Tragedi Ikan di Laut Tiongkok Selatan
I Made Andi Arsana ;
Head Office of International
Affairs
Directorate of Partnership;
Alumnus and Global Initiatives UGM
|
KOMPAS, 05 April
2016
Kapal nelayan Tiongkok
ditengarai menangkap ikan di Laut Tiongkok Selatan, di dekat Natuna. Petugas
Indonesia pun ketika itu siap menindak mereka.
Ternyata, kapal
nelayan Tiongkok itu "dikawal" kapal besar dengan peralatan
lengkap. Petugas Indonesia yakin kapal Tiongkok itu masuk ke perairan
Indonesia, sementara Tiongkok juga yakin kapalnya beraktivitas di perairan
Tiongkok. Apa pasalnya?
Berdasarkan Konvensi
PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang diakui dan diratifikasi oleh Indonesia
dan Tiongkok, sebuah negara pantai berhak atas kawasan laut/zona maritim yang
diukur dari garis pangkal (garis pantai). Zona maritim itu meliputi laut
teritorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) (200 mil laut) dan landas kontinen (dasar laut) dengan lebar bisa lebih
dari 200 mil laut.
Zona maritim
Di Laut Tiongkok
Selatan (LTS), Indonesia berhak atas zona maritim yang diukur dari Kepulauan
Natuna ke arah utara. Demikian juga negara-negara tetangga-terutama Vietnam
dan Malaysia-mereka punya hak yang sama. Karena jarak yang berdekatan, klaim
maritim negara-negara itu saling tumpang tindih sehingga perlu penetapan
batas maritim. Indonesia sudah menetapkan batas maritim (dasar laut) dengan
Malaysia (1969) dan Vietnam (2003), tetapi belum menetapkan batas ZEE.
Meskipun garis batas
ZEE belum disepakati, Indonesia sudah mengajukan usulan yang dituangkan dalam
Peta NKRI. Peta NKRI 2015, misalnya, memuat klaim garis batas ZEE Indonesia
di sebelah utara Natuna di kawasan LTS.
Meskipun ini klaim
sepihak yang masih perlu kesepakatan dengan Vietnam dan Malaysia, Indonesia
menjadikan ini sebagai dasar untuk mendefinisikan kawasan laut termasuk
wilayah pengelolaan perikanan.
Dalam perspektif
Indonesia, batas terluar kawasan laut Indonesia sudah jelas meskipun sebagian
dari batas-batas ini baru klaim sepihak yang perlu disepakati dengan
tetangga.
Tiongkok tak pernah
dianggap tetangga oleh Indonesia dalam konteks batas maritim. Jika berpedoman
pada UNCLOS, hak zona maritim Tiongkok tidak tumpang tindih dengan Indonesia
sehingga tak perlu penetapan batas maritim. Namun, Tiongkok punya pandangan
lain.
Sejak 1947, Tiongkok
mengajukan klaim dalam bentuk peta dengan garis putus-putus yang melingkupi
sebagian besar kawasan LTS. Konon, dasarnya alasan sejarah meski banyak hal
yang belum jelas perihal klaim ini. Inilah yang rupanya menjadi alasan
mengapa lokasi insiden itu disebut "Chinese
traditional fishing ground" oleh Tiongkok. Garis yang dikenal dengan
nine-dashed line itu diprotes semua
negara di kawasan, termasuk Indonesia yang menolak melalui PBB.
Secara legal, nine-dashed line Tiongkok itu
"tidak ada" bagi negara-negara di kawasan. Tiongkok sudah
meratifikasi UNCLOS sehingga seharusnya mengklaim laut berdasarkan UNCLOS
dengan lebar tertentu dan diukur dari garis pangkal. Klaim laut harus jelas
jaraknya dari daratan sesuai ketentuan UNCLOS. Nine-dashed line jelas tak mengikuti kaidah ini. Di sisi lain,
Tiongkok mungkin bisa berargumen bahwa klaim laut itu diukur dari daratan
Kepulauan Spratly yang mereka klaim. Namun, klaim itu masih disengketakan
negara lain. Lagi pula, kalaupun klaim laut itu diukur dari Kepulauan
Spratly, bentuknya tak akan seperti nine-dashed line.
Yang menjadi
persoalan, klaim Tiongkok di LTS ini tumpang tindih dengan klaim maritim
Indonesia di sebelah utara Natuna. Meski sama-sama sepihak, klaim Indonesia
cenderung lebih kuat karena berdasarkan hukum yang berlaku (UNCLOS) dan
Tiongkok pertimbangan sejarah.
Bolak balik terjadi
Kedatangan nelayan
Tiongkok ke kawasan laut di sebelah utara Natuna ini sudah terjadi setidaknya
tiga kali (2010, 2013, 2016). Indonesia yang meyakini dan ingin menegaskan
klaimnya tentu berusaha menangkap atau mengusir nelayan Tiongkok dengan
tuduhan illegal fishing.
Tiongkok sepertinya
telah bersiap diri dan bahkan seakan "mengawal" aktivitas nelayan
itu dengan kapal besar. Setiap kali nelayan akan ditangkap petugas Indonesia,
kapal "pengawal" hadir melindungi. Menariknya, posisi kapal nelayan
Tiongkok memang selalu berada di kawasan dalam lingkup klaim nine-dashed line. Rupanya Tiongkok
memang serius menegaskan klaimnya berdasarkan nine-dashed line meskipun jelas-jelas tidak diakui negara-negara
lain.
Apakah tindakan
Indonesia benar? Sebagai negara berdaulat yang mengklaim laut sesuai hukum
internasional, Indonesia tidak bisa membiarkan aktivitas nelayan Tiongkok di
kawasan itu. Maka, penangkapan dan protes formal menjadi logis.
Meski demikian, perlu
diingat bahwa garis-garis batas di kawasan itu adalah klaim sepihak yang
masih perlu disepakati dengan tetangga. Maka dari itu, mengajukan kasus ini
ke pengadilan internasional, misalnya, bukan langkah strategis.
Apakah Indonesia dan
Tiongkok perlu menetapkan batas maritim di LTS? Posisi Indonesia jelas, klaim
Tiongkok yang berdasarkan sejarah itu tidak diakui dan artinya tidak ada
tumpang tindih klaim yang perlu diselesaikan. Dalam konteks batas maritim,
Tiongkok bukan tetangga Indonesia. Namun, Tiongkok hadir di kawasan itu dan
menegaskan klaimnya berdasarkan nine-dashed
line adalah fakta. Indonesia tentu tidak bisa mengabaikan ini begitu saja
dan harus bersiap-siap dengan strategi terbaik.
Semua pihak di Indonesia
perlu memiliki pemahaman yang sama terhadap kasus ini. Semangat melindungi
sumber daya perlu didukung pemahaman terhadap hukum laut termasuk aspek
geospasial sehingga paham konteks legal dan teknisnya.
Di sisi lain, kita
perlu paham bahwa Indonesia adalah pihak "netral" dalam sengketa
wilayah/kedaulatan di LTS dan telah berperan aktif menawarkan solusi.
Semangat untuk menjaga kedaulatan itu penting dipelihara sambil tetap
memainkan peran pemimpin yang bijaksana dan layak disegani di kawasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar