Rabu, 06 Januari 2016

Paris Agreement, Perubahan Iklim untuk Perubahan Iklim

Paris Agreement,

Perubahan Iklim untuk Perubahan Iklim

  Dida Gardera  ;  Alumnus London School of Economics and Political Science; Penulis Global Environment Outlook ke-6; Pekerja Lingkungan
                                             MEDIA INDONESIA, 05 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERUBAHAN iklim untuk perubahan iklim ialah ada nya perubahan konstelasi (iklim) politik dalam proses negosiasi dan hasil yang dicapai pada Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim ke-21 di Paris, Prancis (COP 21 Paris) yang selesai 12 Desember 2015 lalu. Perubahan di sini ditandai dengan tidak adanya pembedaan antara negara maju dan berkembang sebagaimana yang sebelumnya diatur dalam Protokol Kyoto.

Penulis sudah mengungkapkan konteks itu pada tulisan Dari Bali Menuju Doha yang dimuat 20 November 2012 di Surat Kabar Media Indonesia. Pada intinya, terjadi perubahan kemajuan ekonomi yang pada tahun Protokol Kyoto disepakati, yaitu 1997, negara berkembang, misalnya Tiongkok, berada jauh di bawah negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang. Namun, pada 2009 saat terjadinya kegagalan Kopenhagen, posisi Tiongkok sudah menyamai Jepang dan mendekati Amerika Serikat.

Dalam hal itu, penulis mengusulkan pendekatan CBDR (common but differentiated responsibilities) diubah menjadi CRBD (common responsibilities but differentiate). Walaupun negara maju berdosa dulu, ego negara maju pasti tidak akan mau dilampaui negara berkembang.Oleh karena itu, dapat diprediksi kesepakatan tidak akan tercapai pada Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen dan konferensi-konferensi setelahnya.

Konsepsi CRBD di sini ialah semua negara harus bertanggung jawab, tetapi berbeda secara proporsional. Konsep itu pada akhirnya dapat terlihat pada Paris Agreement, yaitu semua negara memiliki kesamaan tanggung jawab masing-masing dalam bentuk INDC (intended nationally determined contributions). Pembedaan yang bersifat proporsional sesuai dengan kapasitas negara masing-masing terdapat pada target penurunan emisi tiap-tiap negara dan harapan inisiatif yang dilakukan terlebih dahulu oleh negara maju, terutama untuk konteks pendanaan dan transfer teknologi.

Secara implisit, kunci Paris Agreement INDC telah diungkap Jeffrey Sachs dan rekan dalam tulisannya yang berjudul From Good Intention to Deep Decarbonization. Dalam tulisan itu, posisi negara maju dan berkembang, terutama dua besar, yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok, sudah diberi gestur memiliki kesamaan tanggung jawab. Opini itu diperkuat Jeffrey Frankel, Profesor dari Universitas Harvard, dalam tulisan A Fair, Efficient, and Feasible Climate Agreement yang melihat keadilan dan efisiensi dalam kesepakatan bahwa INDC tiap-tiap negara ialah sebagai acuan utama. Peluang besar tercapainya penurunan Emisi GRK ialah kesepakatan mengenai isu transparansi dan jaringan internasional.

Paris Agreement dapat disikapi dengan nada yang cenderung pesimistis sebagaimana yang diungkapkan Bjorn Lomborg, Direktur Pusat Kopenhagen Konsensus, melalui tulisannya yang berjudul A Climate Agreement Powered by Hypocrisy. Lomborg menilai kesepakatan itu sebagai perlambang kemunafikan para pemimpin negara serta lebih sekadar janji daripada aksi. Begitu pula yang disampaikan Anne-Marie Slaughter, mantan Direktur Perencanaan Kebijakan Amerika Serikat, dalam tulisannya yang berjudul The Paris Approach to Global Governance. Slaughter melihat kesepakatan itu merupakan kegagalan karena tidak mengikat dan tidak mempunyai mekanisme pentaatan.

Selain pendapat yang cenderung pesimistis tersebut, Kofi Annan, mantan Sekjen PBB, melihat Paris Agreement sebagai kemenangan diplomasi yang menunjukkan komitmen semua negara, terutama negara maju, untuk memerangi perubahan iklim. Hal ini ditunjukkan, misalnya, dengan adanya kesepakatan pembiayaan `kehilangan dan kerusakan' (loss and damage) akibat dampak perubahan iklim. Pandangan ini tertuang dalam tulisannya yang berjudul The Grassroots of Climate Change.

Pandangan optimistis lainnya disampaikan pula dalam tulisan Climate Action After Paris oleh Jim Yong-kim, Presiden World Bank yang mengatakan hasil ini di luar ekspektasi dan menyikapinya dengan menyediakan US$29 miliar setiap tahunnya. Walaupun optimistis, keduanya mengatakan kuncinya ialah adanya transformasi dari komitmen menjadi aksi, yang diserahkan sepenuhnya pada tiaptiap individual negara.

Dialektika menarik ini tertuang dalam laman Project Syndicate yang diterbitkan antara 2-28 Desember 2015. Wacana ini telah memberikan pilihan dalam menatap kedepan, yaitu berkecenderungan cerah atau buram. Bali Roadmap yang ditelurkan pada 2007 telah menetas menjadi Paris Agreement pada 2015. Untuk tumbuh dan berkembang, tentu jangan hanya diserahkan kepada negara maju, melainkan menjadi kewajiban bersama untuk mengantisipasi perubahan iklim. Di sinilah makna CRBD, yaitu semua negara bertanggung jawab direpresentasikan dalam INDC, tapi disesuaikan dengan kapasitas tiap-tiap negara.

Dalam konteks perubahan iklim global ini, iklim politik antarnegara sudah berubah. Meskipun negara maju masih diharapkan untuk berinisiatif dan memimpin, mereka tidak perlu berekspektasi berlebih, tapi setiap negara harus mandiri. Walaupun terjadi perubahan iklim politik, semua negara sudah menyadari perubahan iklim ialah nyata dan semakin memburuk. Dengan begitu, solidaritas internasional dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan sangat potensial untuk diraih. Hal yang terpenting ialah setiap negara harus melakukan upaya maksimal dalam mengantisipasi perubahan iklim demi rakyatnya.

Sebagaimana yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia pada beberapa kesempatan, Indonesia dalam mengantisipasi perubahan iklim sejatinya menerjemahkan secara paripurna dari konstitusi dan peraturan perudangan-undangan yang sudah ada. Indonesia dapat memberikan contoh kepada masyarakat internasional seiring dengan melindungi rakyatnya dari dampak perubahan iklim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar