Kolaborasi Mengatasi Perompakan Kapal
Alek Karci Kurniawan ;
Analis Hukum Internasional
FH Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA INDOESIA,
07 April 2016
PIRACY atau yang lebih
dikenal dengan perompakan kapal merupakan sebuah kejahatan internasional yang
sudah ada sejak dahulu--hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu
sendiri. Journal of Historical
Geography (Volume 20, Issue 3, Juli 1994) mencatat sejarah tertua bahwa
tindakan perompakan sudah dilakukan suku manusia laut di wilayah Aegean dan
Mediterania pada abad 13 SM.
Perkembangan masa
penjelajahan laut untuk mencari daratan baru yang dikenal dengan era 'Dunia
Baru' menjadi masa-masa keemasan era perompak. Pada masa itulah terkenal
beberapa nama perompak, seperti Edward 'Blackbeard' Teach (1680-1718), John
'Calico Jack' Rackham (1682-1720), dan Bartholomew Roberts (1682-1722).
Pada awal abad ke-21,
perihal perompakan kembali menjadi pusat perhatian sejak terjadinya kasus
perompakan kapal di Somalia. Pada era itu, perompakan marak terjadi, meliputi
kawasan Samudra Hindia, lepas pantai timur Somalia, Laut Arab, dan Teluk Aden
yang merupakan jalur utama pelayaran dunia. Pascaoperasi internasional, aksi
bajak laut di Somalia berkurang. Namun, kini Asia Tenggara menjadi daerah
rawan.
Mutakhir, telah
terjadi perompakan terhadap Kapal Tunda Brahma 12 dan Tongkang Anand 12 yang
membawa 7.000 ton batu bara dan 10 awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Saat
dibajak, kedua kapal dalam perjalanan dari Sungai Puting (Kalimantan Selatan)
menuju Batangas (Filipina Selatan). Kemenlu mengonfirmasi pihak pemilik kapal
baru mengetahui terjadi perompakan pada 26 Maret 2016 saat menerima telepon
dari seseorang yang mengaku dari kelompok Abu Sayyaf.
Dalam komunikasi
melalui telepon kepada perusahaan pemilik kapal, perompak menyampaikan
menuntut uang tebusan. BBC Indonesia (31/3) memberitakan kelompok Abu Sayyaf
meminta uang tebusan sejumlah 50 juta peso (atau setara Rp14,2 miliar) dengan
tenggat hingga 8 April 2016 mendatang. Tak berselang lama, 1 April 2016,
kapal tunda (tug boat) berbendera
Malaysia, Massive 6, turut menjadi korban perompakan oleh pelaku yang sama.
Rekam jejak kelompok Abu Sayyaf
Sebelum mengambil
tindakan, tentu harus mengetahui karakter dan kekuatan lawan. Dari laporan intelijen,
Kelompok Abu Sayyaf selama lebih dari empat dekade mempunyai rekam jejak yang
lumayan kejam. Sejak awal 1991, kelompok ini telah melakukan pengeboman,
pembunuhan, dan pemerasan dalam apa yang mereka gambarkan sebagai perjuangan
untuk provinsi Islam di Filipina. Pada 2004 lalu, mereka meledakkan
superferry 14 yang tengah berlayar menuju ke Bacolod, Filipina Barat, dan
menewaskan 116 orang.
Kelompok militan Abu
Sayyaf terkenal karena penculikan, pemenggalan kepala, aksi bom, dan
pemerasan. Kelompok ini juga punya pengaruh pada kelompok-kelompok teror lain
di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Departemen Luar Negeri AS telah
menambahkan nama salah satu pemimpin Abu Sayyaf, Radullan Sahiron, ke daftar
tersangka aksi teror pada awal bulan ini. Disediakan ganjaran jutaan dolar AS
untuk penangkapannya atas keterlibatannya dalam penculikan wisatawan AS pada
2001.
Kelompok ini melakukan
teror dan perang gerilya dengan tujuan pemberontakan. Di bawah kepemimpinan
Hapilon Totoni, sejak September 2014, kelompok Abu Sayyaf mulai melakukan
penculikan orang untuk menuntut uang tebusan dengan mengatasnamakan IS.
Upaya penindakan dan instrumen penghukuman
Sumber hukum laut
internasional--UNCLOS 1982--merumuskan 'universal Jurisdiction'. Artinya,
kapal perang/kapal dinas pemerintah negara mana pun berhak 'menangkap dan
menahan' kapal, awak, dan muatan kapal bajak laut atau kapal yang dikuasai
bajak laut itu.
Pengadilan negara itu
juga berhak memeriksa dan memutuskan perkara itu dan menetapkan hukuman yang
akan dijatuhkan, termasuk tindakan yang akan diambil terhadap kapal yang
dibajak. Namun, itu dilakukan dengan cara mengindahkan hak pihak ketiga yang
beriktikad baik (Artikel 105-107 UNCLOS 1982). Sebagaimana diketahui, Armada
Timur Indonesia telah memobilisasi sejumlah kapal perang ke lokasi tempat
penculikan itu terjadi. Namun, para pejabat militer dilaporkan menunggu izin
sebelum memulai operasi penyelamatan. Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard
Ryacudu sebelumnya mengatakan TNI dan polisi siap untuk operasi pembebasan 10
korban penculikan itu. Namun, Ryamizard mengatakan TNI dan polisi hanya akan
dikerahkan setelah pihak berwenang Filipina memberi mereka lampu hijau.
Di tengah meningkatnya
tekanan publik pada pemerintah Indonesia untuk membebaskan para sandera
sesegera mungkin, juru bicara Angkatan Bersenjata Filipina (AFP), Kolonel
Restituto Padilla, dilansir dari INQUIRER.net (30/3), menyatakan, "Per our Constitution, we do not
allow military forces here without a treaty"--dalam menanggapi
tawaran Indonesia untuk menyebarkan personel guna membantu membebaskan para
sandera.
Di sinilah terdapat
kekeliruan, menurut penulis, dalam pemahaman AFP untuk mengatasi para
perompak. Perlu diingat bahwa Artikel 100 UNCLOS--sebagai perjanjian
internasional yang juga diratifikasi oleh Filipina dan Indonesia--mewajibkan
tugas untuk bekerja sama dalam represi perompakan (duty to cooperate in the repression of piracy).
Implikasinya setiap
negara harus bekerja sama untuk semaksimal mungkin dalam represi perompakan di
laut lepas atau di tempat lain, bahkan di luar yurisdiksi negara.
Ada tiga opsi yang
bisa dilakukan pemerintah untuk membebaskan 10 WNI. Pertama lewat diplomasi,
kedua membentuk tim negosiasi yang berunding langsung dengan penyandera, dan
ketiga dengan menggunakan kekuatan militer. Opsi pertama dan kedua bisa
melibatkan tokoh-tokoh Indonesia yang sudah lama bermukim di Filipina Selatan
yang dapat menjadi bargain position.
Pertimbangannya, selain sebagai negara muslim terbesar, Indonesia juga pernah
membantu muslim Filipina dalam proses perdamaian Mindanao dan MNLF serta Moro
Islamic Liberation Front (MILF-Front Pembebasan Islam Moro).
Namun, peluang dalam
hal ini amat tipis bila melihat karakter kelompok Abu Sayyaf. Dalam satu
sisi, kelompok mereka amat membutuhkan dana (uang tebusan), paling utama
untuk pengadaan senjata. Diketahui, senjata yang dimiliki Abu Sayyaf semua
senjata organik, tidak ada senjata rakitan. Karena itu, asa penyelamatan
sandera bisa berujung pada opsi ketiga. Dalam hal ini, kolaborasi antarnegara
terkait dalam operasi penyelamatan bakal menjelmakan unique challenge tersendiri. Di antaranya imbangan daya tempur
dan skenario operasi pasukan khusus elite TNI, yang diketahui mempunyai
kualifikasi apik dalam penyelamatan sandera dari perompak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar