Pak Adam Malik. Pernah suatu hari dia
menyatakan kekecewaan kepada Pak Harto, gara-gara mengetahui posisinya
berakhir sebagai wapres hanya melalui berita surat kabar. Katanya, apa beratnya
kalau Pak Harto memberi tahu langsung secara lisan, toh sama-sama teman
seperjuangan, sebelum keputusan itu disampaikan ke publik. Ini tidak etis dan
melukai persahabatan.
Sebelum menjabat wakil
presiden untuk periode 1978-1983, Adam Malik (1917-1984) pernah menjabat duta
besar RI (1959), juga pernah menjabat menteri luar negeri pada 1966-1978.
Untuk mengenang jasa-jasanya, pada 5 September 1985 Ibu Tien Soeharto
meresmikan rumah kediaman di Jalan Diponegoro 29 itu menjadi Museum Adam
Malik. Semasa hidup Adam Malik, rumah di Jalan Diponegoro itu berfungsi lebih
dari sekadar rumah tempat tinggal, melainkan juga museum pribadi yang menarik
minat para pengunjung.
Banyak benda-benda
antik seperti batu permata dan guci buatan China yang usianya cukup tua.
Koleksi yang paling khas dan tak ada duanya adalah berbagai ragam bentuk dan
merek kamera atau tustel yang dipakai sejak Pak Adam Malik meniti karier
sebagai wartawan pada zaman prakemerdekaan. Lalu koleksi suvenir yang
diterima selama berkarier sebagai diplomat.
Begitu banyak kenangan
saya yang bersifat humanis dengan keluarga Adam Malik. Mereka kaya dengan
cerita humor dan anekdot politik maupun kehidupan sehari-hari. Saya sendiri
sejak itu merasa akrab dengan Istana Wapres dan sosok wapres penerus Adam
Malik karena sering diminta memberi khotbah Jumat dan ceramah pada hari-hari
besar keagamaan.
Pada 1985 saya
meninggalkan Jakarta, meneruskan kuliah tingkat master dan doktor di Turki,
sebuah pergulatan baru menjadi mahasiswa miskin dimulai lagi. Beredarnya
berita bahwa museum Adam Malik mengalami kebangkrutan dan banyak koleksinya
hilang membuat hati saya ikut teriris sedih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar