GBHN dan Konsep Pembangunan
Daoed Joesoef ;
Alumnus Universite
Pluridisciplinaires Panthenon-Sorbonne
|
KOMPAS, 07 April
2016
Belakangan ini ramai
dibicarakan rasionale pemberlakuan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara.
Ia dipicu ketidakpuasan terhadap kinerja dan konsep pembangunan nasional yang
dianggap bergonta-ganti sesuai visi negarawan yang sedang berkuasa.
Bagaimana mungkin kita
mengultuskan ide Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) bila pembangunan yang
mengecewakan itu bersumber pada keterbatasan pengertian dari GBHN itu
sendiri. Pengertiannya tidak mencakup, mengabaikan, satu faktor penting yang
juga memerlukan panduan bagi perkembangannya yang ideal. Pengabaian yang
tidak disadari oleh perumus awalnya, siapapun dia, membuat pengertian GBHN
misleading begitu rupa hingga menjadi salah kaprah, suatu kekeliruan
mencetuskan kekeliruan lain dan demikian seterusnya. Anomali inilah yang
kiranya hendak diingatkan Aristoteles dengan mengatakan bahwa kesalahan kecil
menjadi besar bila dibiarkan berlarut-larut.
Proklamasi kemerdekaan
yang dinyatakan Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945 berbunyi: "Kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan
dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya."
Karena itu, ada kesan
bahwa proklamasi kemerdekaan hanya melahirkan bangsa, yaitu Bangsa Indonesia.
Negara tidak disebut secara eksplisit menurut namanya, tetapi disinggung
secara tersirat dalam kalimat "...
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan..." Yang dimaksud dengan
ungkapan "hal-hal" tadi adalah Negara, karena kenyataan memang
menunjukkan bahwa pemindahan yang dilakukan dengan saksama dalam waktu yang
sesingkat mungkin itu adalah penguasaan terhadap negara, baik yuridis maupun
administratif. Dengan kata lain, yang dilahirkan proklamasi kemerdekaan kita
bukan hanya "bangsa", tetapi "Negara-Bangsa", dua entitas
yang punya pengertian berbeda, tetapi tak terpisahkan, bagai lepat dengan
daun.
"Negara"
adalah bangsa yang terorganisasi. Justru "Bangsa" ini luput dari
pengertian yang dicakup istilah GBHN. Seharusnya dengan sadar dan sengaja ia
dirumuskan selaku Garis-garis Besar Haluan Negara-Bangsa (GBHNB). Bukankah
yang namanya "bangsa" bisa mengorganisasikan "negara"
dalam bentuk apa saja sesuai dengan impian kemerdekaannya. Negara adalah
suatu imagined community, sedangkan
bangsa adalah "kelompok manusia yang mengimajinasikannya". Jadi,
dalam berimajinasi itu bangsa-bangsa yang bersangkutan memerlukan juga suatu
panduan demi pengarahan pembentukannya yang ideal.
Pengarahan pembentukan
bangsa yang ideal itu memang diniscayakan. Menurut ajaran Ernest Renan
(1882), pengertian "bangsa" bukan deskriptif. Suatu bangsa bukanlah
satu fakta. Ia berupa suatu status nascendi yang permanen. Menurut naturnya
ia selalu in potentia, tidak pernah in
acru. Istilah bangsa bukan menyatakan keadaan, tetapi suatu gerakan,
suatu usaha, suatu kemauan, "une
volonté d'être ensemble", the will to be together.
Jadi, panduan dalam
proses berbangsa juga diperlukan, tak hanya panduan dalam bernegara. Karena
itu, GBHNB bukan GBHN saja.
Kalau syarat bernegara
cukup dengan punya wilayah dan berpenduduk (population), suatu bangsa demi eksistensinya butuh citizen (warga bangsa). Dengan kata
lain suatu negeri, negara, adalah bagai sebuah "hotel", berupa satu
lokalitas fisik. Keberadaannya memerlukan penghuni (penduduk). Bangsa bukan
sekadar lokalitas fisik. Eksistensinya butuh citizen. Berarti suatu pemerintahan
yang mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
(maunya) demokratis harus bisa berfungsi sekaligus sebagai pelayan, servant, dan pembimbing (tutor), karena kewarganegaraan adalah
suatu alam pikiran dan keadaan kejiwaan, citizenship
is a mindset and a state of the soul.
Upaya kolektif isi kemerdekaan
Kalau melalui
pemberlakuan kembali GBHN kita hendak mengembalikan kedaulatan rakyat, kita
menyinggung ide demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Karena itu, ide pemerintah sebagai pembimbing tidak hanya
sekadar pelayan, menjadi krusial, lebih-lebih saat demokrasi tidak lagi bisa
dibuat langsung, seperti pada pertumbuhan awalnya dulu di Athena pada zaman
Yunani purba.
Penduduk tidak dengan
sendirinya menjadi warga Negara-Bangsa, apalagi warga di alam demokrasi. Dia
baru merasa turut memiliki republik setelah merasa dirinya diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya selaku makhluk Tuhan Yang
Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban asasinya, tanpa
membeda-bedakan keturunan, suku, agama dan kepercayaan, warna kulit,
kedudukan sosial.
Dahulu orang mengira
bahwa untuk merasa tergolong pada Negara-Bangsa rakyat cukup puas dengan
turut menikmati perlindungan dan kemakmurannya. Di zaman modern sekarang, ide
ketergolongan meliputi dimensi tambahan, berupa partisipasi dalam
pemerintahan yang intinya adalah turut mengambil keputusan. Peluang bagi
partisipasi tersebut sebenarnya terbuka dalam kerja kolektif besar-besaran
yang disebut "pembangunan nasional".
Berarti rakyat akan
merasa bermartabat selaku citizen kalau sistem pembangunan dikonsepkan begitu
rupa di mana sang rakyat itu sendiri diminta turut membicarakan setiap proyek
pembangunan -pusat atau daerah-yang berlokasi di wilayah pemukimannya. Dia
sendiri harus hadir, tak boleh mewakilkan atau diwakili, turut bermusyawarah,
ikut bermufakat memutuskan. Jadi, di level akar rumput ada demokrasi
langsung, katakanlah suatu demokrasi kontinu, di saat berlaku demokrasi tak
langsung di level nasional. Jika ada kesan penduduk lokal yang bersangkutan
tidak cukup tercerahkan untuk berdemokrasi langsung, obatnya bukanlah
membatalkan hak partisipasinya, melainkan mencerdaskannya melalui bimbingan
formal, yang berarti pemerintah menjalankan fungsinya selaku tutor.
Pembangunan nasional
sebenarnya sudah dipikirkan juga oleh para pendiri Negara-Bangsa kita. Aksi
besar-besaran ini dikualifikasi sebagai upaya kolektif mengisi kemerdekaan.
Kata kerja "mengisi" ini lagi-lagi menimbulkan suatu model mental
(gambaran) yang keliru, yaitu kemerdekaan sebagai sebuah wadah yang sudah
mapan, tinggal diisi karena masih kosong. Padahal, pembangunan nasional itu
justru untuk mengukuhkan wadah tersebut agar bisa berfungsi sewajarnya.
Kekeliruan lain, yang
tidak kalah fatal, menyusul ketika pembangunan nasional ditransformasikan
menjadi pembangunan ekonomi kaum teknokrat. Walaupun lembaga formal yang
ditugasi mengurus pembangunan nasional tidak diubah namanya, yaitu
"Badan Perencanaan Pembangunan Nasional" (Bappenas), pembangunan
Negara-Bangsa diwujudkan berdasarkan hukum-hukum ekonomika pure and simple dengan
asumsi-lagi-lagi keliru-bahwa pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan kenaikan
pendapatan (PNB, PDB, rata-rata pendapatan) adalah bagai air pasang yang
serentak mengangkat semua perahu sama-sama ke level yang lebih tinggi.
Ternyata hasilnya tidak demikian. Terjadilah urbanisasi, penggundulan hutan,
spesies liar menghilang bersamaan dengan degradasi lingkungan, sedangkan
rakyat lokal tetap menjadi penonton pasif, bukan peserta aktif pembangunan.
Tentu saja timbul kekecewaan, tidak hanya individual, tetapi meluas bagai
tetesan minyak. Kalau begini, dunia seperti apa yang bakal kita wariskan
kepada anak cucu?
Pemunculan
"Yayasan Raja Sultan Nusantara" (Yarastra), "Ikatan
Cendekiawan Keraton Nusantara", dan "Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara" (AMAN) adalah manifestasi dari kekecewaan kolektif tadi.
Mereka bukan berniat menghidupkan kembali sistem feodalisme prakemerdekaan.
Namun, bagaimana mereka tidak tampil reaktif kalau mereka melihat bagaimana
politikus parpol yang berpretensi sebagai kampiun demokrasi (baca:
kerakyatan) berusaha membentuk monarki baru, kedinastian keluarga keturunan
tokoh besar nasional, yang merasa "by
the grace of God" ditakdirkan memimpin negara terus-menerus.
Bagaimana aliansi adat
se-Nusantara tidak tampil reaktif kalau menyaksikan kearifan lokal nenek
moyang disepelekan begitu saja. Dahulu manifestasi kekecewaan terhadap
pembangunan "diamankan" melalui operasi militer karena dianggap
sebagai gerakan separatis. Memang pemerintah pusat "menang", tetapi
telah meninggalkan bekas luka yang menonjol, sulit untuk dilupakan dengan
janji-janji muluk baru.
Penyempurnaan GBHNB
Nah, apa sekarang
perlu diberlakukan kembali GBHN? Tergantung. Tergantung pada apakah kita,
setelah menyadari kekurangan fatalnya, bersedia menyempurnakannya menjadi
GBHNB. Dalam melakukan penyempurnaan itu kita perlu menyadari sedang membuat
suatu prediksi sebagai landasan pembangunan jangka panjang. Sedangkan membuat
prediksi sendiri menurut Niels Böhr tak gampang, khususnya prediksi mengenai
masa depan. Apakah dasar moral yang membenarkan kita menghalangi anak-cucu
untuk berbuat sesuatu yang sesuai dengan pembawaan khas zamannya yang luput
dari prediksi kita itu?
Moral adalah
penjembatanan antara pikiran dan perbuatan, antara niat dan pelaksanaan niat.
Baik niat maupun pelaksanaannya bisa terpuji kalau dilakukan tanpa pamrih
material, tetapi dengan pertimbangan nurani, sarat dengan idealisme. berarti
kaum intelektual yang terutama terpanggil untuk menyusun GBHNB karena, per
definisi, mereka adalah orang-orang yang bukan mata duitan apalagi penjilat,
bukan pemburu imbalan material, tidak rakus jabatan formal. Imbalan
perbuatannya adalah kepuasan batin karena sudah berbuat seperti yang
diharapkan orang-orang awam dari mereka, berupa kebajikan kepada komunitas di
mana mereka tergolong, kepada sesama manusia.
Bila mereka menampik
harapan tersebut, dengan alasan apa pun, terjadilah apa yang pernah dikecam
Julien Benda (1927), sebagai "la
trahison des clercs" - the betrayal of the intelectuals,
pengkhianatan para intelektual.
GBHNB ini harus berupa
satu konsep pembangunan yang berkelanjutan yang bertujuan tidak sekadar
menambah plus-value-of-things (income), tetapi lebih-lebih
meningkatkan nilai tambah manusia (to
be more, penyempurnaan diri, diuwongke).
Meningkatkan nilai lebih manusia dilakukan pula oleh pemerintah melalui
fungsinya sebagai tutor, dengan jalan membangun jiwa jauh lebih dahulu
daripada membangun badan sebagaimana yang dinarasikan himne nasional
"Indonesia Raya". Dengan kata lain kita perlu menguasai
keterampilan bernegara-bangsa sebagai kemahiran berjiwa-nation-statecraft as soulcraft.
"To govern is to
foresee". Seorang negarawan sejati adalah pemimpin yang bisa mengatakan
kepada orang-orang (rakyat) yang dipimpinnya apa-apa yang menjadi kebutuhan
mereka sebelum mereka menyadarinya sendiri. Karena itu, memang perlu
kebebasan bagi calon presiden kita, selama kampanye pemilihan, memaparkan
kebijakan-kebijakan apa yang akan diambilnya bila terpilih. Bukankah semua
kebijakan itu berlaku hanya selama masa jabatannya. Kalau kita memang tulus
menegakkan kembali kedaulatan rakyat, ya, biarkan rakyat memilih/memutuskan
berdasarkan kedaulatannya itu.
Namun, harus kita akui
bahwa sebagian besar, kalau tidak terbesar, pemilih tersebut terdiri atas
para warga yang berpendidikan rendah, nyaris buta politik karena waktunya
habis disita dengan kegiatan mencari nafkah, hidup di bawah garis kemiskinan,
cukup terbujuk memilih kandidat hanya dengan imbalan baju kaos oblong. Begitu
rupa hingga negarawan dan politikus korup masih bisa cuap-cuap, masih
dielu-elukan bahkan dicium tangannya. Kondisi kita yang pasti dewasa ini
adalah bahwa batas limit potensi kekayaan bumi kita masih jauh di depan.
Namun, kita terhenti, mati langkah, karena sudah mentok di batas limit
keintelektualan kita. Ini jelas menjadi tantangan utama yang harus bisa
dijawab oleh pendidikan nasional kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar