Bidang Ilmu di Perguruan Tinggi
Amich Alhumami ;
PhD Bidang Antropologi Lulusan
University of Sussex, Inggris; Bekerja di Kementerian PPN/Bappenas
|
KOMPAS, 07 April
2016
Perguruan Tinggi
memiliki dua peran pokok: (1) memberikan layanan pendidikan bagi penduduk
usia muda-produktif; dan (2) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
melalui riset yang melahirkan invensi dan inovasi.
Kedua peran sentral
ini berkaitan sangat erat dengan pembangunan ekonomi. Keberhasilan
pembangunan ekonomi ditentukan, antara lain, oleh penduduk berpendidikan
tinggi, berpengetahuan, memiliki keterampilan dan kemahiran teknis, serta
menguasai teknologi.
Dalam konteks
pembangunan ekonomi, Indonesia sedang tumbuh menjadi negara maju melalui
transformasi struktural yang berlangsung sangat cepat. Transformasi
struktural ini ditandai oleh perubahan struktur ekonomi, semula bertumpu pada
pertanian lalu bergeser ke industri (manufaktur) dan jasa.
Kontribusi ketiga
sektor itu pada produk domestik bruto (PDB) pun bergeser. Sektor pertanian
terus turun. Data BPS (2014) menunjukkan, kontribusi menurut sektor adalah
pertanian (14 persen), industri (21 persen), dan jasa (43 persen).
Peran sektor industri
dan jasa yang kian dominan harus direspons perguruan tinggi dengan melahirkan
SDM berkualitas, yang menguasai bidang ilmu tertentu yang diperlukan untuk
mendukung pembangunan.
Bidang ilmu tak seimbang
Meski Indonesia negara
agraris, pembangunan ekonomi kini justru berbasis pada industri dan jasa.
Untuk itu, dibutuhkan tenaga kerja terdidik lulusan perguruan tinggi menurut
bidang ilmu yang relevan guna menopang kegiatan ekonomi di sektor industri
manufaktur, infrastruktur, dan jasa.
Tentu saja bidang ilmu
yang relevan dan sangat dibutuhkan-untuk sebagian besar-adalah sains dan
keteknikan. Namun, program studi menurut bidang ilmu yang dikembangkan di
perguruan tinggi justru berkebalikan dengan tren perkembangan industri dan
jasa.
Menurut data Forlap
(2016) Kemenristekdikti, jumlah program studi yang ada di perguruan tinggi
23.747. Jumlah ini dikelompokkan ke dalam dua bidang ilmu: (i)
sains-keteknikan yang mencakup, antara lain, MIPA, teknik, kedokteran,
kesehatan, dan pertanian; dan (ii) ilmu-ilmu sosial-humaniora yang meliputi,
antara lain, ekonomi, manajemen, politik, hukum, sosiologi, antropologi,
sejarah, filsafat, dan agama.
Jumlah program studi
bidang sains-keteknikan lebih sedikit dibanding bidang ilmu sosial-humaniora,
masing-masing 10.135 (43 persen) dan 13.611 (57 persen). Komposisi program
studi menurut bidang ilmu ini jelas tak seimbang. Bahkan, jika dilihat dari
jumlah mahasiswa menurut bidang ilmu pada tiap program studi, ketimpangan
jauh lebih nyata lagi. Dari jumlah mahasiswa di seluruh perguruan tinggi
sebanyak 5.228.561, yang menekuni bidang sains-keteknikan hanya 1.593.882
(30,5 persen), sedangkan yang menekuni bidang ilmu sosial-humaniora sebanyak
3.634.679 (69,5 persen).
Tak pelak
sarjana-sarjana yang dihasilkan perguruan tinggi lebih didominasi mereka yang
menekuni bidang ilmu-ilmu sosial-humaniora. Ketidaktepatan dalam mendesain
komposisi program studi dan total
student body menurut bidang ilmu telah memicu inflasi sarjana ilmu-ilmu
sosial-humaniora.
Dalam konteks pasar
kerja, terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan yang berdampak
pada kesulitan mencari lapangan pekerjaan. Sarjana ilmu-ilmu sosial-humaniora
kelebihan pasokan, sedangkan sarjana sains-keteknikan justru mengalami
peningkatan permintaan yang tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh perguruan
tinggi.
Defisit sarjana teknik
Majalah terkemuka
Inggris, The Economist (2015),
merujuk data Persatuan Insinyur Indonesia (PII), mengulas dengan sangat
terang bahwa dalam 10 tahun mendatang (2015-2025) Indonesia kekurangan
insinyur rata-rata sekitar 15.000 per tahun. Pada periode antara tahun
2015-2020 dan 2020-2025, kebutuhan insinyur masing-masing sekitar 90.500
orang per tahun dan 129.500 orang per tahun.
Akan tetapi, perguruan
tinggi hanya mampu menghasilkan sekitar 75.000 dan 120.000 orang. Data UNESCO Institute for Statistics (UIS,
2013-2015) menunjukkan rasio sarjana teknik per 1 juta penduduk di negeri ini
sungguh rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, berturut-turut
Indonesia (2.671), Malaysia (3.334), India (3.380), Thailand (4.421), dan
Tiongkok (5.730). Bahkan, ilmuwan yang menekuni profesi sebagai peneliti jauh
lebih sedikit lagi, tercermin pada rasio peneliti per 1 juta penduduk,
berturut-turut Indonesia (1.070), Malaysia (2.590), Jepang (5.570), Singapura
(7.115), dan Korea Selatan (8.105).
Kekurangan sarjana
teknik berdampak nyata pada ketersediaan tenaga kerja berkeahlian khusus,
terutama untuk sektor infrastruktur dan industri manufaktur. Ketika kerja
sama Masyarakat Ekonomi ASEAN berlaku pada Januari 2016, kekurangan sarjana
teknik menjadi masalah sangat serius. Kini, mobilitas tenaga kerja
antarnegara sudah terbuka sehingga Indonesia harus siap menerima kehadiran
banyak insinyur dari negara-negara ASEAN untuk bekerja terutama di sektor
infrastruktur.
Oleh karena itu, tidak
ada pilihan lain bagi pemerintah dan perguruan tinggi Indonesia, kecuali
melakukan percepatan dalam menghasilkan sarjana-sarjana teknik.
Kemenristekdikti dan perguruan tinggi harus mengambil kebijakan mendasar
dengan mengubah proporsi program studi dan merancang jumlah mahasiswa
antarbidang ilmu: sains-keteknikan dan sosial-humaniora.
Tak ada superioritas
Mengubah proporsi
program studi dan merancang jumlah mahasiswa menurut bidang ilmu sangat
penting dilakukan agar lebih seimbang. Perubahan proporsi program studi ini
sama sekali tidak berarti bahwa ada superioritas suatu bidang ilmu atas
bidang ilmu yang lain. Kebijakan ini juga tidak mengindikasikan bahwa bidang
ilmu sosial-humaniora merupakan subordinat bidang sains-keteknikan.
Langkah itu perlu
ditempuh lebih karena pertimbangan pragmatis semata untuk mengatasi
kekurangan sarjana teknik yang sangat dibutuhkan di sektor industri dan jasa
sebagai tiang penyangga struktur ekonomi Indonesia.
Meski demikian, peran
ilmu-ilmu sosial-humaniora tetap sangat penting dan sentral dalam konteks
pembangunan nasional. Mengingat pembangunan berdimensi sangat luas dengan
kompleksitas masalah yang sangat dalam pula, keterlibatan semua disiplin
keilmuan mutlak diperlukan. Peran para ilmuwan Indonesia, terlebih lagi
ilmuwan disiplin ilmu-ilmu sosial-humaniora, sungguh diperlukan. Para ilmuwan
sosial-humaniora memiliki academic credentials yang sangat baik untuk
memberikan kontribusi dalam pembangunan dengan merujuk kredo ilmiah: knowledge for development.
Pertama,para ilmuwan
sosial-humaniora bisa membuat analisis berdasarkan kajian ilmiah melalui
penelitian empiris untuk memetakan masalah-masalah yang muncul di masyarakat
dan menghimpun isu-isu strategis yang perlu diakomodasi dalam perencanaan
pembangunan. Kajian ilmiah bisa dalam bentuk policy research yang memuat
rekomendasi kebijakan untuk menangani problem-problem krusial dalam
pembangunan.
Kedua, para ilmuwan
sosial-humaniora juga bisa membuat analisis mengenai dampak negatif
pembangunan di masyarakat. Para ilmuwan sosial-misal antropolog dan sosiolog-dapat
memberikan masukan dan saran kebijakan agar dampak negatif proyek-proyek
pembangunan dapat dihilangkan atau paling kurang diminimalisasi. Peran para
ahli ilmu-ilmu sosial-humaniora sangat sentral untuk menunjukkan peta jalan
agar pembangunan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
Tidak diragukan, kedua
bidang ilmu-sains-keteknikan dan sosial-humaniora-memiliki peran dan
kontribusi yang sama dalam pembangunan. Kedua bidang ilmu sangat diperlukan
menurut porsi masing-masing, yang tidak mungkin saling menggantikan satu sama
lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar