Apatisme Bangsa Kita
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
18 Januari 2016
Mungkin baik jika lain
kali pada liburan akhir atau awal tahun Anda mengunjungi Kota Tangerang
Selatan. Pusat kotanya, tempat kantor wali kota, kepolisian resor, hingga
universitas dengan mahasiswa terbanyak berada, memiliki unikum tiada duanya.
Di pusat salah satu
kota ber-APBD tertinggi di Indonesia itu, bukan jalan mulus, taman nyaman,
arsitektur indah, atau pesona tradisi seperti yang ditawarkan banyak daerah
lain, melainkan justru medan off road yang menantang, lengkap dengan ancaman
bahaya yang sudah memakan korban. Berbulan-bulan jalan-jalan utama pusat kota
tersebut dihiasi kekacauan pembangunan infrastruktur (listrik, telepon,
gorong-gorong, hingga perbaikan jalan) yang terlalu lamban prosesnya, kacau,
bahkan cenderung khaotik manajemennya. Mengakibatkan kerugian besar, bahkan
sebagian membuat para pengusaha usaha kecil menengah (UKM) di seputar
kekacauan itu bangkrut.
Sebuah bengkel milik
pengusaha muda sampai menulis poster besar dengan ungkapan getir dan protes
tertahan: ”Biar Beton Menghadang, Kami Tetap Buka”. Namun, tetap saja
kerugian besar pemasukan harian terus terjadi karena pelanggan terhalang
beton jalanan yang meninggi hingga 30-an sentimeter.
Syukurlah,
pemerintahan petahana—entah dengan skor berapa atau cara apa—berhasil
mempertahankan kekuasaannya dalam pilkada beberapa waktu lalu. Hasil itu kian
memperkuat unikum kota yang sewindu pun belum usianya ini. Realitas aktual
yang nyata buruk dan mengganggu aktivitas dan kepentingan warga setempat itu
ternyata tidak memengaruhi elektabilitas dari pemimpinnya. Sebagaimana mereka
pun tidak peduli atau mempertimbangkan realitas keluarga sang wali kota yang
jadi terpidana korupsi tingkat tinggi. Rakyat tidak peduli.
Hal terakhir di atas
mungkin bisa menjadi representasi dari fenomena mutakhir akan
ketidakpedulian, yang dalam jenis atau tingkat tertentu bisa jadi semacam
apatisme (rakyat) pada masalah sosial kita yang kian berat dan rumit. Situasi
atau gejala ini menengarai beberapa fakta dan gejala sosial lain, seperti
semakin kuatnya egoisme—dalam pengertian sikap individualistis—dalam diri
(bangsa) kita.
Tentu saja realitas
psikologis bangsa, terutama di wilayah urban yang sudah diisi lebih dari separuh
populasi negeri, itu jadi alarm kuat luntur atau lenyapnya salah satu sifat
utama (dan luhur) bangsa Indonesia yang diakui atau diaku-aku, yakni gotong
royong, suatu cara hidup di mana etos persaudaraan, kebersamaan, atau
kesetaraan antarmanusia termaktub di dalamnya. Ini juga indikasi bagi
ketakberdayaan, frustrasi, putus asa, disorientasi, semua bahan ramuan yang
menghasilkan adonan apatisme (sosial) bangsa kita.
Apa yang getir dan
cukup mencemaskan adalah bahwa apatisme itu juga terjadi pada perihal-perihal
yang sangat vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Banyak
contohnya: mulai dari kongkalikong politik dalam kasus ketua DPR, konspirasi
bisnis-politik dalam berbagai kontrak dengan perusahaan besar asing, politik
uang yang tetap efektif memuluskan para koruptor dan penjahat politik
mendapatkan kekuasaan, penegakan hukum yang sangat lemah dan tebang-pilih,
ketakhadiran negara dalam berbagai kasus yang mengorbankan rakyat kecil,
hingga pembiaran oleh aparat keamanan terhadap ulah sekelompok masyarakat
yang mengacaukan bahkan mengancam ekspresi seni dan budaya.
Untuk yang disebut
terakhir, hal itu dialami Federasi Teater Indonesia yang mendapat ancaman dan
gangguan keras dalam acara Anugerah Kebudayaan yang diselenggarakannya akhir
Desember 2015. Polisi dan petugas militer setempat bukannya melindungi kerja
kebudayaannya, melainkan justru ”mengancam” dengan meminta pembatalan dengan
logika absurd: ”tidak menjamin keamanannya”. Lebih jauh, pihak keamanan
melakukan pembiaran tindakan destruktif kelompok tersebut, bahkan sepertinya
memfasilitasi ketika secara samar pihak pengganggu memasuki ruang acara,
ruang yang selama ini steril dari kepentingan non-artistik.
Negara ternyata hadir
bukan untuk melindungi dan mengamankan kerja kebudayaan rakyatnya. Negara
malah menyabotase rakyat yang memberinya amanah dan kepercayaan. Mau apa
negara? Untuk apa negara? Mendestruksi rakyatnya sendiri dengan fasilitas dan
gaji yang didapat dari rakyat yang sama?
Kemampatan sistemik
Secara psikologis,
kondisi atau état yang apatik ini berpeluang menciptakan sikap yang lebih
patetik di tingkat yang fatalistik. Ketakpedulian atau ”masa bodoh” massal
ini dapat berakhir pada sikap yang fatal dengan, misalnya, hanya mengakui
kebenaran kelompok (dirinya) sendiri. Sebuah fatalisme yang segera akan
diiringi tindakan ekstrem atau anarkistis sebagai destruksi sosial (personal
juga, tentu saja) yang menghasilkan kehancuran dasar kebersamaan, komunalitas
hingga apa yang disebut kebangsaan (nasionalisme, dalam istilah lebih sempit).
Betapa menggiriskan
jika ternyata bangsa ini akan hancur justru lebih disebabkan oleh
faktor-faktor negatif dan destruktif dari dalam dirinya sendiri ketimbang
faktor-faktor eksternal yang selama ini kita khawatirkan. Dan, menjadi satu
tragedi ketika kegirisan yang terjadi itu justru tak disadari atau tidak
dipahami oleh manusia/bangsa itu sendiri. Kita tidak mengerti kenapa kita
sampai pada gejala dan kecenderungan seperti itu.
Ada beberapa
penjelasan untuk masalah di akhir paragraf di atas. Misalnya, kondisi
kesadaran kita yang tertutup atau terpenjara oleh kebutuhan syahwat biologis
atau nafsu libidal mengejar tanpa letih, dengan apa pun cara, pemasukan
material untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Atau kesadaran kita
termanipulasi atau terkooptasi pikiran-pikiran artifisial yang dibuat dan
diinternalisasi justru untuk mengafirmasi kebutuhan-kebutuhan ber-”lebih”
itu. Atau, pelbagai alasan idealistis/akademis lainnya.
Namun, secara praktis,
kondisi buruk dan busuk kita di atas lebih diakibatkan oleh praksis atau
implementasi sistem hukum, ekonomi, dan politik kita yang terbukti mampat
dalam menyalurkan aspirasi, kepentingan, dan tuntutan mutakhir dan nyata dari
konstituen atau rakyat negeri ini. Saluran-saluran yang tersedia, dalam ketiga
sistem itu, kalaupun ada, jika tidak sangat sempit lubangnya, sangat kecil
pula peluangnya untuk terakomodasi. Protes, demo, kritik-kritik media massa,
berbagai petisi, hingga laporan institusional lewat lembaga-lembaga negara
(seperti Ombudsman, KPK, PPATK), atau swasta macam banyak LSM tidaklah
efektif karena daya tawar dan daya tekannya lemah. Apalagi, banyak manuver
para penjahat dan pengkhianat bangsa yang justru ingin mengerdilkan
lembaga-lembaga dan saluran-saluran di atas.
Inilah realitas hidup
berbangsa dan bernegara kita. Sistem ada bukan untuk merealisasikan tujuan
luhur dan mulianya, menempatkan rakyat sebagai ”tuan” dan pemilik kedaulatan,
menyelenggarakan kesejahteraan mereka atau jadi pembela utama dari rakyat dan
ibu pertiwinya. Namun, justru menjadi jebakan maut yang menjerumuskan rakyat,
menjadi argumen palsu dan alibi bagi pencoleng dan perampok negara, hingga
menelikung wewenang pejabat publik yang berintegritas dan berkomitmen. Hal
terakhir terlihat pada banyaknya pejabat yang terpuji, karakter dan
prestasinya, didakwa oleh kesalahan-kesalahan kecil yang dicari-cari,
sementara gajah kesalahan pejabat-penjahat di depan mata dibiarkan.
Hijrah spiritual
Kemampatan sistemik
inilah yang antara lain membuat rakyat secara umum putus asa, marah secara
terpendam, hingga akhirnya memunculkan frustrasi dan sikap tidak peduli,
apatis. Semua itu, sekali lagi, diperkuat oleh cara berpikir dan cara hidup
artifisial-manipulatif di atas, yang memaksa mereka menerima sistem itu
secara given, bahkan menganggap hal given yang cilaka itu, justru menjadi
sumber kebanggaan nasional.
Apa yang dapat kita
perbuat dari jebakan maut peradaban jumud seperti itu? Apakah kita harus
menolak semua sistem itu? Maaf, tidak bisa, Saudaraku. Bukan karena kita
tidak mampu, atau tidak mau, tapi memang secara internal kita ternyata sudah
tidak lagi memiliki software atau
perangkat lunak yang mampu memproses penolakan atau penentangan itu. Seperti
saya tegaskan sebelumnya, semua kita terima given, dalam arti tidak hanya
intelektual, mental, bahkan spiritual.
Perubahan yang mungkin
terjadi secara praktis (nyata) tidak lagi mungkin terjadi secara intelektual.
Karena akal sehat ternyata sama sekali tidak ampuh mengubah perilaku siapa
pun. Pelanggar lalu lintas hingga Setya Novanto cs sangatlah paham, dengan
kecerdasan kurikulum pendidikan nasional yang dijalaninya, bahwa apa yang ia
lakukan salah, dosa, dan menciptakan destruksi publik. Tapi, apa yang
terjadi? Mereka tetap melakukannya. Santai, tegas, lengkap dengan manipulasi
sikap (tubuh, mimik, dan pikiran) yang seakan innocence.
Maka, kata-kata
langsung, apalagi bergaya (simbolik, literer), atau retorika canggih tidak
mempan. Begitu pun terapi mental/psikologis yang sering dilakukan para ustaz,
pendeta atau kaum rohaniwan umumnya, hingga guru konseling, pelbagai lembaga
terapi, ritus-ritus spiritual-formal, para penyuluh atau para motivator—yang
seluruhnya berkait dengan gerakan mental—tidak memperlihatkan hasil
positif-signifikan dalam mengubah perilaku jemaat, anggota, atau para
peserta, baik yang gratisan maupun membayar.
Apa yang masih mungkin
dilakukan tinggal pada tingkat spiritual, tingkat kebatinan, muara dari mana
kita mendapat acuan hingga keyakinan tentang apa yang bisa, boleh, dan benar
kita lakukan. Perubahan itu, terserah mau radikal, revolusi atau evolusioner,
harus terjadi di tingkat spiritual, religius (bukan religion). Bagaimana cara? Pindah keyakinan atau pindah agama?
Bukan, tentu saja bukan. Yang kita pindah bukan keyakinan atau agamanya,
melainkan dasar-dasar dari apa yang membuat kita yakin dengan hati kita,
percaya pada agama kita.
Dasar-dasar itu harus
diganti atau dipindah, dihijrahkan, dari apa yang dimiliki sekarang
(modern-kontinental, yang manipulatif artifisial) ke kesejatian
(modern-tradisional, yang sejati dan nyata). Hijrah spiritual. Dengan cara,
antara lain, secara berani melucuti—secara perlahan maupun cepat—sistem dan
cara berpikir dan bersikap kita yang dipenuhi oleh ilmu, filosofi, hingga
ideologi kontinental (yang kapitalistis-demokratis-kontinentalistis dalam
hukum). Kemudian dengan kesungguhan, plus keberanian, menengok kembali khazanah
ilmu dan budaya yang terpendam dalam tradisi kita.
Tradisi mana? Tidak
jauh-jauh, tradisi di mana kita atau orangtua kita berasal. Yang Sunda
kembali mengenali Sunda-nya, yang Jawa begitu pula, yang Bugis, Batak,
Flores, atau Melayu pun melakukan hal yang sama. Dapatkanlah dengan hati dan
pikiran jernih terbuka, solusi-solusi terbaik dalam menghadapi persoalan
zaman (mutakhir sekalipun) dalam tradisi-tradisi yang sebagian besar purba
(dalam arti sudah bertahan dan berkembang sejak lama sekali) itu. Ramulah
semua itu, dengan bagian terbaik dari pengetahuan modern-kontinental,
sehingga kita menemukan rumusan baru, bahkan jati diri dan identitas baru.
Sampai akhirnya kita
tahu, sejak dahulu, bangsa-bangsa di Nusantara, bahkan kemudian Indonesia,
sesungguhnya dibentuk, ada, dan mampu bertahan, karena proses pembudayaan
semacam itu. Maka tak ada yang lebih baik, hijrahlah.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar