Pencabutan Kewarganegaraan
Al Araf ;
Direktur Imparsial
|
KOMPAS, 05 April
2016
Pemerintah akhirnya
menyerahkan draf revisi undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme
ke DPR. Salah satu agenda perubahan undang-undang tersebut adalah memasukkan
sanksi hukuman pencabutan status kewarganegaraan jika terlibat dalam tindak
pidana terorisme.
Pasal 46A draf revisi
undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme menyebutkan bahwa "Setiap warga negara Indonesia yang
melakukan pelatihan militer, pelatihan paramiliter, pelatihan lainnya,
dan/atau ikut perang di luar negeri untuk tindak pidana terorisme, pejabat
yang berwenang mencabut paspor dan menyatakan hilang kewarganegaraan Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Dimasukkannya sanksi
hukuman berupa pencabutan kewarganegaraan di dalam revisi undang-undang
pemberantasan tindak pidana terorisme perlu dikaji secara lebih dalam,
hati-hati, dan tidak bisa dilakukan semena-mena. Apakah sanksi pencabutan
kewarganegaraan itu sejalan dengan tata nilai demokrasi, negara hukum, dan
HAM? Apakah kekuasaan dengan serta-merta dapat mencabut status
kewarganegaraan tanpa melalui proses pengadilan? Apakah pencabutan status
kewarganegaraan itu efektif di dalam melakukan pencegahan aksi terorisme?
Penting untuk diingat,
status kewarganegaraan seseorang adalah bagian hak konstitusional warga.
Dengan demikian, pencabutan kewarganegaraan dengan cara yang kurang hormat (less dignify), yaitu dengan hanya
prosedur administrasi, menjadi tindakan yang mungkin mengurangi kehormatan
konsep kewarganegaraan sebagai hak konstitusional.
Kewarganegaraan hak berharga
Status sebagai warga
negara dijamin menjadi hak bagi setiap orang sebagaimana ditegaskan dalam
konstitusi kita Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945. Kewarganegaraan kemudian
dijelaskan lebih lanjut dalam konstitusi dengan disertai seperangkat hak-hak
dan kewajiban yang melekat di dalamnya. Terjaminnya kewarganegaraan dalam
konstitusi Republik Indonesia sebagai sebuah hak adalah perwujudan dari
pengakuan negara akan keterikatan individu dalam komunitas politik bangsa
Indonesia.
Konsep umum tentang
kewarganegaraan mengartikan warga negara sebagai anggota komunitas politik
yang berhak mendapatkan perlindungan negara sehingga seorang warga negara
diharapkan agar memenuhi harapan-harapan bersama dan melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang melekat dalam keanggotaannya dalam komunitas politik
(Michael Walzer, "What Does It
Mean To Be An American", essay dalam The American Experience 82-95, 1996).
Secara lebih
elaboratif, kewarganegaraan dapat diartikan dalam empat hal, yaitu (1)
kewarganegaraan adalah status hukum (citizenship
as a legal status), negara memberikan jaminan akan hak-hak mendasar
kepada warga negara dan warga negara dituntut kewajiban-kewajibannya kepada
negara; (2) kewarganegaraan adalah hak (citizenship
as a right), memahami kewarganegaraan adalah sebagai sekumpulan hak-hak,
tanggung jawab, dan kesempatan-kesempatan untuk berpartisipasi yang mampu
mendefinisikan kedudukan individu dalam ruang sosial politik sebuah
komunitas.
Kemudian; (3)
kewarganegaraan sebagai aktivitas dan aspirasi politik (citizenship as political activity), yang merefleksikan kehendak
dan partisipasi politik setiap individu dalam sebuah komunitas politik
(negara); (4) kewarganegaraan adalah kesadaran untuk mengungkapkan identitas
dan sentimen-sentimen individu (citizenship
as type of collective identity and sentiment) (Rubenstein & Adler, International Citizenship: The Future of
Nationality in a Globalized World (2000) dan lihat juga Linda Bosniak,
Citizenship the Nationalize, 2000).
Kewarganegaraan
dimengerti sebagai sebuah hak yang sangat berharga (precious right) yang ditempatkan sejajar dengan hak atas hidup
dan kebebasan. Setiap manusia yang beradab secara sadar memahami bahwa setiap
manusia yang mempunyai harapan-harapan tinggi akan kehormatan (human dignity), ekspresi kebebasan
mengarahkan hidup sendiri dalam sebuah identitas politik (self government and public (democratic)
deliberation), dan secara bersama dalam komunitas politik suatu bangsa
berbagi baik secara individu maupun bersama melaksanakan kewajiban kepada
komunitas politik adalah terwujud dalam status kewarganegaraan. Adalah
kewajiban hukum dan peradilan untuk mengamankan kewarganegaraan setiap
individu selama individu tidak secara sukarela meninggalkan status
kewarganegaraannya (Supreme Court Amerika Serikat No 356 Trop v Dulles Tahun
1958 yang dikutip dalam artikel "To
Ban or Not to Ban an American Taliban? Revocation of Citizenship &
Statelessness in a Statecentric System", California Western Law Review,
2003).
Secara konsisten,
dalam lima puluh tahun berbagai perjanjian-perjanjian internasional dan
protokol internasional memperkuat dan memaparkan secara jelas tentang
keberadaan hak terhadap kewarganegaraan, sebagaimana diatur dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), kovenan hak-hak Sipil dan Politik, International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination, konvensi hak-hak anak
tahun 1989 dan lainnya.
Pencabutan
kewarganegaraan merupakan hukuman yang bersifat konkret dan fundamental
mengakibatkan hilangnya semua hak-hak mendasar baik hak pasif maupun hak
aktif dan hak-hak mendasar lain termasuk hak terhadap harta benda, hak
membentuk keluarga dan keturunan, hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, hak atas perlindungan terhadap diskriminasi, hak atas identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dan seperangkat hak-hak asasi lainnya.
Pencabutan
Pencabutan
kewarganegaraan memerlukan justifikasi dalam keadaan yang sangat ekstrem
mengingat konsekuensi yang sangat besar harus diterima oleh terhukum dalam
pencabutan kewarganegaraan. Pencabutan kewarganegaraan yang membawa
konsekuensi status tanpa negara (statelessness)
disebut sebagai extraordinary
punishment yang bisa dijustifikasi hanya dengan kasus yang ekstrem,
seperti terdapat pelanggaran fundamental terhadap hak-hak dan kewajiban
seorang warga negara terhadap warga negara lain atau terhadap negara yang
dijamin melalui hubungan-hubungan konstitusional.
Pelanggaran terhadap
hak-hak dan kewajiban-kewajiban konstitusional ini jelas berbeda dari
pelanggaran terhadap hukum dan peraturan lain (pidana) (D Husak, Over Criminalization: The Limits Of Criminal Law 2008).
Pelanggaran hukum atau kriminal adalah pelanggaran terhadap kedaulatan negara
untuk menciptakan ketertiban sosial (social order), sedangkan pelanggaran
konstitusional adalah pelanggaran yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak
warga negara yang dijamin oleh negara dalam konstitusi. Konstitusi dilandasi
akan hal-hal fundamental dan universal yang juga meliputi kehormatan manusia
(human dignity).
Pencabutan
kewarganegaraan bukanlah bermaksud untuk menegakkan social order yang dibatasi dalam konstitusi, tetapi lebih kepada
menjaga ikatan konstitusi yang dimengerti sebagai sebuah komitmen bersama
dalam ikatan negara. Lebih jauh lagi, pencabutan kewarganegaraan adalah
hukuman bagi pelanggaran ikatan komunitas politik negara sehingga pencabutan
kewarganegaraan adalah satu bentuk hukuman politik (D Husak, Over Criminalization: The Limits Of Criminal Law 2008).
Akhirnya, pencabutan kewarganegaraan bukan dimaknai sebagai hukuman untuk
mencegah gangguan terhadap social order
dan bukan pula dimaknai sebagai pelanggaran terhadap peraturan-peraturan
hukum (diatur dalam hukum pidana), tetapi lebih kepada sanksi bagi
pelanggaran fundamental terhadap ikatan konstitusional yang mendasari
hubungan atau ikatan antara individu dan komunitas politik.
Pencabutan
kewarganegaraan mengakibatkan konsekuensi keadaan tanpa negara atau statelessness. Seorang individu yang
kehilangan kewarganegaraan tidak lagi bisa mendapatkan perlindungan atau
pendampingan dari otoritas negara. Individu tanpa negara tidak memegang
nasionalitas di bawah negara sehingga tidak mendapatkan keuntungan atau
dampak dari upaya-upaya perlindungan hak dan upaya-upaya perlindungan dalam
domain internasional. Ratusan ribu orang dengan status statelessness di seluruh dunia berada dalam status hukum abu-abu
dan rentan menjadi korban pelanggaran terhadap hak asasi manusia mereka.
Status kehilangan
kewarganegaraan yang diatur dalam UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia sebagian besar berdasar pada sifat kesukarelaan dan
kesengajaan untuk memutus hubungan dengan komunitas politik negara Indonesia
sehingga konsekuensi hukum bisa dilaksanakan dalam bentuk administratif.
Namun, di sisi lain,
ketika pencabutan kewarganegaraan dilakukan dengan kekuatan memaksa terhadap
seorang warga negara yang mendapatkan status kewarganegaraan melalui proses
yang sesuai diatur dalam konstitusi dan UU dan tidak ada karakter
kesukarelaan untuk meninggalkan kewarganegaraan, maka bukan konsekuensi hukum
melalui pelaksanaan administrasi yang layak dikenakan. Dalam kasus seperti
ini, sudah sepatutnya ditempuh proses yang mencerminkan nilai-nilai
fundamental dan universal dalam konstitusi yang menjunjung tinggi keadilan,
kehormatan kemanusiaan, penghormatan negara terhadap konsep kewarganegaraan,
melalui mekanisme pengadilan dan mempertimbangkan konsekuensi keadaan tanpa
negara (statelessness).
Dengan
mempertimbangkan status kewarganegaraan merupakan sebuah hak yang sangat
berharga (precious right) serta
latar belakang pencabutan yang perlu ada alasan yang sangat ekstrem serta
implikasi menjadi statelessness, sanksi pencabutan kewarganegaraan bukankah
sebaiknya dipertimbangkan lagi dan dikaji ulang untuk dimasukkan ke dalam
agenda revisi UU pemberantasan tindak pidana terorisme? Bukankah sebaiknya
kita menghukum kejahatan yang dia lakukan dengan sanksi pidana penjara tanpa
harus mencabut status kewarganegaraannya?
Apalagi, Indonesia
menganut asas kewarganegaraan tunggal dan tak menganut asas kewarganegaraan
ganda sehingga sanksi pencabutan kewarganegaraan jika diterapkan dalam revisi
UU pemberantasan tindak pidana terorisme akan mengakibatkan terjadinya
keadaan tanpa negara (statelessness)
yang seharusnya dihindari mengingat kondisi ini sangat merendahkan kehormatan
sebagai manusia. Kebijakan negara untuk menanggulangi persoalan terorisme memang
bukan hanya perlu, tetapi juga harus. Terorisme hanya bisa dicegah,
ditanggulangi, dan dipersempit ruang geraknya oleh kebijakan negara yang
komprehensif bagi tata kehidupan politik demokratik, kesejahteraan sosial,
dan tegaknya keadilan.
Meski demikian, dalam
menyusun kebijakan anti terorisme, negara harus memenuhi kewajibannya dengan
benar, yakni menempatkan perlindungan terhadap liberty of person dalam suatu titik perimbangan yang permanen
dengan perlindungan terhadap security of person. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar