Jokowi ”Berbalas Pantun” dengan SBY
M Bambang Pranowo ;
Guru Besar UIN Ciputat;
Rektor Universitas Mathla’ul
Anwar, Banten
|
KORAN SINDO, 30 Maret
2016
Johan Budi, juru
bicara (jubir) Presiden Jokowi, dalam sebuah wawancara di sebuah televisi
swasta Rabu (23/3/016) menyatakan, Jokowi dan SBY ”tidak pernah berbalas
pantun”.
Pernyataan Johan Budi
ini—dalam idiom Jawa memang ”bener ning ora pener”. Artinya benar dalam
permukaan, tapi tidak dalam esensinya. Publik kadung sudah menangkap esensi
dari laku-lisan Jokowi dan SBY dalam beberapa hari terakhir sehingga muncul
komentar kedua tokoh besar itu sedang berbalas pantun.
Sejatinya, apa yang
disebut berbalas pantun tersebut adalah ”berbalas kritik” dalam gaya Jawa.
SBY pernah melontarkan kritik, negara harus patuh hukum dan jangan
mengintervensi partai politik (kasus Partai Golkar dan PPP); pemerintah perlu
membangun sesuatu berdasarkan pertimbangan untung-rugi (kasus KA cepat
Jakarta- Bandung), dan pemerintah dalam melaksanakan program perlu
mempertimbangkan dampak lingkungan (KA cepat, reklamasi pantai utara, dan tol
luar Jawa).
SBY juga mengkritik
kegaduhan Kabinet Kerja Jokowi, yang katanya tidak terkoordinasi dengan baik.
Gaya kritik SBY tersebut jelas masih kental Jawanya. Kritiknya tidak to the point, halus, dan tidak
menyebut nama Jokowi langsung. Meski kritik tersebut halus sebagai lazimnya
kritik gaya Jawa, SBY rupanya lupa, bahwa Jokowi juga orang Jawa tulen.
Bahkan dari aspek sosiokultural, Jokowi yang lahir dan besar di Solo
sebetulnya jauh ”lebih Jawa” ketimbang SBY yang lahir dan besar di Pacitan.
Kita tahu, Solo adalah
pusat kebudayaan Jawa (Mataram), sedangkan Pacitan hanya ”pinggiran” dari
pusat budaya Jawa. Sebagai orang Jawa, Jokowi niscaya tahu apa yang dimaksud
dengan beberapa pernyataan SBY tersebut. Meski gaya kritikan model Pacitan
lebih kentara, sebagai orang Jawa yang sikapnya penuh simbolis, Jokowi tak
akan menanggapinya dengan gaya Pacitan. Tapi sebaliknya, Jokowi akan
menanggapinya dengan gaya Jawa Solo yang penuh simbolis.
Budaya Jawa adalah
budaya yang penuh simbol. Bagi orang Jawa, simbol merupakan suatu bentuk
komunikasi yang tidak langsung. Ini artinya di dalam komunikasi tersebut
terdapat pesan-pesan tersembunyi sehingga makna suatu simbol sangat
bergantung pada interpretasi individu.
Dalam hal mengkritik
seseorang, orang Jawa pun menggunakan simbol-simbol. Begitu pula dalam
menjawab kritik tersebut. Bila orang-orang Melayu Deli, menggunakan istilah
berbalas pantun untuk saling komunikasi dan saling kritik, maka orang Jawa
menggunakan istilah berbalas simbol.
Orang Jawa, misalnya,
saling mengirim ”kueh apem” menjelang bulan Puasa (Ramadan). Ini terjadi
karena apem— berasal dari kata afwun dalam bahasa Arab yang artinya
memaafkan— merupakan simbol permintaan maaf. Jadi saling kirim apem maksudnya
saling memaafkan.
Dalam konteks simbol
inilah kita melihat tanggapan Jokowi terhadap kritik SBY. Ketika SBY
memberikan berbagai kritik terhadap kebijakan-kebijakan Jokowi yang
dipaparkan di atas, tiba-tiba Sang Presiden melakukan kunjungan mendadak ke
proyek mangkrak Hambalang. Jubir Jokowi, Johan Budi, menyatakan Hambalang
adalah proyek mangkrak.
Kata mangkrak artinya
bukan sekadar proyek yang tidak berlanjut, tapi lebih dari itu, proyek yang
tidak berlanjut karena ada masalah kekisruhan yang bersifat politik, korupsi,
dan lain-lain— beda dengan proyek yang berhenti karena dananya lambat turun.
Secara tepat sekali, Johan Budi—entah disuruh oleh Jokowi atau
tidak—menyatakan bahwa Hambalang adalah proyek mangkrak.
Jokowi kemudian
mengembalikan kritik SBY tersebut—apakah proyek ini dilanjutkan atau tidak,
pemerintah akan melihat untung ruginya. Persis seperti ketika SBY mengkritik
proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, apakah pemerintah sudah mengkaji untung
ruginya. Jawaban Jokowi terhadap kritik SBY dengan berkunjung ke Hambalang,
jelas merupakan tanggapan keras Jokowi terhadap kritik SBY.
Orang Jawa yang
menganggap simbol sebagai media komunikasi memahami apa makna di balik
kunjungan Jokowi ke Hambalang. Publik tahu, Hambalang adalah proyek yang
menimbulkan kegaduhan politik yang amat besar dalam Kabinet SBY. Hambalang
adalah simbol kegagalan SBY dalam mengoordinasi para pembantunya di kabinet
dan kader-kader politiknya.
Proyek Diklat Olahraga
Hambalang ini telah menjungkalkan salah seorang menteri yang dekat dengan
SBY, yaitu Menpora Andi Mallarangeng dan menjatuhkan tiga kader politik
Partai Demokrat (Anas Urbaningrum, Muhamad Nazarudin, dan Angelina Sondakh).
Dengan menunjuk Hambalang, Jokowi seakan menyatakan:
Ini lho, kabinet Pak
SBY&—bukan hanya ada kegaduhan karena perbedaan pendapat antarmenteri,
tapi kegaduhan karena kasus korupsi yang menjatuhkan orang kepercayaan
presiden di kabinet dan partai politik pimpinan SBY. Pendek kata sekali
tepuk, tanggapan Jokowi langsung meninju tiga sasaran.
Buruknya pengawasan
menteri, kader partai, dan transparansi ekonomi pada era pemerintahan SBY.
Dari perspektif inilah, kenapa Roy Suryo—mantan menpora era SBY pengganti
Andi Mallarangeng—meradang ketika Jokowi datang ke Hambalang. Maklumlah, Roy
Suryo sebagai orang Jawa tulen yang lahir di pusat kebudayaan Jawa
(Yogyakarta) tahu betul apa maksud di balik kedatangan Jokowi ke Hambalang.
Akhirnya kita sebagai
rakyat biasa cukup prihatin melihat fenomena saling kritik antara ”dua
presiden” tersebut. Pak Harto, presiden kedua RI yang sangat njawani, pernah
mengungkapkan filsafat hidup orang Jawa yang amat bagus. Yaitu mikul dhuwur mendem jero. Artinya,
kita harus menjunjung tinggi kebaikan atau kehormatan seseorang, tapi harus
menutupi kesalahan atau keburukannya.
Betapa indahnya jika
SBY dan Jokowi meresapi filsafat hidup orang Jawa tersebut. Jikapun mau
mengkritik sebaiknya menggunakan simbolsimbol yang halus dan kitiknya
dipendem jero— tidak diekspos ke publik. Kenapa? SBY dan Jokowi adalah dua
tokoh besar di Republik ini yang masing-masing punya jutaan pengikut setia.
Jika keduanya tampak
akrab dan saling membantu, niscaya pengikut-pengikut setianya juga akan makin
bersahabat dan saling membantu untuk kebaikan negeri ini. Alangkah indahnya
persatuan dan persahabatan! SBY dan Jokowi tampaknya perlu meniru model
pemerintahan Amerika Serikat. Di sana tidak ada presiden yang mengkritik
pemerintahan presiden sebelumnya.
Barack Obama,
misalnya, tak pernah mengkritik kebijakan Presiden George Bush yang
mengobarkan Perang Teluk yang menghabiskan dana sampai 3 triliun dolar
sehingga ekonomi Amerika nyaris terpuruk. Sebaliknya Presiden Bush juga tidak
pernah mengkritik kebijakan Obama yang terlibat dalam krisis Suriah.
Tampaknya, di Amerika
ada pakem politik: antarpresiden tidak boleh saling mengkritik. Kita tidak
tahu, apakah mereka juga saling mengkritik di belakang publik. Tapi satu hal
jelas, media massa dan publik tak pernah tahu kritik antarpresiden AS. Bahwa
kemudian kebijakan Obama dalam beberapa hal berbeda dengan Bush, misalnya,
tidak menjadi masalah dan hal itu tidak diekspos ke publik.
Dalam hal ini,
perbedaan kebijakan antara presiden yang satu dengan yang lain terhadap suatu
kasus atau masalah, merupakan hal yang biasa. Jadi di AS, filsafat Jawa ”mikul dhuwur mendem jero” sudah
benar-benar berlaku. Di Indonesia, anehnya, meski presidennya orang Jawa,
tapi filsafat mikul dhuwur mendem jero
kadang dilupakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar