Kenapa Takut Lapor LHKPN?
Wiwin Suwandi ; Anggota
Badan Pekerja ACC Sulawesi;
Alumnus Pascasarjana Universitas
Hasanuddin
|
MEDIA INDONESIA,
15 Maret 2016
SEBAGAIMANA dimuat
harian Media Indonesia (10/3) dengan judul 'Banyak Anggota DPR belum Lapor
Harta Kekayaan', sekitar 60% anggota DPR disebutkan belum melaporkan harta
kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah pejabat negara
atau penyelenggara lain pun juga belum melapor harta kekayaannya. Alasan
klasiknya yang selalu diulangi, "Laporan LHKPN bukan kewajiban
penyelenggara negara." Betulkah demikian? Mari kita simak bunyi pasal
yang mewajibkan penyelenggara negara melaporkan harta kekayaannya.
Aturan hukum yang
mengikat penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaannya dapat
dilacak dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari KKN dan UU No 30/2002 tentang KPK. Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU
itu mewajibkan penyelenggara negara untuk 'bersedia diperiksa kekayaannya
sebelum, selama, dan setelah menjabat' serta 'melaporkan dan mengumumkan
kekayaan sebelum dan setelah menjabat'. Sayangnya UU No 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD luput memasukkan hal itu sebagai bagian dari
kewajiban yang mesti melekat pada anggota DPR.
Kedua UU itu
memberikan kewenangan dan kewajiban kepada KPKPN untuk memverifikasi harta
kekayaan penyelenggara negara tersebut.
Setelah KPKPN bubar,
kewenangan itu diberikan kepada KPK. Pasal 13 huruf (a) UU KPK menyebut KPK
berwenang 'melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta
kekayaan penyelenggara negara'.
Kewenangan itu
mengikat dan wajib dilaksanakan KPK. Demikian pula mengikat dan wajib
dipatuhi penyelenggara negara. Anggota DPR ialah subjek penyelenggara negara
yang wajib melaporkan harta kekayaannya dalam UU itu.
Alat uji
Pengaturan terkait
dengan kewajiban penyelenggara negara agar melaporkan harta kekayaan sebelum,
selama, dan setelah menjabat dalam UU itu tidak hanya sebagai seruan moral
dan kewajiban hukum, tapi mesti dilihat sebagai 'alat uji' dan upaya proteksi
dari laku menyimpang dewan. Dengan berpijak dari diktum Lord Acton jika
kekuasaan cenderung korup, laporan harta kekayaan penyelenggara negara
(LHKPN) menjadi alat uji untuk menilai harta kekayaan dewan secara sah atau
tidak.
Melalui LHKPN, negara
menilai apakah harta kekayaan yang dimiliki itu diperoleh secara wajar, sah
atau tidak. Tidak menjadi persoalan jika wajar/sah. Menjadi persoalan dan
dapat menimbulkan risiko hukum jika harta kekayaan itu diperoleh secara tidak
wajar, salah satunya korupsi, sehingga patut diduga, jika anggota dewan tidak
melaporkan harta kekayaannya, harta itu diperoleh secara tidak wajar.
Sejumlah kasus korupsi
di KPK yang melibatkan anggota DPR merupakan sinyalemen jika besarnya kuasa
dewan yang dibungkus dalam tiga fungsi dewan; legislasi, anggaran, dan
pengawasan, rawan disalahgunakan. Paling rawan di sektor anggaran. Kasus
tangkap tangan KPK terhadap Dewi Yasin Limpo dan Damayanti, serta anggota DPR
lain sebelum mereka, menjadi bukti penyalahgunaan fungsi anggaran itu. Suap
dan gratifikasi sebagai delik tipikor dalam UU Tipikor akhirnya menjerat
keduanya.
LHKPN menjadi sarana
bagi masyarakat untuk menilai sah-tidaknya harta anggota dewan itu. Pasal 9
ayat (1) huruf (a) UU No 29/1999 menjamin hak masyarakat untuk 'mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggara negara'. Hak untuk
mencari dan memperoleh ini salah satunya terkait dengan harta kekayaan
anggota dewan. Lahirnya hak dalam UU itu berpijak pada dua alas pikir; pertama,
DPR merupakan wadah untuk memperjuangkan aspirasi dan hak-hak dasar rakyat
secara konstitusional.
Kedua, dalam rezim
pemilu langsung, rakyat--sebagai konstituen--berhak mengetahui segala sesuatu
tentang legislator yang mewakili mereka, termasuk mengetahui sumber harta
kekayaannya. Apakah legislator itu tulus memperjuangkan hak-hak
konstituennya, atau hanya memperjuangkan kepentingan pribadinya, salah
satunya dengan cara memperkaya diri secara tidak sah (korupsi). LHKPN
merupakan salah satu instrumen yang digunakan rakyat untuk menilai harta
kekayaan legislator, apakah diperoleh secara wajar, sah atau tidak. Rakyat
berhak tahu.
Kewajiban hukum
Dengan demikian, sudah
jelas dan terang bahwa melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum, selama,
dan setelah menjabat merupakan 'kewajiban hukum' yang harus dilaksanakan
seluruh penyelenggara negara, termasuk DPR. Itu tidak saja merupakan
kewajiban dan kebajikan moral yang hanya bisa dipertanggungjawabkan secara
moral-etis, tetapi juga menjadi kewajiban hukum yang mengikat secara hukum. Akibat
dari tidak melaksanakan kewajiban itu ialah adanya sanksi yang akan
diberikan.
Persoalannya ialah UU
No 28/1999 dan UU KPK No 30/2002 tidak tegas mengatur sanksi bagi
penyelenggara negara yang tidak melaporkan harta kekayaannya. Pasal 20 UU No
28/1999 hanya mengatur sanksi administratif, tapi tidak disebutkan secara
rinci bagaimana rupa dan bentuk sanksi administratif itu. Ibarat 'penetrasi
tanpa klimaks', mengatur kewajiban, tapi tidak tegas mengatur sanksi terhadap
kewajiban yang dilanggar itu. Akibatnya, penyelenggara negara bersikap
ogah-ogahan melaporkan harta kekayaan mereka.
Meski demikian, upaya
hukum bisa ditempuh terhadap penyelenggara negara yang tidak melaporkan harta
kekayaan. Salah satunya dengan menerapkan pasal 'pembuktian terbalik' atau
'pembalikan beban pembuktian (omkering
van het bewijslast atau reversal
burden of proof) (Y Harahap; 2010).
Pembuktian terbalik
dalam kasus tipikor diatur dalam Pasal 37 UU No 31/1999. Dalam pasal itu
disebutkan bahwa terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan. Jika terdakwa tidak dapat membuktikan perihal kekayaan yang
tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya,
keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah
ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
LHKPN menjadi bukti
awal yang dipegang KPK untuk menyelisik kewajaran harta kekayaan yang
dimiliki penyelenggara negara. Jika temuan dalam LHKPN itu merujuk pada harta
tidak sah, KPK bisa menjadikan itu sebagai alat bukti untuk mengusut delik
korupsinya.
Cara itu juga dipakai
terhadap mereka yang tidak melaporkan harta kekayaannya.
LHKPN seyogianya tidak
hanya menjadi 'alat ukur kepatuhan' penyelenggara negara yang melaporkan
harta kekayaannya, tapi juga menjadi pintu masuk untuk mengusut kasus korupsi
di balik ketidakwajaran harta yang dilaporkan itu. Cara itu bisa menjadi
peringatan bagi penyelenggara negara untuk patuh dan aktif melaporkan harta
kekayaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar