Jalur Sutra Vs Jalur Rempah
Restu Gunawan ;
Sekjen Masyarakat Sejarawan
Indonesia (MSI);
Saat ini bekerja di Ditjen
Kebudayaan, Kemendikbud
|
KOMPAS, 16 April
2016
Penamaan jalur sutra mengacu pada komoditas
dagang antarpelabuhan yang dibawa oleh pedagang Tiongkok ke sejumlah wilayah,
baik di Asia maupun Eropa. Dalam makna filosofis, jalur sutra juga bermakna
hubungan antarpedagang yang sangat halus bagaikan sutra.
Kini, diplomasi melalui jalur sutra yang
dilakukan oleh Tiongkok telah berhasil menghubungkan tautan historis ataupun
ekonomi dengan negara-negara lain di dunia. Hal itu tidak terlepas dari upaya
Pemerintah Tiongkok sejak dulu sampai sekarang untuk terus memopulerkan jalur
sutra, baik dalam forum akademis di dalam negeri Tiongkok maupun forum-forum
budaya dan ekonomi dunia. Dalam perdebatan akademis selama ini, jalur sutra
dirasakan sangat besar perannya dalam menghubungkan satu peradaban dengan
peradaban lainnya di dunia.
Mengacu pada fenomena Tiongkok tersebut,
Indonesia sebenarnya mempunyai komoditas yang sangat penting dalam
pembentukan peradaban dunia. Melalui jalur pelayaran rempah- rempah (maritime
spice route), para pelaut di Nusantara telah berhasil pula menautkan
hubungan budaya dan ekonomi di berbagai belahan dunia.
Dalam lintasan sejarah
Ada tiga komoditas penting jika menyebut
rempah-rempah, yaitu cengkih (eugenia aromatica), pala (myristica
fragrans) dan biji pala yang menarik minat bangsa-bangsa Eropa dan bangsa
lainnya untuk datang ke Kepulauan Maluku. Dari semua rempah tersebut,
cengkih-lah yang memilikiharga paling tinggi. Bangsa Tiongkok menggunakan
cengkih antara lain untuk pengobatan dan untuk menyegarkan bau napas. Pada
masa Dinasti Tang, cengkih digunakan untuk penyedap rasa makanan. Di
Eropa,cengkih digunakan untuk pengobatan dan menambah nafsu makan, dan masih
banyak kegunaan lain untuk diceritakan.
Rempah-rempah telah menghubungkan peradaban di
Asia Tenggara hingga ke Timur Tengah sejak dahulu. Berdasarkan temuan
arkeolog Giorgio Buccellati dan ahli botani purbakala Kathleen Galvin, bukti
paling awal keberadaan cengkih di luar Maluku berasal dari sekitar 1700
sebelum Masehi (SM) di situs Mesopotamia, Terqa, Suriah. Kehadiran cengkih di
rumah tangga kelas menengah di Suriah menunjukkan bahwa sejak zaman awal
sudah terdapat kehadiran perdagangan jarak jauh untuk komoditas yang tidak
tahan lama ini. Sementara itu, pada abad ke-3 SM, rempah sudah cukup dikenal
di Tiongkok. Bahkan, kekaisaran Hanmemerintahkan bawahannya untuk mengunyah
cengkih yang membuat napas menjadi segar dan wangi.
Hingga 500 tahun SM, perdagangan antara Romawi
dan Yunani dengan India-Timur Jauh telah berlangsung sangat ramai. Selama
lebih dari 500 tahun sejak pemerintahan Mark Anthony hingga Justian,
masyarakat kolonial Romawi telah melakukan perdagangan dengan India.
Dalam perdagangan tersebut, berkarung-karung
lada dibawa dari rumah-rumah menuju pasar. Emas yang diterima dari kapal-kapal
sebagai penukar barang yang dijual dibawa ke pantai menggunakan tongkang
dengan alunan musik dari gelombang laut tak pernah putus, sebagaimana
dituliskan oleh penyair Tamil.
Rute kuno perdagangan rempah-rempah ini
diawali dari Maluku (Ternate, Bacan, Jailolo, Tidore untuk cengkih; dan Banda
untuk lada) kemudian menuju Malaka, India, Sri Lanka. Lalu ada yang masuk ke
Teluk Persia, ke Babylonia, dan ke Eropa. Sementara jalur lainnya: dari India
ke Laut Merah masuk Terusan Suez masa awal, ke Alexandria dan ke Romawi
(Eropa).
Masa keemasan bagi perdagangan rempah-rempah
dengan aktor pedagang pribumi (Indonesia) terjadi pada abad ke-14. Pada masa
itu, kota-kota pesisir timur laut Pulau Jawa dengan para pedagang Tiongkok,
Arab, dan Jawa menjadi pemain utama dalam jalur perdagangan internasional
yang menghubungkan kepulauan rempah dengan dunia. Pelabuhan bongkar muat
Malaka jadi pelabuhan utama pengumpulan dan distribusi cengkih dan
rempah-rempah ke dunia lain dan punya kontribusi penting untuk kemakmuran
Maluku.
Perkembangan cepat ini telah membiasakan orang
Eropa tentang keajekan dalam mendapatkan rempah-rempah yang sangat
diperlukan. Kondisi ini membuat orang-orang Eropa merasa terganggu karena
Eropa jadi sangat bergantung pada pasokan rempah-rempah dari para pedagang
Muslim. Keinginan bangsa Eropa untuk menghilangkan ketergantungan kepada
pedagang Muslim dan mendapatkan rempah-rempah dengan harga murah menjadi
motivasi utamamereka untuk mencari jalur laut ke sumber utama penghasil
rempah-rempah, yaitu Maluku.
Adalah Laksamana Portugal, Alfonso de
Albuquerque, yang berkedudukan sebagai wakil raja Portugal di India yang
merancang untuk menguasai jalur vital internasional. Usaha tersebut hampir
sepenuhnya berhasil dengan menguasai Goa di pesisir India (1510), Malaka
(1511), dan Hormuz (1515). Hanya Aden yang melawan kendali Portugal. Setelah
periode inilah peran dari pedagang pribumi lambat tetapi pasti diambil alih
oleh Portugal.
Lalu, setelah jalur rempah-rempah dan juga
sumber utama penghasil rempah-rempah Maluku dikuasai oleh maskapai
perdagangan VOC dan Belanda, periode selanjutnya adalah dunia perbudakan di
Maluku tak bisa dihindarkan lagi. Pelabuhan-pelabuhan utama lambat laun
dikuasai oleh pemerintah kolonial dan semua komoditas perdagangan
dikendalikan oleh Belanda, termasuk rempah-rempah.
Ikon diplomasi budaya
Melihat kegemilangan pelaut-pelaut pribumi dengan
rempah-rempah sebagai komoditasnya, maka sudah saatnya jalur pelayaran
rempah-rempah dapat digunakan sebagai ikon diplomasi budaya untuk
menyebarluaskan nilai-nilaiperadaban Indonesia di dunia internasional.
Jalur sutra dan jalur rempah-rempah sebenarnya
tumbuh hampir bersamaan dalam pembentukan peradaban dunia. Meskipun sudah
terlambat dibandingkan dengan jalur sutra (silk route), ada bagusnya
untuk kita mulai. Perlu dibuat strategi untuk terus menyebarluaskan ke dunia
internasional dan penyadaran bagi para pemangku kepentingan di dalam negeri.
Merujuk pada Tiongkok dengan jalur sutranya,
bukan tidak mungkin jalur (budaya) rempah-rempah bisa dikembangkan menjadi
komoditas ekonomi yang penting. Misalnya, dengan membuat jalur penerbangan,
jalur pelayaran mengikuti rute jalur rempah-rempah, promosi kuliner, serta
budaya lainnya yang berhubungan dengan produk budaya rempah-rempah.
Pada tataran lainnya perlu dilakukan
penelitian lintas negara dan kawasan tentang pelabuhan-pelabuhan yang
merupakan jalur rempah-rempah, lokakarya, dan seminar, ataupun muhibah budaya
dengan melibatkan berbagai negara yang berkaitan dengan jalur rempah pada
masa lalu. Sebab, pada kenyataannya jalinan yang terbentuk dari perdagangan
rempah-rempah ini telah pula terajut dalam suatu nilai-nilai kehalusan
pikiran dan hasil budaya yang halus dan hangat seperti pedasnya rasa rempah-
rempah yang telah menyebar di Asia dan Eropa jauh sebelum milenium pertama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar