Semangat Menolak Politik Uang
M Alfan Alfian ; Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
|
KOMPAS, 15 Maret
2016
Wacana menolak politik
uang belakangan ini mengemuka setidaknya dalam draf revisi Undang-Undang
Pilkada yang diajukan oleh Kementerian Dalam Negeri, dan menjelang Musyawarah
Nasional Luar Biasa Partai Golkar.
Yang pertama terkait
dengan ikhtiar menolak praktik politik uang dalam pilkada, melalui sanksi
yang lebih tegas dan diharapkan muncul efek jera bagi para pelakunya. Yang
kedua, dikaitkan dengan konteks mentradisikan pergelaran politik tertinggi
partai politik yang bebas politik uang atau menepis
pragmatisme-transaksional. Meskipun dalam konteks berbeda, di atas kertas,
setidaknya mengemuka semangat menolak politik uang.
Soal politik uang ini,
sudah menjadi semacam pengetahuan umum bahwa sejak era reformasi, ketika
keran keterbukaan politik terjadi ditandai oleh kompetisi politik
antarpartai, bahkan antarkandidat yang sangat ketat, telah membuat ongkos politik
demikian mahal. Hal tersebut dimungkinkan karena, para pelaku dan kompetitor
dalam kontestasi politik pemilu, tidak saja terbebani oleh pengeluaran
keuangan yang absah, tetapi juga menghadapi tuntutan yang sering kali
dilematis, yakni menyebar politik uang. Lambat laun, politik uang menjadi
instrumen jalan pintas yang mentradisi, dan sayangnya diamini oleh sebagian
kalangan masyarakat. Maka, suburlah pola pragmatisme-transaksional.
Berbagai diskusi telah
banyak dilakukan, khusus menyorot fenomena politik uang sebagai salah satu
sumber penyakit dalam praktik kepolitikan kita. Secara normatif, semua
menolak. Kendatipun, kalangan politisi diam- diam menyebut bahwa mereka tak
bisa mengelak. Kalau tidak ikut larut, maka mereka khawatir tidak akan terpilih,
apalagi ketika mencermati kompetitor lain gencar berpolitik uang.
Dalam hal ini,
sangatlah susah pepatah Jawa yang konon berasal dari Sunan Kalijaga dalam
Serat Lor, ”anglaras ilining banyu, angeli nanging ora keli” atau tetap
selaras dengan kehendak masyarakat, ikut mengikuti arus yang ada, tetapi
tidak ikut ”tenggelam”, diterapkan. Dalam banyak kasus gagalnya para calon
anggota legislatif atau yang lain, justru karena mereka mencoba mempraktikkan
nasihat itu. Kalaulah tidak menenggelamkan diri dalam politik uang, nyatanya
sulitlah mereka terpilih.
Menjelang pemilihan
presiden pada 2004, Nurcholish Madjid pernah mengeluhkan praktik politik uang
itu dengan sindiran istilah ”gizi”. Bahwa, sulitlah kandidat, ketika itu
dalam konteks konvensi Partai Golkar, untuk terpilih, kalau hanya sekadar
menyampaikan visi, karena realitas lapangan menuntut ”gizi”. Terlepas dari
konteksnya, tetapi sudah menjadi semacam rahasia umum pula bahwa politik uang
pun telah mempola dalam munas, kongres, atau muktamar partai-partai. Suksesi
kepemimpinan internal partai, meskipun susah dibuktikan secara hukum, tetapi
sering kali sarat dengan bau politik uang.
Karena itu, dapat
dipahami kalau antarcalon kandidat menjelang munaslub Partai Golkar, saling
mengeluarkan jurus antipolitik uang, yang semoga saja tidak sekadar sebatas
retorika. Bahkan, mereka tidak keberatan kalau munaslub melibatkan pihak
aparat penegak hukum, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian.
Tentu saja pelibatan
aparat penegak hukum dalam perhelatan suksesi kepemimpinan internal partai,
akan sangat menarik dan diharapkan bisa menepis mewabahnya politik uang. Hal
ini membutuhkan sikap yang proaktif dari kedua belah pihak, baik partai
maupun aparat penegak hukumnya.
Merusak demokrasi
Politik uang jelas merusak
demokrasi dan identik dengan korupsi. Kompetisi yang jujur dan bersih
ternodai. Jauh dari hal tersebut, politik uang menghambat kandidat-kandidat
politik yang berpotensi, dan yang muncul sekadar mereka yang kebetulan
beruang banyak. Penolakan terhadap politik uang, tentu tidak sebatas dalam
semangat, tetapi memang harus ada aturan main yang ketat.
Karena itu, ikhtiar
merevisi UU Pilkada yang menitikberatkan antisipasi praktik politik uang,
bagaimanapun perlu diapresiasi. Namun, tetap kita lihat sejauh mana klausul
yang ada, apakah masih membuka celah, atau menutupnya rapat-rapat.
Yang masih menjadi
polemik soal sanksi pelaku politik uang yang harus menunggu proses hukum
pidana yang berlangsung lama dan tidak menjamin adanya efek jera. Pemerintah
perlu mempertimbangkan gagasan pemberian sanksi administratif, berupa
penolakan pencalonan oleh Komisi Pemilihan Umum, setelah Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) menemukan bukti yang cukup atas pelanggaran politik uang,
tanpa harus melalui proses hukum pidana.
Kalau ini dilakukan,
maka Bawaslu akan fungsional dan efektif sebagai wasit pemilu yang
berorientasi bebas politik uang. Namun, pemerintah tampaknya bertahan pada
proses hukum pidana, di mana pembatalan calon terpilih bisa dilakukan,
manakala secara pidana terbukti melanggar. Jadi, mekanismenya masih tetap
sama dengan sebelumnya.
Terlepas dari polemik
itu, kita jelas membutuhkan praktik demokrasi yang sehat, maka lazim kalau
politik uang harus ditolak beramai-ramai. Yang menjadi soal ialah bagaimana
di level masyarakat? Diasumsikan, masyarakat akan menjauh dari pola
pragmatisme-transaksional, manakala elite kandidat yang berlaga kompak
menjauhi politik uang, antara lain karena adanya aturan hukum yang sangat
ketat. Barangkali, gambaran ideal seperti ini sangat menyederhanakan masalah.
Namun, elite bisa memulainya, masyarakat mengikuti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar