Ancaman Embargo Impor Sawit Prancis
Khudori ; Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat
|
MEDIA INDONESIA,
15 Maret 2016
DIPLOMASI sawit
Indonesia kembali menghadapi ujian berat. Ujian itu datang dari Uni Eropa,
tepatnya dari Prancis. Parlemen Prancis akan memungut tarif impor (import levy) pajak progresif ekspor
minyak kelapa sawit (CPO). Rencana itu ialah bagian dari amendemen UU 367
tentang Keanekaragaman Hayati. Amendemen akan diputus 15 Maret 2016.
Prancis menilai sawit
tanaman yang merusak keanekaragaman hayati mesti dipajaki. Ini kali kedua
Prancis berulah. Pada Juli 2015, Menteri Ekologi Prancis Segolene Royal
menyerukan boikot nutela karena memakai minyak sawit.
Ini sekian kali
serangan terhadap sawit dilakukan negara-negara maju.
Ini bisa dibaca dari
aneka regulasi di negara-negara maju yang pada intinya menuding sawit tidak
ramah lingkungan, seperti Renewable
Fuel Standards oleh Amerika Serikat, Renewable
Energy Directive oleh Uni Eropa, dan Food
Standards Amendment Truth in Labeling-Palm Oil Bill 2010 oleh Australia.
Setelah Prancis, bukan
mustahil negara lain menempuh hal serupa.
Mereka satu suara:
sawit tidak ramah lingkungan dan mesti dimusuhi.
Jika amendemen lolos,
pemerintah Prancis akan memungut tarif impor progresif dan regresif, yakni
300 euro per ton CPO pada 2017 dan 500 euro per ton CPO pada 2018. Pada 2019,
tarif pungutan dinaikkan jadi 700 euro per ton dan meningkat menjadi 900 euro
pada 2020. Bukan hanya itu, masih ada pajak tambahan jika CPO digunakan untuk
makanan (oleo food) dikenai tambahan pajak (ad valorem tax) sebesar 3,8%. Anehnya,
pajak tidak berlaku untuk minyak nabati dari kedelai dan biji bunga matahari.
Prancis sesungguhnya
tengah merancang embargo impor minyak sawit.
Prancis menggunakan
isu lingkungan untuk menutupi praktik perdagangan tidak adil dan perang
dagang. Alasan di balik itu sesungguhnya Prancis hendak melindungi produksi
minyak nabati domestik yang dibuat dari biji bunga matahari, rapeseed, dan
kedelai.
Sudah lebih dua tahun
petani setempat mengeluh minyak nabati mereka kalah bersaing dari minyak
sawit. Harga rata-rata minyak biji bunga matahari di Eropa pada 2015 mencapai
US$1.000 per ton, sementara harga CPO CIF Rotterdam hanya US$565 per ton. Jika
Prancis tidak memberlakukan tarif impor tinggi pada CPO, minyak nabati mereka
kalah bersaing.
Sekitar 45 tahun lalu
kelapa sawit masih merupakan komoditas pinggiran.
Saat itu neraca minyak
pangan dunia didominasi minyak kedelai, rapeseed, bunga matahari, atau jagung
yang diproduksi AS dan Uni Eropa. Kini sawit jadi jawara dan mengalahkan para
pendahulu. Ini terjadi karena minyak sawit lebih kompetitif ketimbang minyak
pangan lain.
Produktivitas sawit
amat tinggi: 5.830 liter per hektare, jauh melampaui produktivitas minyak
kedelai (446 liter/hektare), kanola (1073), dan bunga matahari (952). Dengan
produktivitas 5-13 kali lebih besar daripada minyak pangan lain, Indonesia,
Malaysia, dan dua jawara minyak sawit dunia kini telah menguasai pasar minyak
pangan di dunia.
Sejatinya, amendemen UU 367, Renewable Fuel
Standards, Renewable Energy Directive, dan Food Standards Amendment Truth in Labeling-Palm Oil Bill 2010
tak lebih daripada taktik dagang. Sebab, dasar dan metode perhitungan
ditentukan sepihak. Alasan emisi dan kesehatan tidak lebih dari nontarrif
barier karena syarat-syarat serupa tak berlaku bagi minyak pangan kompetitor
sawit.
Taktik dagang juga
diberlakukan lewat standar ketat dan sertifikasi, salah satunya RSPO (roundtable on sustainable palm oil). Sertifikasi
tidak mengindahkan produsen. Tak mengherankan muncul gugatan serius, produk
apa yang harus disertifikasi dan siapa yang menyusun sertifikasi (Cabarle and
Freitas, 2007). Kini sertifikasi menjadi ladang bisnis menggiurkan. Pelakunya
lembaga-lembaga asing dari negara maju. Di Inggris saja setidaknya ada 600
jenis sertifikasi, yang sebagian besar diinisiasi korporasi, bukan negara.
Bagi Pehnet dan Vietze
(2009), Renewable Energy Directive ialah kebijakan industri, bukan kebijakan
lingkungan. Ini kamuflase proteksionisme berkedok lingkungan. Aturan-aturan
seperti itu menabrak prinsip Pasal I, III dan XI WTO karena telah
mendiskriminasi sebuah produk. Indonesia harus mengadukan diskriminasi dan
praktik dagang tidak adil itu ke WTO.
Langkah berikutnya,
seperti diatur dalam Pasal 67 UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan,
Indonesia bisa menjajaki langkah retaliasi perdagangan terhadap seluruh
barang/jasa impor dari Prancis. Selama ini Prancis mengekspor produk pangan,
kimia, produk elektronika, peralatan militer/radar, dan pesawat terbang ke
Indonesia. Pelbagai produk ini bisa dikenai tarif impor tinggi sebagai
balasan.
Indonesia bisa
menggunakan isu emisi karbon implisit (embodied emission GHG) sebagai alasan
retaliasi. Emisi karbon per kapita rakyat Prancis mencapai 5,1 kg CO2 atau
hampir lima kali lebih tinggi daripada Indonesia (1,76 kg CO2). Seharusnya
minyak nabati produksi Uni Eropa, termasuk Prancis, yang harus dikenai pajak
lingkungan, bukan minyak sawit (Sipayung, 2016).
Berikutnya, memperkuat
diplomasi sawit. Dengan difasilitasi pemerintah, semua pihak yang terkait
industri sawit harus bersatu padu mengusung satu agenda: sawit bukan perusak
lingkungan. Diplomasi sawit mestinya bisa lebih kuat, solid, dan terukur
setelah tahun lalu pemerintah membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan
Kelapa Sawit (BPDP Sawit). Selama 4
bulan saja, tahun lalu terkumpul dana dari pungutan ekspor CPO sebesar Rp4
triliun. Selain untuk subsidi biofuel, replanting, dan riset-riset di sektor
kelapa sawit, dana harus dimanfaatkan untuk memperkuat diplomasi dan branding
sawit.
Saat ini Indonesia
ialah produsen minyak sawit terbesar dunia dengan luas lahan 13 juta hektare,
meninggalkan Malaysia. Kebun-kebun sawit tak hanya dimiliki korporasi besar,
tapi juga petani kecil yang jumlahnya mencapai lebih 2 juta. Industri sawit
Indonesia menyerap 16 juta tenaga kerja dan menghasilkan devisa US$19 miliar
per tahun. Jika ulah Prancis berhasil dan menular ke negara-negara lain di
Uni Eropa, pasar minyak sawit Indonesia akan terganggu meskipun Prancis bukan
importir utama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar