Ketika Naga Lagi Menggigit Samurai
Dahlan Iskan ;
Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 04 April
2016
Ini bukan jual beli
biasa. Sharp menjual diri. Dibeli oleh Foxconn. Perusahaan teknologi Jepang
dijual. Perusahaan Taiwan yang membeli.
The Wall Street
Journal menyebutnya seru: Ini baru pertama terjadi. Jepang terpaksa melepas
perusahaan teknologinya ke negara lain. Terutama teknologi elektroniknya.
Ideologi menjaga ”rahasia teknologi Jepang” mulai meleleh.
Padahal, Jepang dikenal sangat pelit melakukan alih teknologi. Sampai
sekarang pun, kita hanya jadi pasar mobil Jepang.
Pelitnya Jepang dalam
”alih teknologi” kini berubah menjadi penyerahan total. Bukan hanya alih
teknologi. Sekalian dengan perusahaannya. Terpaksa.
Sharp memang dalam
kesulitan besar. Belakangan terus merugi. Berbagai usaha penyelamatan gagal.
Dua kali bailout tidak
menolong. Tahun lalu masih rugi USD
918 juta. Atau sekitar Rp 12 triliun. Belum termasuk angka meragukan yang
baru diketahui belakangan.
Pertolongan paling
dramatis dilakukan oleh ”dewa baru” Jepang: INCJ. Juga gagal.
INCJ adalah dewa baru.
Didirikan pemerintah bersama 19 perusahaan raksasa Jepang. Tugasnya:
merangsang perusahaan Jepang agar tidak kalah dalam kompetisi.
Bukan main. Jepang
yang kita nilai sudah sangat hebat pun masih perlu melakukan itu: bagaimana bisa lebih kompetitif.
Maksudnya, mungkin, agar jangan kalah oleh Korea.
INCJ (Innovation
Network Corporation of Japan) baru dibentuk pada 2009. Ialah yang terakhir
berusaha keras menyelamatkan Sharp. Agar jangan jatuh ke asing. Caranya pun
drastis: menggabungkan Sharp ke dalam grup Japan Display.
Japan Display
didirikan pada 1 April 2012. Empat tahun lalu. Oleh INCJ. Tugasnya
menyelamatkan raksasa-raksasa elektronik Jepang. Maka, divisi-divisi layar
dari Sony, Toshiba, dan Hitachi digabung ke dalam Japan Display. Panasonic
menyusul belakangan.
Maunya: Sharp
dimasukkan ke situ sekalian. Tapi, penawaran dari Taiwan terlalu menggiurkan.
Dan lagi bank-bank yang selama ini mendanai Sharp lebih mau jalan pintas:
jual saja. Sharp bisa lebih cepat selamat. Maksudnya: Banknya juga cepat
selamat.
Tawaran Foxconn memang
menggiurkan: USD 6,25 miliar. Jepang pun heboh. Oleh besarnya tawaran. Dan
oleh ancaman asing.
Tawaran itu dua kali
lipat dari harga yang disodorkan INCJ. Dan akan dibayar cepat.
Tapi, drama pun
terjadi. Saat Foxconn siap mentransfer uang, muncul data baru: Ada angka yang
selama itu belum terungkap. Sharp ternyata memiliki tanggungan USD 3 miliar.
Atau sekitar Rp 40 triliun.
Yang bisa jadi bom
sewaktu-waktu. Foxconn terbelalak. Ini bahaya. Bisa jadi ganjalan ke depan.
Bos Foxconn Terry Guo berang.
Keputusan pun dia
ambil: Batal.
Ganti Sharp yang
panik. Berita masuknya Foxconn ke Sharp sudah terlalu luas beredar. Ke
seluruh dunia.
Jepang yang dikenal
sangat ulet dalam negosiasi kini harus menghadapi naga terbang. Sampai-sampai
CEO Sharp Takahashi mendadak ke Shenzhen. Mencari Guo.
Foxconn memang punya
pabrik besar di Tiongkok. Karyawannya sampai satu juta orang.
Komponen-komponen iPhone banyak dibikin di situ. Juga produk Apple lainnya.
Guo tahu bahwa
Takahashi minta ketemu dirinya. Dia memang sudah membatalkan transaksi itu,
tapi tidak dalam hatinya. Melihat respons Takahashi, Guo membatalkan liburan
Imlek-nya.
Tapi, yang menemui
Takahashi hanya stafnya. Dia menunggu di kamar sebelah. Alot. Data yang
dibawa Takahashi dipelototi.
Rapat itu berlangsung
sejak pukul 23.00 sampai 09.00. Tidak ada yang tidur. Juga Guo. Yang
meringkuk di kamar sebelah.
Menjelang jam makan
siang, kamar Guo diketok. Takahashi bertekuk lutut. Dia menyerah. Menerima
tawaran Foxconn yang terakhir: USD 3,5 miliar.
Turun dari tawaran
awal yang USD 6,25 miliar. Atau turun sekitar Rp 40 triliun.
Inilah gertakan senilai
Rp 40 triliun. Inilah keuletan seharga Rp 40 triliun. Inilah tidak tidur
dengan imbalan Rp 40 triliun.
Takahashi memang
menyerah. Tapi bukan karena ngantuk.
Harga itu memang masih lebih tinggi daripada tawaran penyelamatan oleh dewa
INCJ. Terutama tidak bisa menjamin bahwa tanggungan USD 3 miliar itu tidak
berbahaya.
Mengapa pemerintah
Jepang tidak all-out dalam menyelamatkan Sharp? Dari tangan asing. Yang akan
menguasai saham Sharp sampai 72 persen. Taiwan lagi. Wilayah jajahannya dulu.
Pemerintah Jepang
rupanya memang punya agenda tersembunyi: merevolusi mental perusahaan Jepang.
Yang selama ini tertutup. Pelit investasi. Kurang mengutamakan pemegang
saham.
Pemerintah Jepang
ingin memulai persaingan terbuka. Termasuk dalam inovasi. Terutama inovasi
jenis bisnis masa depan. Singkatnya, Jepang ingin mulai terbuka pada modal
asing.
Untuk membuat
manajemen Jepang lebih terbiasa dengan iklim persaingan. Persainganlah yang
bisa membuat orang lebih inovatif.
Korea dianggap lebih
inovatif. Musuh besarnya itu.
Saat tulisan ini
muncul di koran grup Jawa Pos, saya sedang di Jepang. Ingin ke Fukushima. Dan
ke Fujioka. Bukan untuk membatalkan drama Sharp-Foxconn itu. Tentu saja.
Nama Terry Guo (Guo
Tai Ming) kini begitu top. Dia lambang baru dari zero to hero. Lahir sebagai
anak polisi rendahan di Shanxi pada 1950, dia ikut ayahnya mengungsi ke
Taiwan. Terdesak oleh pemerintahan baru komunis Mao Zedong.
Di Taiwan, Guo bekerja
di pabrik karet. Buruh pemutar roda. Di umur 24 tahun, Guo memutuskan untuk berhenti
jadi buruh. Bikin usaha kecil. Berkembang: industri kecil bidang plastik. Dia
bikin casing televisi.
Di umur 30-an tahun,
Guo pergi ke AS. Selama sebelas bulan dia menjelajah berbagai sudut negara.
Mencari pasar. Dengan keberanian nekatnya. Dan kegigihan gilanya. Di usia 65
tahun saat ini, Guo menjadi orang terkaya dunia urutan 250-an.
Istrinya, Serena Lim,
meninggal karena kanker payudara. Sepuluh tahun yang lalu. Istri keduanya,
Zheng Xinyin, seorang koreograf. Saat menikah itu, duda Guo 55 tahun. Zheng
24 tahun.
Dunia kini menanti
masa depan Sharp. Sebagai perusahaan asing di Jepang. Sukses atau kempis.
Naga sedang menggigit samurai. Semua ingin tahu apa lakon berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar