Mahar Politik, Politik Mahar
Azyumardi Azra ; Guru
Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Dewan Penasihat
International IDEA Stockholm (2007-2013)
dan UNDEF New York (2006-2008)
|
KOMPAS, 15 Maret
2016
Kehebohan sekitar
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tampaknya bakal terus berkembang. Pekan lalu,
Basuki ”Ahok” Tjahaja Purnama memutuskan maju sebagai calon perseorangan
berpasangan dengan Heru Budi Hartono, pegawai negeri sipil mantan Wali Kota
Jakarta Utara yang kini menjabat Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset
Daerah. Ahok menyatakan, ia tidak punya uang sebagai ”mahar” untuk partai
politik yang dapat menjadi pengusungnya.
Ahok menyatakan
”mahar”—tegasnya ”mahar politik”—adalah untuk menutupi biaya menggerakkan
parpol sejak dari tingkat bawah sampai ke atas. Namun, banyak kalangan tampak
lebih memersepsikan soal mahar dengan praktik ”jual beli” dukungan antara
calon dalam pilkada atau pilgub (juga dalam pileg dan pilpres) dengan parpol.
Karena itu, mereka memandang negatif praktik ”mahar” dalam percaturan
politik.
Praktik mahar politik
mencerminkan terjadinya pergeseran arti istilah atau konsep mahar (bahasa
Arab mahr, bahasa Inggris dowry) dalam wacana publik Indonesia.
Mahar yang semula terkait agama (Islam) kian populer dalam wacana dan praktik
politik masa demokrasi pasca-Soeharto.
Dari sudut sentimen keislaman,
pergeseran makna dan konsep mahar yang semula positif menjadi peyoratif patut
disayangkan karena dapat menimbulkan persepsi dan pemahaman keliru terhadap
ketentuan hukum Islam. Agaknya kesulitan mencari istilah lain, mahar dengan
begitu saja juga diterapkan dalam politik Indonesia.
Istilah atau konsep
mahar semula dalam fikih (yurisprudensi Islam) mengacu pada ketentuan tentang
pemberian wajib (calon) suami kepada (calon) istri yang disampaikan pada
waktu akad nikah (ijab kabul) perkawinan. Besar-kecilnya tergantung kemampuan
pihak (calon) suami, dan (calon) istri mesti ikhlas menerima.
Dengan demikian, mahar
merupakan pertanda ikatan sakral (akad) dalam pernikahan antara (calon) suami
dan (calon) istri. Mahar bendawi yang diberikan suami menjadi sepenuhnya
milik istri sebagai cadangan jika ia membutuhkan dana.
Namun, dalam praktik
politik Indonesia lebih satu dasawarsa terakhir, istilah mahar politik
dipahami publik sebagai transaksi di bawah tangan atau illicit deal yang melibatkan pemberian dana dalam jumlah besar
dari calon untuk jabatan yang diperebutkan (elected office) dalam pemilu/pilkada dengan parpol yang menjadi
kendaraan politiknya.
Tanpa bermaksud
memberi justifikasi pada praktik mahar politik yang tampaknya kian lazim, hal
sama terjadi di banyak negara. Disebut sebagai political dowry, praktik mahar politik bisa terjadi antarcalon
untuk berbagai jabatan melalui pemilu dan juga antarpartai untuk membentuk
koalisi.
Kehebohan pernah
terjadi di Amerika Serikat saat Presiden George W Bush, yang maju sebagai
calon presiden pada 2000 memilih Dick Cheney sebagai cawapres, disebut-sebut
melibatkan praktik political dowry. Di Korea Selatan, koalisi Aliansi Baru,
gabungan tiga partai oposisi, pada 2015 diberitakan media terbentuk berkat generous political dowry dari pihak
tertentu. Political dowry disebut
menghasilkan ”kawin kontrak” (marriage
for convenience) dengan bulan madu di antara parpol berbeda yang (semula)
memiliki kepentingan masing-masing.
Baik dalam konteks
Indonesia maupun mancanegara, sangat sulit mengetahui persis proses atau
modus operandi praktik mahar politik yang memunculkan ”politik mahar”.
Pemberi dan penerima tidak pernah mengungkapkan bagaimana kesepakatan mahar
politik tercipta, berapa jumlah mahar politik, dan apa saja yang harus
dipenuhi sang calon jika ia menang kepada donor dana atau parpol
pendukungnya.
Dalam konteks
terakhir, Ahok misalnya menyatakan tidak punya dana untuk mahar politik.
Namun, hampir bisa dipastikan ada kalangan berduit yang bersedia membayarkan
mahar politik. Dengan tingkat elektabilitas sangat tinggi dibandingkan bakal
calon lain, jika mau Ahok tidak sulit mendapatkan donor yang bermurah hati mendanai.
Gejala adanya donor
murah hati di Indonesia juga selalu muncul dalam rumor politik sepanjang
musim pileg, pilpres, dan pilkada. Bahkan di Indonesia—seperti juga di
Amerika Serikat—selalu ada donor dari kalangan korporasi yang memasang
kakinya di semua calon. Siapa pun yang menang, donor tetap melekat dengan
kekuasaan.
Politik mahar dan
mahar politik jelas menimbulkan penyimpangan dalam demokrasi. Jika demokrasi
adalah kepentingan rakyat, politik mahar membuat demokrasi lebih berorientasi
pada pihak pemberi mahar, baik parpol maupun donor korporasi.
Karena itu, bisa
diharapkan, pemegang jabatan publik yang terlibat politik mahar dan mahar
politik cenderung mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan berbagai pihak
terkait langsung daripada kepentingan publik. Hasilnya, demokrasi gagal dalam
meningkatkan kehidupan politik, juga dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Tak kurang pentingnya,
mahar politik dan politik mahar memunculkan politik biaya tinggi—menjadi
”investasi” sangat mahal bagi setiap aspiran politik. Investasi perlu
dikembalikan, dan ini mendorong merajalelanya korupsi.
Karena itu, perlu
upaya serius dari berbagai pemangku kepentingan untuk memerangi praktik
politik transaksional ini; misalnya perlu pengawasan lebih ketat atas
keuangan dan pendanaan para calon dan parpol dalam pileg, pilpres, dan
pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar