Sentimentil Kecil di Kegaduhan Besar
Dahlan Iskan ;
Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 11 Januari 2016
Saya tidak bisa tidak sentimentil menerima SMS ini Sabtu
kemarin. Pengirimnya orang di pedalaman Siak, Riau.
Dia mengabarkan, Kota Siak Sri Indrapura, ibu kota Kabupaten
Siak, segera terang benderang. Berlistrik.
Dia ingat ketika saya ke Siak. Berita yang beredar setelah itu,
saya lagi gundah, mengapa kabupaten begini kaya dengan migasnya sering gelap
tanpa listrik. Sangat kontras dengan gegap gempita pembangunan kotanya.
Bupatinya memang luar biasa. Dia bangun jembatan ”golden gate”
yang megah di atas Sungai Siak yang begitu besar. Dia bangun gedung-gedung
dan kota baru.
Dia bangun hutan kota yang terencana baik. Tapi, dia tidak bisa mengatasi
listrik karena tidak punya wewenang untuk mengatasinya. Jadilah ironi yang
sempurna. Gedung-gedung megah yang muram di waktu malam.
Saya diajak pak bupati untuk mendiskusikannya. Lalu, saya tahu,
sebenarnya ada sumber gas. Kecil-kecil. Tidak ekonomis untuk dimanfaatkan
dengan cara lama.
Puluhan tahun sumber gas itu dibiarkan. Saya ajak pak bupati
untuk meninjaunya. Dengan menggunakan mobil dinasnya, tapi saya yang
mengemudikannya. Sulitnya, bupati juga tidak punya wewenang di bidang migas.
Tapi, ironi daerah kaya migas yang gelap harus dipecahkan.
Berbagai terobosan harus dilakukan. Minggu lalu gas-gas kecil itu berhasil
disalurkan ke mesin pembangkit listrik.
Hari-hari ini, kata SMS itu, uji coba untuk menghidupkan
pembangkit dilakukan. Lumayan besar untuk ukuran Siak: 25 mw.
Yang menyenangkan: Gas yang muncul di Siak bisa untuk melistriki
Siak. Saya begitu sentimentil menerima SMS tersebut.
Sama dengan ketika saya menerima SMS dari Bintuni, satu kota di
Papua Barat. Waktu dulu saya ke sana, kota itu sedang gelap. Yang kelihatan
terang justru daerah di seberang laut sana.
Terangnya bukan main. Padahal, daerah seberang laut itu sangat
jauh: 70 km dari Bintuni. Itulah Tangguh. Kaya gas untuk diekspor ke Tiongkok
dan Jepang.
Puluhan tahun penduduk Bintuni melihat cahaya di kejauhan itu
dari kegelapan kotanya. Saya begitu sentimentil ketika menerima SMS bahwa
sebagian terang dari Tangguh tersebut bisa dialirkan ke Bintuni. Dengan cara
yang langka: membangun kabel listrik di bawah laut.
Dari Papua, saya juga menerima SMS yang lain: Minggu lalu Bapak
Presiden Jokowi meresmikan pabrik sagu di Papua Barat yang dibangun
Perhutani.
Itulah pabrik sagu pertama di pulau yang hutan sagunya jutaan
hektare. Sebuah ironi lama yang juga memberikan new hope.
Saya memang masih belum tahu kelanjutan proyek raksasa di
pedalaman Wamena. Sebuah PLTA yang akan bisa melistriki sembilan kabupaten di
pegunungan Papua.
Yang saya dengar, justru mengapa ada dua usulan PLTA yang lain,
yang kini heboh itu.
SMS berikutnya dari Ricky Elson. Minta ketemu. Bersama tim motor
listriknya. Begitu banyak kemajuan yang diperoleh.
Baik untuk pengembangan riset mobil listrik maupun kincir
listrik anginnya. Berbinar-binar saya mendengarkan semangatnya. Mengalahkan
semangat saya.
Sesekali saya sungguh merasa terhibur dengan SMS seperti itu.
Terutama di saat banyaknya berita gaduh yang menjengkelkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar