Paris
Agreement,
Perubahan
Iklim untuk Perubahan Iklim
Dida Gardera ; Alumnus London School of Economics and
Political Science; Penulis Global Environment Outlook ke-6; Pekerja
Lingkungan
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Januari 2016
PERUBAHAN iklim untuk perubahan iklim ialah
ada nya perubahan konstelasi (iklim) politik dalam proses negosiasi dan hasil
yang dicapai pada Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim ke-21 di Paris,
Prancis (COP 21 Paris) yang selesai 12 Desember 2015 lalu. Perubahan di sini
ditandai dengan tidak adanya pembedaan antara negara maju dan berkembang
sebagaimana yang sebelumnya diatur dalam Protokol Kyoto.
Penulis sudah mengungkapkan konteks itu pada
tulisan Dari Bali Menuju Doha yang dimuat 20 November 2012 di Surat Kabar
Media Indonesia. Pada intinya, terjadi perubahan kemajuan ekonomi yang pada
tahun Protokol Kyoto disepakati, yaitu 1997, negara berkembang, misalnya
Tiongkok, berada jauh di bawah negara maju, seperti Amerika Serikat dan
Jepang. Namun, pada 2009 saat terjadinya kegagalan Kopenhagen, posisi
Tiongkok sudah menyamai Jepang dan mendekati Amerika Serikat.
Dalam hal itu, penulis mengusulkan pendekatan
CBDR (common but differentiated
responsibilities) diubah menjadi CRBD (common responsibilities but differentiate). Walaupun negara maju
berdosa dulu, ego negara maju pasti tidak akan mau dilampaui negara
berkembang.Oleh karena itu, dapat diprediksi kesepakatan tidak akan tercapai
pada Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen dan konferensi-konferensi
setelahnya.
Konsepsi CRBD di sini ialah semua negara harus
bertanggung jawab, tetapi berbeda secara proporsional. Konsep itu pada
akhirnya dapat terlihat pada Paris
Agreement, yaitu semua negara memiliki kesamaan tanggung jawab
masing-masing dalam bentuk INDC (intended
nationally determined contributions). Pembedaan yang bersifat
proporsional sesuai dengan kapasitas negara masing-masing terdapat pada
target penurunan emisi tiap-tiap negara dan harapan inisiatif yang dilakukan
terlebih dahulu oleh negara maju, terutama untuk konteks pendanaan dan
transfer teknologi.
Secara implisit, kunci Paris Agreement INDC telah diungkap Jeffrey Sachs dan rekan dalam
tulisannya yang berjudul From Good
Intention to Deep Decarbonization. Dalam tulisan itu, posisi negara maju
dan berkembang, terutama dua besar, yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok, sudah
diberi gestur memiliki kesamaan tanggung jawab. Opini itu diperkuat Jeffrey
Frankel, Profesor dari Universitas Harvard, dalam tulisan A Fair, Efficient, and Feasible Climate
Agreement yang melihat keadilan dan efisiensi dalam kesepakatan bahwa
INDC tiap-tiap negara ialah sebagai acuan utama. Peluang besar tercapainya
penurunan Emisi GRK ialah kesepakatan mengenai isu transparansi dan jaringan
internasional.
Paris Agreement dapat disikapi dengan
nada yang cenderung pesimistis sebagaimana yang diungkapkan Bjorn Lomborg,
Direktur Pusat Kopenhagen Konsensus, melalui tulisannya yang berjudul A Climate Agreement Powered by Hypocrisy.
Lomborg menilai kesepakatan itu sebagai perlambang kemunafikan para pemimpin
negara serta lebih sekadar janji daripada aksi. Begitu pula yang disampaikan
Anne-Marie Slaughter, mantan Direktur Perencanaan Kebijakan Amerika Serikat,
dalam tulisannya yang berjudul The Paris
Approach to Global Governance. Slaughter melihat kesepakatan itu
merupakan kegagalan karena tidak mengikat dan tidak mempunyai mekanisme
pentaatan.
Selain pendapat yang cenderung pesimistis
tersebut, Kofi Annan, mantan Sekjen PBB, melihat Paris Agreement sebagai kemenangan diplomasi yang menunjukkan
komitmen semua negara, terutama negara maju, untuk memerangi perubahan iklim.
Hal ini ditunjukkan, misalnya, dengan adanya kesepakatan pembiayaan
`kehilangan dan kerusakan' (loss and
damage) akibat dampak perubahan iklim. Pandangan ini tertuang dalam
tulisannya yang berjudul The Grassroots
of Climate Change.
Pandangan optimistis lainnya disampaikan pula
dalam tulisan Climate Action After
Paris oleh Jim Yong-kim, Presiden World Bank yang mengatakan hasil ini di
luar ekspektasi dan menyikapinya dengan menyediakan US$29 miliar setiap tahunnya.
Walaupun optimistis, keduanya mengatakan kuncinya ialah adanya transformasi
dari komitmen menjadi aksi, yang diserahkan sepenuhnya pada tiaptiap
individual negara.
Dialektika menarik ini tertuang dalam laman Project Syndicate yang diterbitkan
antara 2-28 Desember 2015. Wacana ini telah memberikan pilihan dalam menatap
kedepan, yaitu berkecenderungan cerah atau buram. Bali Roadmap yang ditelurkan pada 2007 telah menetas menjadi Paris Agreement pada 2015. Untuk
tumbuh dan berkembang, tentu jangan hanya diserahkan kepada negara maju,
melainkan menjadi kewajiban bersama untuk mengantisipasi perubahan iklim. Di
sinilah makna CRBD, yaitu semua negara bertanggung jawab direpresentasikan
dalam INDC, tapi disesuaikan dengan kapasitas tiap-tiap negara.
Dalam konteks perubahan iklim global ini,
iklim politik antarnegara sudah berubah. Meskipun negara maju masih
diharapkan untuk berinisiatif dan memimpin, mereka tidak perlu berekspektasi
berlebih, tapi setiap negara harus mandiri. Walaupun terjadi perubahan iklim
politik, semua negara sudah menyadari perubahan iklim ialah nyata dan semakin
memburuk. Dengan begitu, solidaritas internasional dalam bentuk kerja sama
yang saling menguntungkan sangat potensial untuk diraih. Hal yang terpenting
ialah setiap negara harus melakukan upaya maksimal dalam mengantisipasi
perubahan iklim demi rakyatnya.
Sebagaimana yang disampaikan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia pada beberapa kesempatan, Indonesia
dalam mengantisipasi perubahan iklim sejatinya menerjemahkan secara paripurna
dari konstitusi dan peraturan perudangan-undangan yang sudah ada. Indonesia
dapat memberikan contoh kepada masyarakat internasional seiring dengan
melindungi rakyatnya dari dampak perubahan iklim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar