Uji Klinik Alat Terapi Kanker
Bambang Wahjoedi ; Peneliti Farmakologi Eksperimental Puslit
Farmasi,
Badan Litbangkes RI
|
KOMPAS, 19 Maret
2016
Kita semua tahu bahwa
apabila seseorang didiagnosis terkena kanker, maka ia menjadi cemas seolah-olah
kematian sudah di depan mata. Apalagi bila dokter mengatakan harapan hidupnya
tinggal beberapa bulan lagi.
Pengobatan kanker
sampai saat ini memang belum dapat menjamin kesembuhan total, tetapi dapat
memperpanjang usia harapan hidup atau mengurangi penderitaan psikis.
Jadi keputusan
seseorang berobat ke Klinik Edwar Technology dan menerima semua persyaratan
SOP (standard operational procedure)
adalah haknya. Karena itu, tulisan dr Inez Nimpuno bahwa Kementerian
Kesehatan meminta Wali Kota Tangerang menertibkan Klinik Dr Warsito
berdasarkan laporan warga yang merasa dirugikan, (Kompas, 16/1/2016), perlu
disertai penjelasan lebih lanjut tentang hal-hal apa yang dirugikan. Dengan
demikian, masyarakat tahu dan punya banyak pertimbangan sebelum memutuskan.
Dr Inez Nimpuno
mengatakan bahwa kanker membutuhkan terapi superjitu, tepat, serta cepat, dan
belum tentu sembuh. Betul memang demikian walaupun belum tentu sembuh total,
tetapiterapi akan selalu bermanfaat, paling tidak dapat memperpanjang usia harapan
hidup atau memperbaiki mood pasien
danrelasi dengan keluarganya.
Perlu hasil uji
Saya setuju bahwa
semua terapi yang diberikan kepada pasien harus berdasarkan bukti hasil uji (evidence based medicine) atau uji
klinik untuk mengetahui keamanan dan kemanjuran bahan uji. Karena Klinik Dr
Warsito tidak memenuhi prinsip terapi dan praktik kedokteran, makaberdasarkan
keputusan Menkes tanggal 2 Desember 2015, klinik tersebut dilarang menerima
klien baru bagi pelayanan ECCT (electrical
capacitive volume tomography) atau ECVT (electro capacitive cancer therapy) hingga hasil riset diumumkan.
Kesimpulannya, Dr
Warsito harus melakukan uji klinik alat kesehatannya mengikuti standar baku
WHO, di mana menurut Staf Ahli Menkes Bidang Medikolegal Tri Tarayati bahwa
Badan POM telah menerbitkan pedoman cara uji klinik yang baik untuk obat dan
alat kesehatan.
Prof Dr Agus
Purwodianto mengatakan bahwa belum ada protokol uji alat kesehatan. Prof
Agusjuga pernah menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes).
Saya selama menjadi peneliti di Badan Litbangkes juga belum pernah mengetahui
ada uji klinik alat kesehatan. Yang ada adalah uji klinik obat.
Sayapernah terlibat
dua kali uji kliniktanaman obat. Kesulitan uji klinik obat antara lain
menentukan jumlah sampel pasien yang memenuhi kriteria inklusif dan eksklusif
yang dapat digunakan untuk mengetahui keamanan dan manfaat bahan uji dan
untuk memenuhi uji statistik dan untuk mengatasiadanya pasien yang drop out.
Uji klinik
Sebagaimana diketahui,
pelaksanaan uji klinik obat ada empat tahap. Pertama, mengetahui keamanan
bahan uji; kedua, mengetahui manfaat bahan uji; ketiga, melibatkan pasien uji
lebih banyak, dan keempat adalah postmarketing bahan uji.
Uji klinik alat
kesehatan Dr Warsito mestinya tidak jauh berbeda dari uji klinik obat. Yang
akan menjadi masalah adalah perlakuan percobaan uji klinik harus seperti yang
sekarang diberlakukan pada pasien Dr Warsito, yaitu selama 6-9 bulan dan
menjaga kepatuhan pasien jangan sampai drop out. Belum lagi bagaimana
menentukan pembanding dan plasebo untuk alat kesehatan tersebut.
Perlu juga
diperhatikan uji klinik selama 6-9 bulan tentu akan berpengaruh terhadap
jalannya proses penyakit kanker. Uji klinik obat memerlukan biaya besar,
apalagi uji klinik alat kesehatan ini. Lalu siapa yang akan membiayai? Apakah
Dr Warsito sendiri atau melibatkanKementerian Riset dan Teknologi?
Pelaksanaan uji klinik
alat kesehatan akan banyak mengalami kesulitan secara ilmiah karena protokol
atau pedoman uji klinik belum ada. Indonesia juga belum pengalaman melakukan
uji klinik alat kesehatan. Jadi, keputusan Menkes menghentikan penerimaan
pasien sebelum ada hasil uji klinik akan berlangsung lama dan merugikan
pasien yang ingin terapi ECCT.
Adalah hak pasien
mencari pengobatan yang terbaik menurut pertimbangannya. Apalagi, yang
dilakukan Dr Warsito bukan abal-abal, tetapi suatuhasil penelitian bidang
fisika seorang peneliti Indonesia yang ikut mengharumkan nama bangsa.
Dilihat dari bidang
ilmu kedokteran, memang ada kekurangannya. Namun, alangkah bijaksananya jika
kita semua, termasuk pemerintah, membantu menyempurnakan hasil penelitian Dr
Warsito dan bukan justru ”mematikannya”.
Jalan tengah
Barangkali jalan
tengahnya adalah Dr Warsito tidak melakukan uji klinik, tetapi uji kasus (apa
pun namanya). Artinya, klinik tetap menerima pasien baru dengan catatan
pasien yang bersangkutan harus mendapat evaluasi pemeriksaanpendahuluan
sebelum dan pasca pengobatan menggunakan metode Dr Warsito, dari ahli
onkologi, psikolog/ psikiater, ataupun ahli gizi.
Dalam uji kasus ini
juga harus ada kesanggupan dan kerja sama pasien. Pada hasil uji kasus ada
beberapa aspek yang harus diperhatikan, antara lain, aspek onkologi atau
pemantauan perkembangan kankernya, kesehatan fisik dan psikologis pasien, dan
apakah alat kesehatan cukup aman digunakan.
Kalau dikatakan Dr
Warsito ”mutung” barangkali dapat dimengerti karena saya mempunyai pengalaman
mengembangkan tanaman obat sebagai obat malaria selama empat tahun, dan pada
akhirnya sebagai seorang peneliti kecewa karena tidak ada respons dari
pemerintah.
Semoga masyarakat
mendapat layanan kesehatan terapi kanker sesuai kaidah kesehatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar