Desakralisasi Ujian Nasional
Ng. Tirto Adi Mp ;
Doktor Manajemen
Pendidika;
Dosen Program Pascasarjana Unipa
Surabaya
|
JAWA POS, 04 April
2016
MULAI hari ini hingga tiga-empat hari ke depan
(4-6/7 April), seluruh pelajar Indonesia jenjang SMA/MA/SMK sederajat
melaksanakan ujian nasional (unas). Unas yang sekarang adalah tahun kedua
tidak lagi dipakai sebagai syarat untuk menentukan kelulusan.
Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan
(sekolah/madrasah) berdasar pasal 24 Permendikbud Nomor 57 Tahun 2015 tentang
Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah melalui Ujian Nasional dan Penilaian
Hasil Belajar oleh Satuan Pendidikan melalui US/M/PK (Ujian
Sekolah/ Madrasah/Pendidikan Kesetaraan), ditentukan oleh kriteria: a)
menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b) memperoleh nilai
sikap/perilaku minimal baik; dan c) lulus US/M/PK. Jadi, lulus tidaknya siswa
dari sekolah/madrasah tidak lagi ditentukan oleh nilai ujian nasional. Tapi,
penentunya adalah nilai rapor (sebagai bukti keikutsertaannya mengikuti
program pembelajaran) dan nilai US/M/PK. Juga sikap dan perilaku siswa itu
sendiri.
Untuk itulah, Mendikbud RI Anies Baswedan
mulai 2015 mengurangi keterlibatan aparat keamanan dalam pendistribusian
naskah unas. Juga meniadakan kehadiran polisi di satuan pendidikan saat ujian
berlangsung. Sekolah/madrasah pun, terutama peserta didik, merasa lebih
tenang dan nyaman. Begitu juga, guru merasa mendapatkan kepercayaannya
kembali.
Kemunduran dalam
Pengamanan?
Namun, sangat disayangkan, situasi dan kondisi
yang secara berangsur mengurangi keterlibatan aparat keamanan kini kembali
lagi. Itu terjadi setelah ada surat telegram dari Kapolda Jatim ke Kapolres
kabupaten/kota tentang perlunya pengamanan dalam pelaksanaan unas.
Model pengamanan unas di Jatim itu bisa
dibilang sebagai sebuah kemunduran jika dibandingkan dengan pengamanan tahun
lalu. Tahun lalu sudah mulai dilakukan pengurangan tenaga pengamanan dari dua
personel menjadi satu personel dari kepolisian.
Saat pelaksanaan unas, di sekolah/madrasah telah
terbebas (steril) dari personel pengamanan. Kondisi seperti itu sebenarnya
yang diharapkan oleh insan-insan pendidikan di sekolah/madrasah pada umumnya.
Apalagi, unas sekarang tidak hanya berbasis
kertas dan pensil. Tetapi, juga ada yang berbasis komputer yang tentu tidak
memerlukan lagi pengamanan aparat kepolisian. Sekadar bahan bandingan,
pengiriman naskah ujian ke sekolah di Negara Bagian Australia Barat dilakukan
melalui kantor pos setempat dan sama sekali tidak melibatkan aparat
kepolisian.
Memang, tugas pengamanan adalah tanggung jawab
institusi kepolisian terhadap suatu dokumen negara yang bersifat rahasia.
Tetapi, perlu diingat, membebankan kepada institusi kepolisian an sich
terhadap pengamanan dokumen negara yang bersifat rahasia efektivitasnya perlu
dipertanyakan.
Buktinya, sejumlah fakta kebocoran terhadap
dokumen negara -dalam konteks ini naskah unas- selama ini tetap terjadi. Itu
terjadi bukan karena tidak ada personel kepolisian, tetapi lebih banyak
disebabkan ketiadaan kesadaran mendalam oleh petugas sekolah/madrasah akan
pentingnya makna kejujuran.
Di sinilah diperlukan adanya pelibatan publik
dalam pengamanan dokumen negara, tidak hanya oleh aparat kepolisian semata.
Dalam teori stimulus-respons, Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) telah mengingatkan
bahwa besarnya respons yang diberikan oleh seseorang sangat ditentukan oleh
seberapa besar stimulus yang diberikan.
Ketika pengamanan -terlebih dari pihak
eksternal, seperti aparat kepolisian di sekolah- diberikan secara berlebihan,
kecenderungan resistansi yang diberikan pihak sekolah juga lebih besar.
Apalagi jika pengamanan itu memberikan dampak yang kurang nyaman.
Unas sekarang sepatutnya tidak lagi disikapi
sebagai event yang luar biasa. Unas adalah event biasa dan tidak perlu
disakralkan. Karena itu, pengamanannya sudah sepatutnya dikembalikan kepada
insan-insan pendidikan di sekolah/madrasah yang dapat dipercaya. Sudah
saatnya lingkungan pendidikan ditetapkan sebagai zona kejujuran.
Perwujudan sekolah/madrasah sebagai zona
kejujuran juga mulai diwujudkan Kemendikbud RI pada 2015. Yakni, dengan
memberikan apresiasi anugerah IIUN (indeks integritas ujian nasional) bagi
sekolah-sekolah yang jujur dan berprestasi.
Sekolah sebagai Taman
Prestasi pendidikan Indonesia, jika dilihat
dari salah satu capaian hasil studi internasional Programme for International Student Assessment (PISA, 2012),
belum menggembirakan. Indonesia berada di peringkat ke-64 di antara 65 negara
yang disigi dari sisi kecakapan membaca, matematika, dan sains. Berada di
bawah Meksiko, Brasil, Qatar, dan terletak di atas Peru.
Posisi itu tertinggal jauh jika dibandingkan
dengan negara-negara Asia, misalnya Jepang, Korea Selatan, dan Hongkong.
Rendahnya prestasi tersebut tidak terlepas dari kualitas pembelajaran yang
dilakukan. Pembelajaran di kelas dan atmosfer pendidikan di lingkungan
sekolah belum sepenuhnya terbebas dari budaya kekerasan (culture of violence).
Kondisi semacam itu sejatinya merupakan fakta
bias dari konsep sekolah sebagai wiyata mandala. Secara etimologis, sekolah
berasal dari bahasa Yunani, scholae yang berarti bersenang-senang.
Itulah sebabnya, tokoh pendidikan kita, Ki
Hajar Dewantara, menjadikan sekolah sebagai taman siswa. Istilah taman tentu
berkonotasi dengan kondisi yang nyaman dan menyenangkan, tidak menakutkan,
apalagi menyeramkan.
Lingkungan pendidikan yang demikian dapat
terwujud jika pembelajaran dan pengelolaan pendidikan terbebas dari budaya
kekerasan serta terlepas dari campur tangan tentara dan aparat kepolisian.
Dengan tidak dipakainya unas sebagai penentu
kelulusan siswa, harapannya, orang tua, guru, peserta didik, dan masyarakat,
termasuk aparat keamanan, tidak lagi menjadikan hajatan tahunan tersebut
sebagai pusat perhatian yang menyedot begitu besar pikiran, waktu, dan
tenaga. Unas adalah bagian dari ujian keniscayaan yang memang harus
dijalankan siswa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar