Kekerasan Ujaran
Limas Sutanto ;
Psikiater Konsultan
Psikoterapi; Tinggal di Malang
|
KOMPAS, 16 April
2016
Akhir-akhir ini dapat
dirasakan betapa bebasnya setiap orang di negeri kita mengucapkan, bahkan
meneriakkan, ujaran yang berisi cercaan terhadap pihak lain, serangan
terhadap pribadi, dan fitnah terhadap orang lain di ruang publik.
Kita seperti sengaja
melupakan bahwa sesungguhnya itu semua adalah wujud kekerasan verbal, atau
kekerasan ujaran. Contoh kekerasan ujaran yang lengkap mengandung cercaan,
serangan terhadap pribadi, dan fitnah adalah penyebutan di hadapan orang
banyak dan media bahwa seseorang adalah koruptor, tetapi tanpa bukti, atau
dengan bukti yang dibuat-buat.
Dalam kekerasan
ujaran, kata- kata merangkai makna yang tidak lahir dari fakta, tetapi dari
kepentingan yang bercampur kebencian. Dengan dalih kebebasan berbicara,
menyampaikan pendapat, dan berekspresi, kekerasan verbal dianggap boleh-boleh
saja dilakukan, normal dan bukan kekeliruan. Sampai-sampai ada ungkapan,
”Sejauh hanya mengatakan, apa pun boleh, asalkan tidak melakukan kekerasan
fisik.” Lebih memprihatinkan, kekerasan ujaran itu biasa dilakukan bukan oleh
rakyat kecil, melainkan oleh sebagian kaum terpelajar, pemimpin, politisi,
dan elite.
Egoisme dan kebencian
Semua itu memberikan
kesan betapa bangsa dan negeri kita dipenuhi egoisme dan kebencian. Dalam
suasana seperti itu, membenci dan menyatakan kebencian dikaitkan dengan
keberanian dan kebanggaan. Seolah orang yang banyak berkata lantang tentang
kebenciannya terhadap orang lain adalah si pemberani, dan orang itu pun
seperti menjadi bangga dengan apa yang diperbuatnya.
Sangat dikhawatirkan
bangsa dan negeri akan ditumbuhi budaya kebencian. Dalam cengkeraman budaya
kebencian, kita akan mudah dilanda kekerasan fisik yang bersifat
menghancurkan dan memusnahkan. Ujungnya: annihilasi atau peniadaan dan
ketiadaan yang mengerikan.
Sungguhkah kita adalah
bangsa yang penuh kebencian? Dalam psikoanalisis kita dapat mempelajari dan
mengerti bahwa rasa benci tak pernah merupakan afek primer (perasaan awal
yang asli) dalam hidup manusia. Pada dasarnya hanya ada tiga macam perasaan
primer, yaitu rasa takut, marah, dan sedih.
Perasaan-perasaan lain
di luar ketiga rasa tersebut adalah afek turunan (sekunder, tersier,
kuaterner, dan seterusnya) yang terjelmakan dari afek primer yang disangkali,
tidak diizinkan untuk dialami, diredam atau direpresi, dan dengan demikian
tak pernah terselesaikan. Perasaan- perasaan turunan itu, antara lain, rasa
benci, cemas, rendah diri, dan putus asa. Kekuatan pokok yang melahirkan
penyangkalan atas perasaan primer, sehingga membuatnya menjelma menjadi afek
turunan, adalah kekerasan dan penindasan.
Afek-afek primer pada
dasarnya adalah baik karena jika teralami dengan lengkap akan membimbing
manusia menuju kebaikan. Rasa takut membimbing manusia menuju perbuatan
melawan bahaya, atau menyelamatkan diri dari ancaman demi kehidupan yang
lebih baik. Rasa marah mengarahkan pribadi untuk menolak ketakadilan demi
terwujudnya kehidupan yang benar. Rasa sedih memandu orang untuk melepaskan
sesuatu yang memang patut dilepaskan.
Berbeda dengan afek
primer, perasaan turunan pada dasarnya tak memiliki fungsi membimbing manusia
menuju kehidupan yang baik. Rasa benci, misalnya, justru membuat kehidupan
kian buruk, antara lain lewat penciptaan kekerasan ujaran ataupun kekerasan
fisik. Rasa cemas hanya akan membuat manusia bingung dan tak berdaya, dan
rasa putus asa bisa berujung pada bunuh diri.
Ketika kita
menyaksikan kehidupan kita sarat kekerasan ujaran, kita boleh menduga bahwa
kita memiliki sejarah yang banyak ditandai oleh tindakan kekerasan yang
membuat banyak warga mengalami rasa takut, marah, dan sedih (yang primer).
Namun, di bawah kekuasaan yang menindas, mereka tidak diizinkan mengakui berlangsungnya
kekerasan itu. Secara psikodinamik itu berarti mereka diharuskan menyangkali
rasa marah, takut, dan sedih yang asli.
Setidaknya sejak akhir
1965 hingga ujung pungkasan Orde Baru pada Mei 1998, banyak warga bangsa yang
mengalami kekerasan dalam kungkungan represi itu. Maka, ketika kita meraih
kebebasan, kita berada dalam posisi emosional yang lebih kenal dan dekat
dengan afek-afek turunan, yaitu rasa benci, cemas, rendah diri, dan putus
asa. Dan, kita pun tidak memiliki pengalaman serta keterampilan yang
mencukupi untuk mengelola rasa marah, takut, dan sedih yang primer.
Akibatnya, hidup kolektif kita diresapi oleh rasa benci, bercampur dengan
bayang-bayang rasa marah, takut, dan sedih yang tidak terkelola dengan baik.
Kebencian dan amarah
Mungkin masalah
seperti itu dianggap hanya terjadi pada individu-individu. Akan tetapi,
ketika rasa benci yang berbalutkan amarah, takut, dan sedih yang tak
terkelola dengan baik itu banyak mengejawantah sebagai kekerasan verbal
ataupun kekerasan fisik—apalagi kemudian ternyata itu semua dibiarkan terus
terjadi, seperti dibolehkan, dianggap biasa saja, dianggap normal belaka, dan
tidak dilihat sebagai kekeliruan—maka yang selanjutnya terjadi adalah:
individu-individu menjadi seperti makin bangga dan digdaya dalam menebar
kekerasan ujaran, dan warga bangsa yang menyaksikan dan mengalami semua itu
pun dapat ikut jadi penebar kekerasan ujaran.
Ini bukan masalah
sepele. Sesungguhnya batas antara kekerasan verbal dan kekerasan fisik sangat
tipis. Meresapnya kekerasan ujaran mencerminkan betapa kehidupan kita dibelit
kuat dan diresapi secara mendalam oleh kebencian yang berbaur dengan amarah,
ketakutan, dan kesedihan yang tak terurus dengan baik. Kehidupan yang seperti
itu hanya akan mendapati kehancurannya sendiri.
Agaknya yang kita
perlukan sekarang adalah negara yang tetap menjamin kebebasan untuk
berekspresi, berbicara, dan menyampaikan pendapat, tetapi tidak membiarkan,
tidak mengizinkan, dan tidak menganggap normal setiap praktik kekerasan
verbal. Dalam melakukan penindakan atas kekerasan ujaran, negara niscaya
obyektif, profesional, jernih, transparan, dan tidak berpihak. Keberpihakan
negara dalam hal ini hanyalah pada budaya kemanusiaan yang adil dan beradab,
seperti diamanatkan oleh sila kedua Pancasila.
Hal penting lain yang
juga kita perlukan adalah praktik nyata dan teladan para pemimpin, politisi,
dan elite di tengah kita, yang dengan perilaku mereka yang asli sungguh
mendemonstrasikan pengelolaan kepentingan dan segala perasaan yang
melingkupinya dengan cara yang sungguh baik, adil, dan beradab. Dan itu
niscaya terejawantah dalam perbuatan memperjuangkan kepentingan dan
mengartikulasikan berbagai perasaan yang menyertainya dalam perwujudan
pendirian yang tegas dan argumentasi yang boleh sengit tetapi selalu
berdasarkan fakta.
Lalu, yang terakhir
dan sangat penting, tak boleh diabaikan betapa fenomena kekerasan ujaran yang
seperti menjadi-jadi itu perlu menyadarkan kita bahwa sesungguhnya kita
memiliki riwayat kekerasan yang sungguh ada, tetapi hingga kini belum benar-
benar kita akui. Penyangkalan atas realitas menyejarah itu membuat kita tak
kunjung mendapat kesempatan untuk belajar mengelola rasa takut, marah, dan
sedih primer dengan baik. Ini berakibatkan kehidupan kita jadi lebih rentan
untuk diresapi afek- afek turunan, terutama rasa benci dan rasa putus asa.
Di samping itu,
penyangkalan terhadap kenyataan kekerasan historis itu seperti mewartakan
bahwa kekerasan dan penindasan memang boleh saja dilakukan, biasa saja, dan
bukan kekeliruan; tak pelak bangsa dan negeri selalu saja dibayang-bayangi
dan dimuati kekerasan ujaran, bahkan kekerasan fisik. Demi kehidupan yang
berbudaya kemanusiaan yang adil dan beradab, kenyataan kekerasan dalam
sejarah sungguh perlu kita akui dengan jujur, tulus, penuh, jelas, dan
terperinci, tanpa penyangkalan dalam bentuk apa pun, dan dinyatakan sebagai
kesalahan yang tidak boleh diulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar