Status Hukum MEA
Handa Abidin ; Ketua Program Studi Hukum Bisnis Podomoro
University;
PhD dari the University of
Edinburgh Law School
|
KORAN
SINDO, 14 Januari 2016
Banyak pihak mengira pada 31 Desember 2015 Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) langsung terimplementasi di ASEAN, termasuk di Indonesia. Apakah benar seperti itu? Saat ini belum ada suatu perjanjian
internasional mengikat secara hukum bagi negara anggota ASEAN yang
menyepakati MEA akan terbentuk pada 31 Desember 2015 atau di tahun 2015.
Artinya apa? Tidak ada kewajiban secara hukum MEA wajib terbentuk atau
berlaku di 31 Desember 2015 atau di tahun 2015. Pada awalnya rencana tahun
terbentuknya MEA adalah pada 2020 (Declaration
of ASEAN Concord II 2003).
Rencana tersebut direvisi menjadi 2015 pada Deklarasi Cebu 2007
dan Deklarasi Cetak Biru MEA 2007 serta dipertegas oleh antara lain Deklarasi
Nay Pyi Taw 2014. Terakhir, pada Chairman’s
Statement of the 27th ASEAN Summit 21 November 2015 disepakati secara
formal MEA terbentuk pada 31 Desember 2015. Penting digarisbawahi deklarasi
dan pernyataan ini tidak mengikat secara hukum pada anggota negara ASEAN.
Dalam ASEAN Charter yang mengikat secara hukum bagi seluruh
negara ASEAN tidak disebutkan tanggal ataupun tahun MEA direncanakan terbentuk.
Namun demikian, pada Pasal 1 ayat 5 ASEAN Charter memang dikatakan tujuan ASEAN
adalah menciptakan pasar tunggal dengan konsep ”free flow” di mana barang,
jasa, investasi, dan modal bergerak bebas di wilayah ASEAN.
Dengan konsep ini, ASEAN Charter mendukung fasilitasi pergerakan
para pengusaha, profesional, dan pekerja. Melalui konsep ini diharapkan oleh
ASEAN Charter akan menciptakan ekonomi ASEAN yang stabil dan makmur.
Terdapatsejumlahaspekpenting yang harus diperhatikan terkait pembentukan dan
pelaksanaan MEA yang status hukumnya masih lemah ini.
Pertama, apakah negara di ASEAN, termasuk Indonesia, secara
sukarela melaksanakan MEA di negaranya masing-masing? Misalnya, apakah
Indonesia secara sukarela membentuk peraturan dan kebijakan pro MEA tanpa
menunggu suatuperjanjianinternasional tertentu terkait MEA? Jika negara besar
seperti Indonesia tidak secara sukarela melakukan poin pertama, MEA akan
terhambat secara signifikan.
Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar dan ekonomi
terbesar di ASEAN. Tanpa Indonesia MEA akan pincang. Bayangkan saja populasi
Indonesia sekitar 252 juta jiwa (PBB, 2015) atau sekitar 38% dari jumlah
populasi ASEAN yang kabarnya sudah mencapai 622 juta jiwa (ASEAN Secretariat,
2015). Kedua, MEA sebetulnya secara langsung dan tidak langsung didukung oleh
perjanjian internasional yang disepakati oleh negara-negara ASEAN.
Misalnya, ASEAN punya perjanjian mengenai bea cukai yang sudah
berlaku secara hukum tahun 2014. ASEAN juga punya perjanjian mengenai
pergerakan orang yang sampai saat ini belum berlaku. Jika negara anggota
ASEAN membuat sejumlah perjanjian yang mendukung konsep MEA pada ASEAN
Charter dan Cetak Biru MEA 2025 maka MEA akan menjadi mengikat secara hukum
melalui perjanjian-perjanjian internasional tersebut.
Alternatifnya, bisa saja negara anggota ASEAN membentuk
perjanjian internasional khusus mengenai MEA. Apabila hal ini akan dilakukan,
perjanjian mengenai MEA harus menjadi suatu perjanjian yang hidup yang
didukung oleh protokol-protokol serta Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/COP) yang
dapat melahirkan petunjuk pelaksanaan dari perjanjian maupun protokol
tersebut.
Konsep ini sudah dilakukan di sejumlah perjanjian multilateral
di bidang lingkungan hidup, misalnya terkait dengan perubahan iklim. Peran
COP akan melengkapi ASEAN Economic
Community Council yang sudah diatur dalam ASEAN Charter. Ketiga , jikapun
poin kedua terwujud, implementasi teknisnya sangat tergantung dari negara
anggota ASEAN. Misalnya, perjanjian internasional mengenai bea cukai tidak
akan terlaksana di lapangan apabila Indonesia tidak membuat peraturan dan
kebijakan pelaksana mengenai perjanjian internasional tersebut.
Tidak Bisa
Menghindar
Ada atau tidaknya MEA, Indonesia tidak mungkin menutup diri dari
arus globalisasi. Globalisasi bukan hal baru dan saat ini semakin kuat karena
didukung teknologi yang semakin murah dan mudah diakses. Apabila Indonesia
tidak siap, Indonesia akan terus dirugikan secara ekonomi oleh globalisasi.
Hanya satu pilihan untuk Indonesia: Indonesia harus siap menghadapi MEA.
Oleh karena itu, meskipunsampaisaat inistatus MEA lemah secara
hukum, bukan berarti Indonesia tidak mempersiapkan diri menghadapi cita-cita
MEA seperti yang tercantum secara implisit di ASEAN Charter dan secara
eksplisitpada CetakBiru MEA2025. Bagaimana dengan kondisi pelaksanaan bisnis
di Indonesia?
Laporan Grup Bank Dunia dengan judul Doing Business 2016: Measuring Regulatory Quality and Efficiency
menempatkan Indonesia pada peringkat ke- 109 dalam hal kemudahan dalam
melakukan bisnis. Sangat jauh sekali dengan Singapura yang menurut laporan
tersebut duduk di peringkat ke-1.
Tercatat dalam laporan tersebut, Indonesia juga kalahdari
Malaysia (ke-18), Thailand (ke-49), Brunei Darussalam (ke-84), Vietnam
(ke-90), Filipina (ke-103) dan hanya unggul dari tiga negara, yaitu Kamboja
(ke-127), Laos (ke-134), serta Myanmar (ke-167). Peringkat Indonesia
diberikan berdasarkan sejumlah komponen di mana Laporan Grup Bank Dunia
tersebut juga memberikan peringkat secara spesifik terhadap komponen
tersebut.
Menurut laporan tersebut untuk memulai bisnis pertama kali,
Indonesia duduk di peringkat ke- 173, untuk perizinan konstruksi peringkat
ke-107, mendapatkan listrik peringkat ke-46, pendaftaran properti peringkat
ke-131, mendapatkan kredit peringkat ke-70, melindungi investor minoritas
peringkat ke-88, pembayaranpajakperingkatke- 148, kegiatan ekspor-impor
peringkat ke-105, pelaksanaan kontrak di mata hukum peringkat ke-170, dan
menyelesaikan kepailitan peringkat ke-77.
Aspek hukum memegang peranan penting dalam menentukan peringkat
ini karena erat kaitannya dengan proses perizinan dan proses hukum lainnya.
Oleh karena itu, selain meningkatkan daya saing ekonomi, Indonesia juga wajib
meningkatkan kepastian dan kemudahan hukum. Tanpa kepastian dan kemudahan
hukum bukan hanya investor asing merasa tidak nyaman, investor dalam negeri
juga terusik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar