Bagaimana Pelajar Kita Belajar Matematika
Iwan Pranoto ;
Guru Besar Matematika ITB;
Atase Pendidikan dan Kebudayaan
KBRI di New Delhi
|
KOMPAS, 05 April
2016
Pelajar di mana saja
sedikit banyak menghafal dalam belajar Matematika. Namun, agar dapat
bermatematika di jenjang tinggi, kemampuan menghafal semata tidak cukup. Ini
dilaporkan dalam artikel "PISA In
Focus" (OECD, Maret 2016) dan makalah "How Teachers Teach and Students Learn: Successful Strategies
for School," (Echazarra A dkk, 2016).
Khususnya dapat dibaca
bahwa pelajar Indonesia termasuk yang banyak menggunakan cara menghafal dalam
belajar Matematika. Ini seperti menyahihkan pendapat umum selama ini: pendidikan
di Indonesia banyak menekankan pada penghafalan.
Namun, perlu
digarisbawahi, pelajar dari negara yang berhasil di PISA Matematika (skornya
tinggi) ternyata juga banyak yang menghafal dalam belajar Matematika. Ini
menguatkan keyakinan umum bahwa menghafal, seperti fakta dasar perkalian
diperlukan dalam bermatematika. Namun, keberhasilan pelajar menyelesaikan
masalah Matematika jenjang tinggi lebih ditentukan oleh penguasaan strategi
memanfaatkan hafalannya, bukan semata mampu menghafal.
Menghafal
Laporan pemetaan
pendidikan global ini membenarkan pendapat bahwa kemampuan menghafal membantu
pelajar mengerjakan masalah sederhana, rutin, dan tak menuntut pemahaman
konsep Matematika secara mendalam. Namun, itu tak berarti banyak saat
mengerjakan permasalahan kompleks dan belum pernah dihadapi. Agar pelajar
dapat menyelesaikan masalah canggih jenjang tertinggi, mereka juga butuh
kemampuan berpikir tingkat tinggi-seperti menganalisis-dan dituntut kreatif.
Sementara kemampuan
berpikir tinggi berkembang melalui cara control (mengendalikan apa yang
dipelajari dan bagaimana mempelajarinya dengan mengenali apa yang belum paham
dan lalu mempelajarinya) serta elaborating
(belajar mendalam). Di laporkan juga bahwa pelajar yang belajar dengan dua
cara ini lebih berhasil menyelesaikan masalah canggih dan mencapai skor
tinggi, ketimbang yang mengutamakan belajar dengan menghafal.
Anggapan awam
sebelumnya bahwa negara-negara "Timur" menuntut kepatuhan pada
prosedur dan menitikberatkan pada menghafal, ternyata tak benar. Justru
laporan ini menunjukkan, pelajar dari negara, seperti Vietnam,
Makau-Tiongkok, dan Rusia paling sedikit belajar Matematika dengan menghafal.
Mereka cenderung belajar mendalam.
Belajar dengan
menghafal amat membantu menyelesaikan masalah Matematika yang sifatnya rutin
dan sederhana. Kecuali itu, belajar dengan menghafal juga membantu pelajar
yang belum cakap bermatematika.
Pelajar kerap memilih
jalan pintas menghafal karena berbagai alasan. Misalnya, mereka tak memiliki
ketertarikan pada Matematika, mereka tak percaya dirinya berbakat
bermatematika, serta mereka merasa tak guna memahami konsep Matematika secara
mendalam karena pada akhirnya cara menghafal terbukti meringankan beban
pikirannya.
Kemudian, khusus untuk
Indonesia, jalan pintas menghafal banyak diterapkan karena dengan jalan ini
pelajar berhasil memperoleh nilai Matematika tinggi, yakni dengan menghafal
cara pengerjaan kumpulan soal tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini dimungkinkan
karena soal ujian sering hanya daur ulang dari soal tahun-tahun sebelumnya
serta hanya diubah angkanya saja. Dampak jalan pintas menghafal semakin
menonjol dan mengecilkan cara belajar lain di persekolahan kita. Secara tak
sadar, kebiasaan jalan pintas menghafal ini mendapat sokongan kebijakan untuk
mewabah.
Dalam pengerjaan soal
Matematika yang mudah, tak ada perbedaan peluang keberhasilan antara pelajar
yang belajar dengan menghafal dengan yang belajar mendalam.
Perbedaannya baru
terlihat pada pengerjaan soal Matematika canggih, yang menuntut kreativitas
dan berpikir analisis. Dilaporkan bahwa pelajar kita yang mampu mengerjakan
soal Matematika canggih jenjang tertinggi tak terdeteksi secara signifikan.
Sementara pelajar dari sistem pendidikan lain yang belajar mendalam ternyata
mampu mengerjakan soal Matematika jenjang tertinggi ini.
Bahkan, pelajar yang
mengutamakan belajar dengan menghafal, peluangnya menyelesaikan masalah
canggih justru mengecil. Secara kuantitatif dilaporkan, kelompok pelajar
mengutamakan cara menghafal ternyata peluangnya menyelesaikan masalah canggih
empat kali lebih rendah.
Perbaikan
Dapat dilihat bahwa
dengan kajian pemetaan pendidikan yang tepat pada proses belajar, seperti di
PISA In Focus ini, dapat dirancang kebijakan guna meningkatkan mutu belajar
dan berbasis data.
Karena itu, seharusnya
beralasan untuk berharap pengelola ujian nasional dapat terinspirasi untuk
benar-benar kembali mewujudkan ujian nasional sebagai pemetaan pendidikan sebaikbaiknya.
Bukan sebuah dosa meniru sistem pemetaan pendidikan global yang sudah ada,
apalagi jika dapat dibuat lebih baik.
Mengenai kebijakan
pembelajaran Matematika, pelajar membutuhkan kesempatan untuk mempraktikkan
beragam cara belajar, dan bukan hanya menghafal.
Guru atau orangtua
yang melatihkan menghafal secara konvensional dengan mengulang bacaan
terus-menerus perlu hati- hati. Sangat mungkin terjadi cara ini tak cocok
dengan semua pelajar atau anak. Sebagian pelajar akan merasa jenuh. Kejenuhan
ini melahirkan kebosanan dan, pada akhirnya, mengikis motivasi belajar
Matematika.
Karena itu, perlu
digagas kegiatan belajar-mengajar yang berdasar rasa penasaran, seperti
layaknya dalam permainan komputer. Rasa penasaran ini dapat muncul saat kegiatan
belajar-mengajar: baru (pembelajaran dan materinya tak mengulang); menantang
(tingkat kesulitan dekat kemampuan pelajar); dan aman (atmosfer kelas yang
menyokong tiap pelajar untuk mencoba cara baru dan tak menghakimi saat
salah). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar