Relawan dan Partai
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 19 Maret
2016
Sekali lagi tentang
kata deparpolisasi. Secara harfiah kata benda ini artinya ’pengurangan jumlah
partai politik’. Tetapi, ia secara relatif tentu bisa juga ditafsirkan
sebagai pengurangan pengaruh partai.
Agar kita paham,
deparpolisasi pernah dilakukan ketika Orde Baru memaksakan fusi partai tahun
1973. Partai-partai yang ketika itu jumlahnya lebih dari 10 dipaksa bergabung
berdasarkan pengelompokan/gabungan partai-partai nasionalis dan satu lagi
berdasarkan agama Islam.
Maka sistem politik
kita sering disebut dengan dua partai, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Golkar acap kali enggan disebut sebagai
partai, lebih nyaman disebut sebagai golongan.
Kalaupun mau mencium
jejak deparpolisasi, itu telah terjadi ketika Presiden Soekarno memberlakukan
Dekrit 5 Juli 1959. Salah satu turunannya adalah Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 2 Tahun 1959 yang melarang PNS golongan F ke atas untuk menjadi anggota
partai.
Setelah Orde Baru
berkuasa, seluruh perpres produk Dekrit 5 Juli 1959 ditinjau kembali. Apa
lacur, deparpolisasi Orde Baru justru semakin menjadi-jadi melalui Peraturan
Pemerintah No 6/1970.
Kalau Perpres No
2/1950 melarang PNS untuk golongan-golongan tertentu, Peraturan Pemerintah No
6/1970 melarang tujuh jenis jabatan yang bersih dari parpol. Jenis jabatan
itu di antaranya anggota ABRI, PNS hankam, hakim, jaksa, dan jajaran Dewan
Gubernur Bank Indonesia.
Dengan kata lain,
presiden pertama dan kedua republik ini sedikit banyak bersikap risi dengan
”parpolisasi”. Sikap risi itulah yang kita basmi bersama-sama melalui
Reformasi 1998 yang menegakkan kembali kepartaian sebagai tujuan berbangsa
dan bernegara.
Ruang publik telah
terbagi rata antara partai dan kita rakyat yang tidak tertarik bergabung
dengan partai. Toh, pada kenyataannya kita rakyat yang tak berpartai tetap
memilih politisi pada setiap pilpres, pileg, ataupun pilkada.
Fakta ini
memperlihatkan bahwa politik bukan cuma monopoli partai. Partai dan politisi
justru memperoleh legitimasi dari kita rakyat yang belum tentu ikut partai.
Sayangnya, saat ini
partai dan sebagian dari kita rakyat, yakni relawan, seolah seperti minyak
dengan air. Partai bak balok es yang keras membeku, relawan ibarat minyak oli
bekas yang tercecer ke mana-mana.
Partai entitas politik
yang menyatukan para anggotanya dengan ”ideologi”. Khusus di negeri ini,
ideologi itu rupanya, suka atau tidak, sudah sarat dengan kepentingan yang
pragmatis dan transaksional.
Relawan tidak memiliki
ideologi, hanya kepentingan yang bersifat sesaat. Sama dengan partai,
kepentingan relawan kurang lebih juga bersifat pragmatis dan transaksional.
Setelah merumuskan
ideologi, partai menetapkan AD/ART yang mengikat. Mereka juga buka ”cabang”
ke semua provinsi, lengkap dengan kepengurusan dari tingkat pusat hingga anak
ranting.
Berhubung tidak punya
ideologi, relawan mungkin tak perlu membuat AD/ART, membuka cabang atau
membentuk pengurus yang sah dan didukung. Mungkin sekarang ini ada 1-2
kelompok relawan yang mengupayakannya, siapa tahu kelak pada tahun 2019 bisa
”naik kelas” menjadi partai.
Bagi partai, ideologi,
AD/RT, dan cabang masih belum cukup. Mereka wajib mengadakan berbagai
pertemuan (kongres, muktamar, musyawarah, dan lainnya) dari tingkat paling rendah
sampai pusat. Pengurus harus disegarkan secara rutin demi menjaga
kelangsungan kaderisasi.
Relawan tentu tidak
sekaku itu, cuma bisa ”ngumpul-ngumpul” jika dibutuhkan. Tapi yang berjuang
untuk kemerdekaan bukan cuma partai, relawan juga ikut menyingsingkan lengan
baju.
Relawan kadang
bersikap self righteous jika jagonya menang. Pengurus partai terbiasa
menunggu instruksi alias tidak boleh mendahului sikap dan pernyataan resmi
dari Dewan Pengurus Pusat (DPP).
Kalau lagi bete dengan
pemimpin partai, kita bisa melancarkan demonstrasi mendatangi kantor mereka.
Kalau bete sama pemimpin relawan yang menjadi pejabat publik, kita bingung
mau nga- pain?
Di negara-negara
Barat, independensi merupakan alternatif ideologi ketiga terhadap sistem dua
partai seperti Partai Independen di Inggris atau capres seperti Ross Perot di
Amerika Serikat. Di negeri ini, independensi menyeruak antara lain karena
kekecewaan terhadap partai.
Apalagi ada sebagian
kalangan menganggap relawan berperan sentral dalam memenangi Joko
Widodo-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014. Padahal, suara rakyatlah yang paling
menentukan.
Independensi politik
oleh relawan, juga partisipasi ”massa mengambang” seperti kita rakyat, akan
semakin dinamis di masa mendatang akibat hiruk-pikuk pencalonan Pilgub DKI
belakangan ini. Partai-partai hendaknya melihat fenomena ini sebagai
pelajaran baru dalam demokrasi kita yang baru seumur jagung ini.
Relawan bukanlah
ancaman atau lawan yang harus diversuskan. Relawan adalah kawan
seiring-sejalan dalam proses memilih pemimpin-pemimpin, termasuk dari
kalangan perseorangan, yang bertujuan memajukan serta menyejahterakan bangsa
dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar