Menanti Gebrakan Hilmar Farid
Aris Setiawan ; Etnomusikolog; Pengajar Institut Seni
Indonesia Surakarta
|
KORAN
TEMPO, 15 Januari 2016
Di ujung 2015,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melantik Direktur Jenderal
Kebudayaan baru, Hilmar Farid. Pengangkatan Hilmar mengubah tradisi yang
selama ini dipegang oleh Kementerian, karena Hilmar adalah pejabat eselon
satu pertama yang berlatar belakang non-pegawai negeri.
Hilmar dikenal sebagai
sejarawan dan Ketua Perkumpulan Praxis sejak 2012. Dia adalah sejarawan yang
meraih gelar doktor bidang studi kebudayaan dari National University of
Singapore. Keterlibatannya dalam bidang kebudayaan tak diragukan lagi.
Meskipun dia dipilih
sebagai Dirjen Kebudayaan melalui proses lelang jabatan, kita ingat bahwa
Hilmar punya sumbangan besar bagi pemenangan Joko Widodo sebagai presiden.
Pada masa pemilihan presiden, dia adalah Ketua Panitia Simposium Sekretariat
Nasional Jokowi. Jauh sebelumnya, saat Jokowi maju menjadi calon Gubernur DKI
Jakarta, Hilmar juga mendirikan Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB) untuk
pemenangan Jokowi.
Tapi proses lelang
jabatan itu terkesan bertele-tele. Posisi ini lowong sejak Mei 2015. Banyak
peserta yang mendaftar, namun berbulan-bulan tak ada kepastian siapa yang terpilih.
Lamanya proses seleksi ini menimbulkan asumsi publik bahwa jabatan tersebut
dianggap tidak penting. Di saat lembaga di bawah kementerian lain sedang
sibuk mengaplikasikan visi-misi Presiden Jokowi dengan semboyan
"kerja-kerja-kerja", kinerja kementerian di bidang kebudayaan
justru tak berjalan maksimal karena lamanya proses lelang.
Kini Hilmar menjadi
sosok yang terpilih dan diharapkan memecah kebuntuan. Di balik gunjingan
balas jasa dari penguasa, kita sepatutnya berharap banyak dari gebrakan-gebrakan
yang dapat ditorehkannya. Hal ini menjadi penting, mengingat selama ini kita
belum sepenuhnya melihat hasil kerja nyata dari Dirjen Kebudayaan yang
langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Padahal, hingga detik ini masih
banyak konflik horizontal berbau suku, ras, agama, dan golongan terjadi di
negeri ini. Idealnya, dalam konteks tersebut, lembaga negara yang bekerja di
wilayah kebudayaan dapat menunjukkan posisi tawar dan sumbangsihnya.
Perilaku, karakter,
dan cara berpikir positif manusia Indonesia adalah cerminan kebudayaan itu
sendiri. Di Jawa, misalnya, kita dikenalkan dengan istilah tepa selira, mad
sinamadan, andap ansor, adi luhung, tut wuri handayani, yang merupakan ciri
manifestasi kebudayaan yang kini telah luntur atau bahkan hilang. Kita tidak
lagi menjumpai etika dalam berbicara, sopan-santun, toleransi, memahami, dan
menghargai sesama.
Lembaga kebudayaan
idealnya dapat bekerja di wilayah itu: memantik obor kebudayaan yang selama
ini beranjak padam. Dia tidak melulu melakukan upaya konservasi kesenian
dengan menggelar pentas-pentas seni, pameran atau mendata kekayaan budaya
berbentuk fisik dengan mengirim para pamong budaya ke daerah-daerah.
Dalam konteks musik,
misalnya, pada akhir 2015 kita dihadapkan bahwa toko kaset musik (compact
disk) terbesar dan satu-satunya di Indonesia, Disc Tarra, menutup 40
gerainya. Kini hanya tinggal enam gerai, dan ironisnya semua berlokasi di Ibu
Kota. Sementara toko kaset musik lain, sebutlah Aquarius, telah terlebih dulu
gulung tikar.
Maka, untuk mencari kaset
musik resmi atau legal saja kini semakin sulit. Hal ini justru akan mendorong
pembajakan musik berlangsung secara besar-besaran. Dirjen Kebudayaan dapat
berperan besar dalam mengatasi persoalan tersebut. Meniru kinerja Apple yang
memunculkan iTunes dan Google dengan Google Play, pemerintah dapat
menyediakan portal resmi, semacam etalase musik Indonesia dengan kapasitas
gigantik, untuk diunduh secara legal dengan harga terjangkau dan kualitas
unggul. Royalti dibayarkan kepada musikus dan pemerintah bisa menarik pajak
berdasar kalkulasi keuntungan hasil penjualan. Apakah Hilmar dapat melakukan
gebrakan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar