UNBK dan Peradaban Bangsa
Siti Muyassarotul Hafidzoh ;
Litbang PW Fatayat NU DIY
|
MEDIA INDOESIA,
06 April 2016
PADA 4-7 April ini, ujian nasional (UN)
dilaksanakan untuk SMA dan sederajat. UN menjadi salah satu standar kualitas
pendidikan nasional kita sehingga harus disiapkan dan dijalankan dengan
sebaik mungkin.Akan tetapi, jangan sampai lembaga pendidikan menjebak dirinya
semata dalam UN saja karena itu bisa merusak basis etik pendidikan kita. UN
menjadi sangat penting beriringan dengan keseluruhan proses belajar di
sekolah yang berkualitas tanpa diskriminasi.
Tahun ini, sudah melangsungkan UNBK (ujian
nasional berbasis komputer). Ini bukan sekadar wujud kemajuan, melainkan juga
wujud komputerisasi masa depan peradaban bangsa. Pelajar hari ini ialah
harapan masa depan. Teknologi tidak bisa diabaikan. Di sinilah, UNBK menjadi
ujung tombak lahirnya generasi bangsa yang tegak dalam berteknologi.
Namun jangan lupa, teknologi hanya alat. Yang
paling krusial justru akhlak, etika, dan karakter sebagai fondasi/basis
paling utama.Dalam konteks ini, dunia pendidikan Indonesia mesti belajar
kepada salah satu guru bangsa ini, yakni KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus
Dur sebenarnya sudah memberikan fondasi pemikiran tentang bagaimana lembaga
pendidikan mampu mencetak peserta didiknya menuju manusia yang ideal.
Bagi Gus Dur, manusia adalah ciptaan terbaik
Tuhan yang bertugas menjadi khalifah dalam memakmurkan bumi ini. Karena
ciptaan terbaik, pendidikan bagi manusia ialah langkah terbaik agar manusia
merealisasikan tugas kekhalifahan yang disandangnya.
Pertama-tama, bagi Gus Dur, lembaga pendidikan
harus mampu membangun basis dan fondasi. Basis itu ialah kearifan lokal. M
Sufyan Al-Nashr (2011) menjelaskan bahwa dalam bahasa Gus Dur, kearifan lokal
itu disebut dengan pribumisasi Islam, yakni ajaran Islam dan tradisi lokal
dijadikan sebagai landasan moral dalam nyata kehidupan.
Kurikulum yang tepat
Di samping itu, adat istiadat dalam suatu
tatanan masyarakat menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan
sehari-hari.Norma adat yang berlaku menjadi landasan moral dalam berperilaku.
Mereka yang melanggarnya akan dikenai sanksi yang biasanya lebih bersifat
moral, sedangkan ajaran agama sebagai pedoman hidup agar sesuai dengan
tuntunan dalam kitab suci.
Untuk membangun manusia bermoral melalui
pendidikan, kuncinya berada dalam kurikulum karena kurikulum ialah jantungnya
pendidikan.
Menurut Faisol (2012), Gus Dur memiliki
perspektif sendiri dalam soal kurikulum ini. Bagi Gus Dur, ada beberapa
langkah bagaimana kurikulum mampu memberikan asupan ilmu dan moral.
Pertama, orientasi pendidikan harus lebih
ditekankan kepada aspek afektif dan psikomotorik. Artinya, pendidikan lebih
menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik dan pembekalan
keterampilan atau skill agar setelah lulus, mereka tidak mengalami kesulitan
dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekadar mengandalkan aspek kognitif
(pengetahuan).
Kedua, dalam proses belajar mengajar guru
harus mengembangkan pola student oriented sehingga terbentuk karakter
kemandirian, tanggung jawab, kreatif, dan inovatif pada diri peserta didik.
Ketiga, guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti
sebenarnya. Tidak mereduksi sebatas pengajaran belaka.
Keempat, perlunya pembinaan dan pelatihan
tentang peningkatan motivasi belajar kepada peserta didik sehingga anak akan
memiliki minat belajar yang tinggi.
Kelima, harus ditanamkan pola pendidikan yang
berorientasi proses, yakni proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan
harus berjalan di atas rel ilmu pengetahuan yang substantif.
Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan
yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau titel di
kalangan praktisi pendidikan dan pendidik hendaknya ditinggalkan.
Keenam, sistem pembelajaran pada sekolah
kejuruan mungkin bisa diterapkan pada sekolah-sekolah umum, yaitu dengan
menyeimbangkan antara teori dengan praktik.
Agenda besar pendidikan agar menemukan kembali
hakikat moralnya ialah kembali kepada populisme. Bagi Gus Dur, pendidikan
nasional kita terjebak dalam pergulatan dua pemikiran yang sulit disatukan,
yakni populisme dan elitisme. Populisme mendekatkan pendidikan kepada rakyat
sehingga orientasinya untuk rakyat. Sementara elitisme berpandangan bahwa
rakyat tidak tahu apa-apa.
Pendidikan yang memiliki acuan moral yang
benar dikaitkan dengan skill yang bagus akan mampu menghasilkan ilmuwan dan
juga generasi bangsa yang hebat di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar