Agar Tidak Terkaget-kaget Donald Trump
Dahlan Iskan ; Mantan
CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 14 Maret
2016
SEPERTINYA, kita sudah
perlu tahu tentang yang satu ini: Bagaimana cara memahami jalan pikiran
Donald Trump. Yang begitu aneh. Dan mengejutkan. Sampai-sampai ada tokoh
partainya sendiri yang menganggapnya Hitler.
Sepertinya, kita sudah
perlu belajar memahami yang satu ini: Mengapa ada orang yang menyenangi
Donald Trump. Yang kian lama ternyata kian populer. Bahkan sudah memenangi
persaingan calon presiden. Dari partai konservatif. Partai Republik.
Di banyak negara
bagian. Memang luar biasa banyak yang membencinya. Sampai ada kaukus
anti-Trump. Termasuk di partainya sendiri.
Tapi, sepertinya,
akhirnya, dialah yang terpilih. Jadi calon presiden dari Partai Republik.
Lalu, siapa tahu, terpilih pula menjadi presiden Amerika Serikat.
Lebih baik kita tahu
penyebab kepopulerannya. Daripada terkaget-kaget terus.
Kebetulan, saya baru
mengikuti analisis yang sangat menarik. Dari seorang profesor ahli cara otak
bekerja. Analisis itu dipublikasikan oleh Prof George Lakoff minggu lalu. Di
Huffington Post. Lakoff bukan sembarang profesor. Dia distinguished
professor. Dia ahli dalam ilmu ”bagaimana cara otak berpikir”. Lakoff sudah
menulis empat buku di bidang itu. Yang terakhir berjudul Jangan Berpikir
seperti Seekor Gajah.
Lakoff melihat, Donald Trump harus dinilai
dari cara berpikir keluarga konservatif. Bukan keluarga progresif. Partai
Republik adalah partai konservatif. Demokrat yang progresif.
Seseorang tergolong konservatif (atau
progresif) bisa dilihat dari beberapa ciri. Yang konservatif, umumnya,
berpikir bahwa disiplin keluarga adalah segala-galanya. Ayah adalah sosok
yang strict. Ayah adalah wakil Tuhan di keluarga itu: memimpin doa, mendisiplinkan
keluarga, menghukum anak, mengusahakan kesejahteraan, menjamin keamanan,
menjaga kehormatan, dan seterusnya. Karena itu, umumnya, mereka penganut
moral agama yang fanatik. Meski belum tentu menjalankan ritual keagamaan
dengan baik.
Kalau perlu, ayah mendisiplinkan anak
dengan kekerasan fisik. Prinsipnya: disiplin adalah benar. Disiplin adalah
terhormat. Disiplin adalah sukses. Disiplin adalah menang. Disiplin adalah
sumber kaya.
Mereka berpikirnya tembak langsung.
Sebab-akibat. Tidak komprehensif. Mereka anggap berpikir komprehensif itu
muter-muter.
Maka, tembak langsung saja. Salah harus
dihukum. Membangkang diserang. Mengatasi membanjirnya imigran pun gampang:
Bangun tembok. Mengatasi membanjirnya barang impor mudah: Larang! Mencari
pengakuan: Siksa! Menjaga keamanan keluarga: Milikilah senjata di rumah!
Karena itu, Obama gagal terus dalam usahanya membatasi kepemilikan senjata.
Rakyat senang dengan isu nilai-nilai
keluarga seperti itu. Rakyat juga senang dengan jawaban tembak langsung.
Seolah persoalan di depan mata langsung mendapati jalan keluar.
Keluarga Amerika sangat mendalam menghayati
nilai keluarga seperti itu.
Realistis atau tidak soal lain. Mereka
tidak bertanya: Apakah mungkin membangun tembok pembatas antarnegara
sepanjang 1.500 km? Antara Amerika dan Meksiko itu. Apakah mungkin tidak ada
impor barang? Apakah mungkin kalau semua orang punya senjata menjadi lebih
aman?
Cara berpikir begitu menurun ke anak-cucu.
Sebab, semua orang pada awal tumbuh berkembang di lingkungan keluarga. Nilai-nilai
keluarga seperti itu terus terbawa. Termasuk ke dalam sikap sosial. Bahkan ke
dalam sikap bernegara. Mereka mengidentikkan negara dengan sebuah keluarga.
Harus ada bapak. Harus ada yang mendisiplinkan. Harus aman. Harus sejahtera.
Harus kuat. Harus menang.
Bagi mereka, kemiskinan seseorang adalah
akibat tidak disiplin. Tidak disiplin berarti malas. Malas berarti miskin.
Miskin berarti lemah.
Karena itu, orang konservatif menilai
kemiskinan adalah urusan keluarga. Bukan urusan sosial. Apalagi urusan
negara. Karena itu, ideologi konservatif tidak mau pajak tinggi.
Pajak yang tinggi berarti mengganggu
kesejahteraan keluarga. Miskin, menurut mereka, tidak bisa diatasi dengan
pajak tinggi. Yang hasilnya untuk menolong mereka. Itu urusan
ketidakdisiplinan dalam keluarga.
Kini Trump kembali mengibarkan panji-panji
itu. Tinggi-tinggi. Panji yang dianggap sudah kian luntur. Sejak Obama jadi
presiden. Harus dihentikan. Jangan sampai diteruskan oleh Hillary Clinton.
Orang konservatif bangga karena ada tokoh yang mau mengibarkan lagi
panji-panji itu. Calon lain dari Partai Republik juga mengibarkannya. Tapi
malu-malu. Trump-lah pahlawan mereka.
John McCain, misalnya, kalah oleh Obama
karena dianggap lemah. Bukan simbol konservatif yang sempurna. Mengapa?
Sebab, McCain pernah tertembak dan ditahan dalam perang Vietnam.
Di mata konservatif, orang yang pernah
tertembak adalah orang lemah. Orang kalah. Bukan pahlawan. Padahal, McCain
waktu kampanye membanggakan kepahlawanannya dan pengorbanannya dalam membela
negara.
Apakah Trump akan menang?
Sayangnya, rakyat Amerika yang meninggalkan
sikap konservatif semakin banyak. Orang kian liberal. Yang bersikap liberal
terus bertambah. Buktinya: Obama menang. Sampai dua kali.
Lalu, apa yang menyebabkan Trump nanti bisa
menang?
Tinggal satu jawaban: Rakyat sudah bosan
dengan politik.
Rakyat Amerika sudah sangat muak dengan
kelakuan anggota DPR-nya. Yang gaji dan fasilitasnya luar biasa, tapi
hasilnya dinilai tidak memadai. Calon-calon kuat sekarang ini anggota DPR
semua. Baik yang dari konservatif maupun progresif.
Rakyat sudah muak kepada DPR. Ingin calon
yang segar. Yang tidak berbau politik. Trump mereka anggap sebagai calon yang
datang dari langit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar