Menyoal Moralitas Pejabat Publik
Adi Prayitno ; Dosen
Politik FISIP UIN Jakarta;
Peneliti The Political Literacy
Institute
|
MEDIA INDONESIA,
16 Maret 2016
BUPATI Ogan Ilir, Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi,
mendadak jadi sorotan publik. Bukan karena prestasinya sebagai kepala daerah,
melainkan karena kasus narkoba yang membelitnya. Badan Narkotika Nasional
membekuk pria berusia 27 tahun itu saat mengonsumsi narkoba di rumah
pribadinya, Minggu (13/3).Tindakan itu tidak hanya menimbulkan rasa prihatin,
tetapi juga telah memunculkan ironi yang memiriskan hati.
Kasus narkoba yang menjerat kepala daerah
dengan kekayaan Rp 20 miliar itu tentu sangat melukai perasaan publik.
Sebelumnya anggota dewan dari Fraksi PPP, Fanny Safriansyah, akrab disapa
Ivan Haz, juga tersangkut oleh kasus serupa sekaligus penganiayaan terhadap
pembantu rumah tangganya.
Sebagai pejabat publik, sejatinya Ahmad Wazir
dan Ivan Haz menjadi anutan yang layak ditiru, bukan malah mempertontonkan
perilaku tak beradab. Apalagi, keduanya merupakan politikus muda yang banyak
diidolakan khalayak ramai. Dalam konteks apa pun, narkoba dan tindakan
kekerasan merupakan kejahatan moral yang meluluhlantakkan akal sehat.
Tentu saja, kasus ini kian menambah rentetan
panjang potret buram perilaku naif pejabat publik. Dalam definisinya yang
paling sederhana, pejabat publik merupakan elite politik yang berbeda dari
warga negara biasa.Ia merupakan `manusia pilihan' dalam sebuah sistem
demokrasi elektoral. Sebab itu, pejabat publik merupakan representasi dari
rakyat.
Posisinya yang strategis seharusnya membuat pejabat publik tetap
bertindak profesional dengan terus menjaga muruah dan moralitas dalam
keseharian perilaku politiknya.
Kasus amoral yang mendera Ahmad Wazir dan Ivan
Haz memunculkan sejumlah ironi. Pertama, optimisme tentang hadirnya pejabat
publik yang arif dan bijaksana kian terkubur. Dalam banyak hal, politik
sesungguhnya banyak bersentuhan dengan etika dan moralitas. Karena itu,
ketika terjadi kasus narkoba yang menjerat keduanya ini, masalah pertama yang
mencuat ke permukaan ialah persoalan moralitas seorang pejabat negara.
Kedua, penyalahgunaan narkoba yang dilakukan
Ahmad Wazir dan Ivan Haz tak hanya patut disesalkan, lebih dari itu telah
menohok rasa kepatutan. Perilaku negatif seorang pejabat publik tentu menjadi
preseden buruk dalam kehidupan politik yang kian mapan. Oleh karena pejabat
publik merupakan teladan, segala hal yang terkait dengan tingkah polah
pribadinya tentu berada dalam pengawasan publik.
Ketiga, ulah memalukan Ahmad Wazir bukan hanya
mencoreng nama baik keluarga besarnya, melainkan juga telah mencabik suasa
batin partai pendukungnya, yakni PDIP, Golkar, Hanura, dan PKS.Sementara itu,
Ivan Haz hanya makin menambah aib PPP.
Moral politik
Secara alamiah, pejabat publik yang abai
terhadap persoalan moralitas martabatnya akan runtuh dengan sendirinya.
Menjadi pejabat publik bukan semata soal kapasitas dan kecakapan dalam
berpolitik, melainkan juga menyangkut sikap rendah hati dan kebersahajaan
dalam segala tindakan. Menghindari sikap arogan serta kemampuan menahan diri
menjadi bagian penting dari moral politik seorang pemimpin publik.
Dennis F Thompson dalam karya klasiknya, Political Ethics and Public Office
(1987), menekankan pentingnya aspek moral sebagai sesuatu yang inheren dalam
politik. Dalam jabatan yang dimiliki seseorang, secara otomatis terkandung
tanggung jawab moral untuk berbuat sesuai kepantasan dan kepentingan umum.
Tanpa panduan moral, kecenderungan berperilaku
menyimpang pejabat publik cukup besar akibat kekuasaan yang dimiliki. Dalam
konteks inilah, penting untuk memperkuat pengadilan etik sebagai upaya
mencegah tindakan amoral lainnya. Saat ini, eksistensi Mahkamah Kehormatan
Dewan (MKD) cukup efektif mengantisipasi tindakan menyimpang anggota
parlemen. Begitu pun dengan lembaga negara lainnya harus memiliki peradilan
etik serupa sebagai kontrol terhadap aparaturnya untuk menghindari
pelanggaran moral.
Sejak dulu kala, di Yunani kuno, ada kehendak
bahwa seorang pemimpin publik harus lahir dari kalangan filsuf untuk
menciptakan keadilan dan mencegah penyimpangan. Hanya filsuflah yang diyakini
memiliki jiwa hanif, mencintai kebenaran, dan kebijaksanaan yang diikuti
sifat lainnya sepeti jujur, sederhana, mengayomi, dan mampu mengendalikan
diri.
Tidak bisa dimungkiri, akibat ulah pejabat
publik seperti Ahmad Wazir dan Ivan Haz bangsa ini terjebak dalam situasi
sulit tanpa jalan keluar. Sebuah situasi tanpa kejelasan, penuh kegamangan,
dan penuh ketidaknyamanan. Inilah tragedi kemerosotan moral yang paling
memalukan akibat perilaku amoral pejabat publik. Nilai-nilai agama dan
moralitas yang seharusnya jadi sumber acuan dalam setiap perilaku politik
diacuhkan.
Oleh karena itu, penting untuk membangun
kesadaran moral politik bagi setiap pejabat publik.Pertama, sebagai sarana
formal rekrutmen elite, partai politik harus memiliki code of conduct bagi setiap calon pemimpinnya. Tentu, elite
politik yang direkrut memiliki sensitivitas moral dalam berperilaku. Kedua,
harus ada pengadilan etik yang bisa memberikan efek jera. Pengadilan etik itu
harus didesain lebih menakutkan ketimbang pengadilan umum karena berujung
legitimasi dan distrust rakyat.
Upaya semacam itu bukan semata untuk menghukum
mereka yang bersalah, melainkan sebagai langkah preventif supaya lembaga
negara seperti DPR, pemerintahan, dan pejabat daerah memiliki kredibilitas di
mata publik. Dengan adanya peradilan etik yang lebih kuat, pelanggaran serupa
tidak akan terulang di masa mendatang. Demi memelihara rasa hormat rakyat
terhadap pejabat publik, perilaku imoral harus dihentikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar