Rupiah: How Strong Can You Go?
Sunarsip ; Ekonom Kepala The Indonesia Economic
Intelligence (IEI)
|
REPUBLIKA, 14 Maret
2016
Dalam sebulan
terakhir, nilai tukar rupiah mengalami penguatan yang cukup signifikan
terhadap dolar AS. Akhir pekan lalu, nilai tukar rupiah berada di level Rp
13.087 per dolar AS.
Penguatan ini terutama
dipicu oleh faktor eksternal yang berimbas pada masuknya dana-dana asing
(investor portofolio) ke pasar keuangan Indonesia. Setidaknya, terdapat dua
faktor eksternal yang menjadi pemicu bagi penguatan rupiah tersebut.
Pertama, belum
solidnya pemulihan ekonomi Amerika Serikat yang mengakibatkan rencana
kenaikan Fed Fund Rate (FFR) atau suku bunga acuan AS selama 2016 ini mulai
diragukan oleh para pemilik dana. Seperti diketahui, pada Desember 2015 lalu,
the Fed telah menaikan FFR menjadi 0,5 persen dengan kemungkinan kenaikan FFR
pada 2016 ini. Namun, rencana itu kini diragukan seiring dengan perkembangan
terakhir ekonomi AS. Perkiraan kenaikan FFR kemungkinan bergeser paling cepat
pada semester II 2016 dengan besaran kenaikan yang lebih rendah.
Pada rapat Federal Open Market Committee (FOMC)
Januari 2016 dan testimoni Gubernur the Fed Janet Yellen di depan kongres AS
(10 Februari 2016) mengindikasikan bahwa kenaikan FFR akan dilakukan secara
gradual dengan mempertimbangkan risiko ekonomi dan pasar keuangan global yang
dapat memengaruhi prospek perbaikan AS. Berdasarkan survei Bloomberg terkini
(73 ekonom), kenaikan FFR diperkirakan hanya sebesar 50 basis poin (bps) pada
2016, lebih rendah dibandingkan survei pada Januari 2016 sebesar 75 bps.
Bahkan, pasar futures (FFR Implied Probability) memperkirakan
tidak terjadi kenaikan FFR selama 2016.
Kondisi inilah yang
menyebabkan ekspektasi para pemilik dana terhadap dolar AS menjadi melemah.
Para pemilik dana berpikir ulang untuk menempatkan dananya di surat berharga
di pasar keuangan AS karena imbal hasilnya (yield) yang rendah. Para pemilik
dana lebih memilih menarik dananya keluar dari AS. Akibatnya, dolar AS
melemah hampir terhadap sebagian besar mata uang di dunia.
Kedua, di saat para
pemilik dana menarik dananya dari AS, ternyata pilihan penempatan dana di
luar AS juga terbatas. Eropa, misalnya, belum lama ini bank sentralnya telah
menurunkan suku bunga acuannya menjadi nol persen. Jepang juga menerapkan
suku bunga acuan negatif menjadi -0,1 persen. Kondisi ini menyebabkan
penempatan dana di kedua kawasan ini (Eropa dan Jepang) juga sama tidak
menariknya dengan AS.
Para pemilik dana
akhirnya melirik emerging markets sebagai tujuan penempatan dana berikutnya.
Sayangnya, tidak seluruh emerging markets kondisinya positif. Brasil,
Argentina, dan Rusia perekonomiannya memburuk akibat terimbas oleh jatuhnya
harga komoditas. Cina, sekalipun tumbuh sekitar tujuh persen pada 2015, perekonomiannya
sedang dalam siklus menurun.
Dengan kata lain,
pilihan para pemilik dana untuk menempatkan dananya di emerging markets juga
terbatas. Dan Indonesia, kini menjadi salah satu pilihan tujuan penempatan
dana yang dinilai bisa memberikan hal-hal yang dibutuhkan pemilik dana: aman
dan yield yang tinggi karena perekonomiannya dinilai relatif lebih baik
dibanding emerging countries lainnya.
Kondisi inilah yang
menyebabkan rupiah menguat dan menjadi salah satu mata uang di emerging
markets yang memiliki kinerja terbaik dalam sebulan terakhir. Kini, Indonesia
banyak mendapat limpahan dana asing. Tercatat, sampai dengan akhir Februari
2016, dana asing yang masuk ke Indonesia telah mencapai Rp 35 triliun ke
surat berharga negara dan pasar modal. Pertanyaannya, sampai seberapa jauh
penguatan nilai tukar ini akan berlanjut?
Penguatan rupiah
memang kita butuhkan saat ini. Nilai tukar rupiah yang sempat di atas Rp 14
ribu bukan sesuatu yang positif bagi kita. Ini mengingat industri kita
tertekan akibat rupiah sedemikian melemah. Tekanan bagi industri berasal dari
tingginya biaya impor serta pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo.
Di sisi lain,
pelemahan rupiah yang dalam tersebut tidak bisa dioptimalkan untuk
meningkatkan ekspor karena permintaan terhadap ekspor juga tertekan akibat
pelemahan ekonomi global dan jatuhnya harga komoditas. Dengan kata lain,
nilai tukar rupiah yang terbentuk saat ini (di level Rp 13.087 per dolar)
lebih menguntungkan bagi Indonesia dibanding saat masih di atas Rp 14 ribu
per dolar.
Rupiah sebenarnya
memiliki peluang untuk menguat lebih jauh. Ini mengingat potensi masuknya
dana-dana asing ke Indonesia masih besar. Tinggal persoalannya, seberapa
mampu infrastruktur pasar keuangan kita menyerap dana-dana asing yang hendak
masuk tersebut.
Salah satunya adalah
dengan memperbanyak instrumen keuangan yang diterbitkan di pasar keuangan.
Dengan demikian, korporasi di Indonesia perlu didorong untuk menerbitkan
surat berharga, baik berupa saham, penerbitan obligasi, dan surat berharga
lainnya.
Tentu tidak mudah
untuk mendorong korporasi menerbitkan surat berharga saat ini, terutama surat
berharga yang berbentuk surat utang (obligasi). Kondisi korporasi kita saat
ini sedang kurang menguntungkan.
Selama 2015, korporasi
kita menunjukkan gejala penurunan kinerja yang dipicu tidak hanya oleh
perlambatan ekonomi domestik, juga didorong faktor eksternal, khususnya
pelemahan ekonomi dunia, penurunan harga komoditas seperti batu bara, kelapa
sawit, karet, produk logam, serta minyak dan gas. Dengan kondisi tersebut,
korporasi masih menghadapi potensi risiko yang dapat memengaruhi kinerja
kreditnya.
Di sisi lain, ketika
hendak menerbitkan obligasi, korporasi tentu juga menghitung berapa yield
yang akan diberikan kepada investor. Di sini, kompetitor utama korporasi
dalam penerbitan obligasi adalah pemerintah. Tahun ini, pemerintah akan
menerbitkan obligasi (gross) senilai Rp 543 triliun dan netonya sebesar Rp
327 triliun yang sebagian besar untuk membiayai defisit APBN 2016.
Nah, angka sebesar itu
tentunya akan berpotensi memperkecil ruang bagi korporasi untuk menerbitkan
obligasi dan surat berharga lainnya. Selain itu, juga menjadi tidak menarik
bagi pemilik dana untuk menempatkan dananya pada obligasi korporasi bila
bunga atau yield-nya tidak lebih tinggi dibanding obligasi pemerintah.
Kesimpulannya, kita
memiliki potensi besar untuk menarik dana asing masuk ke Indonesia. Kuncinya
adalah dengan memperkuat infrastruktur pasar keuangan kita. Misalnya,
bagaimana upaya pemerintah untuk mempercepat upaya pemulihan korporasi kita
yang tahun lalu menderita.
Tujuannya, untuk
mengembalikan kepercayaan investor agar mereka bersedia menempatkan dananya
ke dalam berbagai surat berharga yang diterbitkan korporasi kita. Pemerintah
juga perlu "berkorban" untuk mengurangi rencana penerbitan obligasi
yang besar tersebut agar terdapat ruang bagi korporasi untuk menerbitkan
surat berharga. Konsekuensinya, pemerintah perlu menurunkan defisit
fiskalnya, baik melalui penajaman alokasi anggaran maupun peningkatan
penerimaan negara.
Saya kira, bila
langkah-langkah untuk menarik dana asing berjalan baik, rupiah berpeluang
menguat hingga Rp 12.500, level yang cukup ideal bagi perekonomian kita saat
ini. Dan saat ini adalah momentum yang tepat untuk mengembalikan rupiah ke
level tersebut. Ini mengingat jumlah negara pesaing untuk menarik dana-dana
asing saat ini relatif terbatas, dan peluang bagi Indonesia cukup besar.
Semoga kita tidak terlambat memanfaatkan momentum ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar