Mahathir dan Islam Berkeadaban
A Ilyas Ismail ; Dosen UIN Syarif Hidayatullah; Dekan FAI UIA Jakarta
|
REPUBLIKA, 16 Maret
2016
Beberapa waktu lalu,
Nahdhatul Ulama mengintroduksi 'Islam Nusantara', sedangkan Muhammadiyah
mengenalkan 'Islam Berkemajuan'. Teman-teman dari negeri jiran Malaysia lebih
suka memilih terma 'Islam hadharah' alias 'Islam Berkeadaban'.
Sejatinya, tidak ada
perbedaan prinsipal di antara terma-terma itu. Semuanya memiliki niat dan
intensi yang sama, yaitu mewujudkan Islam yang unggul, damai, beradab, dan
menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Menarik disimak
pandangan Tun Doktor Mahathir Mohammad, mantan perdana menteri Malaysia yang
tersohor itu tentang Islam hadharah
yang diutarakannya dalam seminar internasional bertajuk, "Al-Islam, wa al-Salam, wa al-`adalah: Al-Tahawwul nahwa `Alamin
Jadidin Mutahadhdhir" beberapa waktu lalu di Kampus Universitas
Islam as-Syafi'iyah (UIA) Jakarta.
Mahathir yang
bertindak sebagai keynote speaker
dalam seminar ini memulai orasinya dengan mengajukan pertanyaan krusial,
yaitu apabila negeri-negeri Islam mundur dan terbelakang sekarang ini, apakah
hal itu terjadi karena agama Islam atau karena faktor-faktor lain?
Jawabannya ada dua
sebab, menurut Mahathir, yang membuat Islam tertinggal, yaitu sebab internal
dan eksternal. Secara internal, umat Islam sejak abad ke-15 M salah memahami
Islam. Mereka hanya mementingkan nilai-nilai ibadah juga mistis dan
megabaikan nilai-nilai ilmu dan amal.
Menurut Mahathir,
kenyataan ini justu berbanding terbalik dengan yang terjadi di Barat (Eropa).
Sejak abad ke-15, Eropa justru memasuki fase baru, yaitu fase pencerahan akal
budi yang disebut renaissance.
Akibatnya, Barat mencapai kemajuan dan Islam mengalami degradasi kemunduran.
Bagi Mahathir,
kemajuan suatu masyarakat amat ditentukan oleh nilai-nilai (values) yang dianutnya. Kalau
nilai-nilai yang dianut bagus, masyarkat akan maju atau dapat mencapai
kemajuan. Begitu pula sebaliknya. Kemajuan yang dicapai negara-negara Barat
sekarang menjadi bukti kebenaran tesis ini.
Sementara, secara
eksternal, Mahathir menunjuk faktor penjajahan Barat (kolonialisme) sebagai
biang kerok kemunduran Islam. "Anak-anak
muda sekarang tidak merasakan betapa pahitnya menjadi bangsa jajahan,"
tegas Mahathir.
Bagi Mahathir, penjajahan
belum berakhir, hanya berubah bentuk dari penjajahan lama ke penjajahan baru
atau neokolonialisme. Penjajahan baru ini justru lebih dahsyat menghisap
kekuatan dan kekayaan Islam dengan memakai beragam kedok, demokratisasi, HAM,
kesetaraan gender, dan tata kelola ekonomi baru, perdagangan, dan lain-lain
yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan asing (Barat).
Lantas, apa yang mesti
dilakukan bangsa-bangsa Muslim agar mencapai kemajuan dan keadaban seperti
yang diharapkan?
Solusi dan rekomendasi
Mahathir
merekomendasikan beberapa hal pokok. Pertama, meminta bangsa Muslim
menghargai nilai ilmu pengetahuan, bukan hanya nilai ibadah dan akhirat
semata. Yang dimaksud dengan ilmu di sini tak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi
juga sains modern.
Mahathir mengingatkan
agar bangsa Muslim memahami dan mengamalkan iqra', wahyu pertama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Iqra' adalah perintah agar kaum Muslim
mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan baik ilmu yang digali dari
Alquran (revealed knowledge) maupun
yang digali dari alam jagat raya (natural
sciences) dan alam manusia (social
sciences) serta humaniora.
Kedua sumber ilmu itu,
Alquran dan alam, seperti dikemukakan intelektual Muslim, Basheer Ahmed,
saling mencerahkan satu sama lain, "The
that al-Qur'an and universe, each in light of others." (Lihat Muslim Contributions to world
civilization: 2014).
Kedua, Mahathir
meminta agar bangsa Muslim giat dan rajin belajar, memiliki etos kerja
intelektual yang tinggi, seperti semangat keilmuan yang dahulu ditunjukkan
oleh kaum Muslim pada masa kejayaan Islam. Sepeti diketahui bahwa pada zaman
kejayaan Islam itu memang tidak ada komunitas di luar Islam yang lebih
bersemangat untuk menimba, menekuni, dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
ketimbang umat dan komunitas Islam.
Umat Islam kala itu
telah menjadi pemimpin intelektual dunia selama sekurang-kurangnya empat abad
dengan puncaknya pada zaman Khalifah Harun al-Rasyid dan Khalifah al-Ma'mun,
putranya yang secara beruntun memerintah Dinasti Abbasiyah dari 783-933 M.
Pada saat itu Barat (Eropa Kristen) masih dalam kegelapan mutlak, bahkan pada
1000 masih sedemikian terbelakangnya dan harus hanya bersandar secara total
kepada ilmu pengetahuan dunia Islam. (Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: 1992).
Sayangnya, seperti
sudah umum diketahui, semangat intelektualisme Islam itu kemudian
menurun--untuk tidak mengatakan memudar--di kalangan kaum Muslim. Semangat
intelektualsime itu, menurut Mahathir, justru berpindah untuk selanjutnya
berkibar dan berkobar di kalangan Barat Kristen.
Sejak abab
kebangkitan, renaissance, seperti telah disinggung di muka, mereka begitu
semangat belajar, menimba ilmu pengetahuan, termasuk dari khazanah keilmuan
Islam, baik secara langsung di Timur Tengah atau melalui Asbania, Spanyol,
Islam. Pada masa ini begitu banyak karya-karya Islam dipelajari dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Barat.
Ketiga, selain
meningkatkan amal ilmiah, Mahathir meminta bangsa Muslim agar mempertinggi
amal sosial dan kemanusiaan. Ini merupakan pilar ketiga dari Islam
Berkeadaban yang ditawarkan Mahathir. Islam Berkeadaban, selain menekankan
ilmu dan tradisi intelektual yang tinggi, juga menekankan kedamaian,
toleransi, dan keluhuran budi pekerti dengan menumbuhkan rasa cinta dan kasih
sayang kepada sesama umat manusia.
Dalam banyak
kesempatan, Mahathir sering bercerita bahwa sewaktu masih aktif sebagai
perdana menteri Malaysia, ia sering kali diundang oleh komunitas-komunitas
lain di luar Islam untuk meresmikan berbagai acara amal sosial untuk kemanusiaan.
Dalam acara-acara semacam itu, diberikan donasi untuk orang-orang tak mampu,
kaum dhuafa, dari golongan manapun, termasuk dari kelompok Islam.
Bagi Mahathir, amal
sosial ini amat penting. Orang Muslim, harus aktif dalam kancah ini untuk
membuktikan kemulian Islam sebagai agama keadilan (din al-`adalah), agama kedamaian (din al-slam), dan agama kasih sayang (din al-rahmah).
Untuk memperkuat amal
sosial ini, Mahathir mengingatkan bangsa Muslim tentang pembagian doktrin
Islam ke dalam dua bentuk, yaitu (1) kewajiban individual (fardhu `ayn) dan (2) kewajiban sosial
(fardhu kifayah). Diakui, selama
ini, orientasi keagaman Islam di negeri-negeri Islam, di Malaysia, Indonesia,
dan di tempat-tempat lain, lebih banyak menitikberatkan pada fardhu `ayn, dan kurang memberikan
perhatian pada fardhu kifayah.
Padahal, menurut
Mahathir, kemuliaan Islam dan kehadirannya sebagai agama yang mendorong
kemajuaan dan keadaban (mutahadhdhir)
bisa terwujud manakala bangsa Muslim lebih kontributif dan peduli dalam memecahkan
masalah-masalah sosial dan kemanusiaan dengan memperbanyak ibadah yang
berdimensi sosial (fardhu kifayah)
ini.
Jadi, Islam
Berkeadaban yang diusulkan Mahathir berbasis pada keunggulan ilmu pengetahuan
dan akhlaq al-karimah serta kemanusiaan sejagat merupakan sebuah transformasi
sosial dan kulutral menuju lahirnya generasi terbaik Islam. Semoga, Islam
Berkeadaban yang diperjuangkan Mahathir dapat menghapus stigma Islam sebagai
agama teror atau stereotip lain yang merendahkan Islam. Wallah a`lam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar