Transformasi atau Mati!
FX Laksana Agung Saputra ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
16 Desember 2015
Tahun 2015 adalah titik nadir dari
hampir semua pelambatan kegiatan ekonomi nasional selama lima tahun terakhir.
Semua berharap titik balik akan terjadi pada 2016. Namun, pertanyaan
mendasarnya, titik balik seperti apa yang diinginkan?
Belajar dari sejarah, Indonesia
telah mengalami sejumlah titik balik dari situasi ekonomi yang sulit. Namun,
polanya selalu sama, yakni titik balik itu lebih sebagai limpasan situasi
perekonomian global ketimbang perencanaan nasional jangka menengah-panjang.
Bisa dikatakan, nihil prinsip proaktivitas di dalamnya.
Akibatnya, Indonesia hanya
berkutat pada situasi jangka pendek. Indonesia tidak pernah bisa memanfaatkan
keuntungan pada satu era untuk kepentingan jangka menengah-panjang. Yang
terjadi adalah, ketika era berganti, Indonesia selalu mulai dari nol.
Satu dekade terakhir bisa disebut
sebagai era komoditas primer. Komoditas yang dimaksud terutama adalah minyak kelapa
sawit, karet, dan batubara. Indonesia habis-habisan mengekspor komoditas
tersebut dalam bentuk mentah dan menuai keuntungan. Hanya itu. Tidak lebih.
Tahun 2015 harus dimaknai sebagai
akhir era tersebut. Alasannya sederhana, tren harga komoditas konsisten
menukik turun dan yang terpenting adalah model ini tidak memberikan nilai
tambah pada perekonomian nasional, menguras sumber daya alam dalam negeri,
dan terbukti tidak berkelanjutan.
Ketika harga komoditas melambung,
pertumbuhan ekonomi terdongkrak. Ini yang menjelaskan mengapa pertumbuhan
ekonomi Indonesia selama periode 2010-2012 selalu di atas 6 persen. Puncaknya
terjadi pada 2011 ketika pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 persen.
Namun, setelah itu, pertumbuhan
ekonomi terus melambat sejalan dengan menurunnya harga. Dari 2012 hingga
2014, pertumbuhan ekonomi berturut-turut adalah 6,23 persen, 5,78 persen, dan
5,02 persen. Titik nadirnya terjadi tahun ini. Proyeksinya sekitar 4,8
persen.
Tahun depan, pertumbuhan ekonomi
global akan menguat. Bank Dunia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi global
meningkat dari proyeksi 2,8 persen tahun ini menjadi 3,2 persen pada
2016-2017.
Untuk kelompok negara berkembang,
termasuk Indonesia, pertumbuhan tahun ini diperkirakan sebesar 4,4 persen.
Tahun 2016 dan 2017, pertumbuhannya masing-masing naik menjadi 5,2 persen dan
5,4 persen. Limpasannya tentu juga akan dinikmati Indonesia. Namun, tentu
kita tidak ingin melanjutkan sejarah menyia-nyiakan momentum setiap titik
balik yang pernah ada.
Keseimbangan
baru
Kini, jagat ekonomi sedang mencari
keseimbangan baru. Era lama mulai ditinggalkan. Era baru masih samar-samar
bentuknya. Tahun 2015 dan 2016 adalah jembatan transformasinya.
Tiongkok mencari keseimbangan
baru. Amerika Serikat tengah melakukan normalisasi. Sementara harga komoditas
primer di pasar internasional jatuh. Semua ini tentang transformasi
eksternal. Di dalam negeri, banyak hal telah usang, terutama paradigma.
Untuk bertahan dan terbang,
ekonomi Indonesia tidak bisa tidak harus bertransformasi pula di semua aspek.
Setidaknya yang perlu menjadi prioritas adalah transformasi pada kebijakan
pertumbuhan ekonomi dan kebijakan fiskal.
Transformasi kebijakan pertumbuhan
ekonomi krusial. Sebab, kebijakan pertumbuhan ekonomi selama sepuluh tahun
terakhir terbukti melebarkan ketimpangan ekonomi. Pada 2000, koefisien gini
sebagai indikatornya adalah 30, sedangkan pada 2014 melebar menjadi 0,41.
Ini terjadi ketika pertumbuhan
ekonomi selama sepuluh tahun terakhir rata-rata 6 persen. Artinya,
pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati kelompok kaya.
Tanpa transformasi, kebijakan
pertumbuhan ekonomi hanya akan makin dikapitalisasi oleh kelompok kaya
sehingga kelompok miskin kian tertinggal. Mengutip laporan Bank Dunia,
konsumsi oleh 10 persen warga terkaya di Indonesia pada 2002 setara dengan 42
persen warga termiskin. Pada 2014, konsumsi 10 persen warga terkaya sudah
setara dengan 54 persen warga termiskin.
Kebijakan pertumbuhan ekonomi,
dalam hal ini sumber-sumber pertumbuhan ekonomi, mesti bertransformasi.
Sumber-sumber baru mesti mulai disiapkan dengan cepat. Pilihan paling
rasional adalah industri manufaktur untuk menggantikan ekspor komoditas
primer.
Paket kebijakan ekonomi pemerintah
yang sudah mencapai tujuh jilid mayoritas ditujukan untuk pengembangan industri
manufaktur. Hal ini bisa dibaca sebagai langkah awal. Meski demikian, masih
banyak agenda lanjutan yang harus dikerjakan.
Dari aspek kebijakan fiskal,
pemerintah sudah mulai melakukan reformasi, tetapi masih minim. Fiskal
menjadi penting karena merupakan instrumen terkuat pemerintah untuk
menstimulasi ekonomi sekaligus mengurangi ketimpangan ekonomi.
Reformasi yang telah dan akan
segera dilakukan adalah restrukturisasi subsidi bahan bakar minyak per
November 2014 dan subsidi listrik mulai 2016. Reformasi transfer ke daerah
juga mulai dilakukan pada 2016. Namun, yang juga penting adalah peningkatan
kualitas belanja anggaran pusat dan daerah.
Yang perlu disadari, risiko
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah bergeser dari sebelumnya
subsidi energi menjadi penerimaan pajak. Sampai dengan 2014, defisit APBN
hampir selalu melebar gara-gara subsidi energi membengkak. Setelah pemerintah
memotong subsidi bahan bakar minyak per November 2014, subsidi energi tidak
lagi menjadi isu. Mulai tahun ini, penggantinya adalah isu penerimaan pajak.
Kementerian Keuangan
memperkirakan, penerimaan pajak sampai dengan akhir 2015 adalah 85 persen
dari target. Dari ukuran capaian terhadap target, ini adalah yang terendah
selama satu dekade terakhir.
Dengan asumsi total penyerapan
anggaran belanja mencapai 92 persen dari pagu, defisit diperkirakan melebar
menjadi 2,5-2,7 persen terhadap produk domestik bruto. Target APBN Perubahan
2015 adalah 1,9 persen.
Hal yang perlu diwaspadai,
pertumbuhan belanja APBN selama satu dekade terakhir acap kali ditutup dari
utang. Sebab, pertumbuhan pajak sangat lambat. Pajak adalah sumber utama
pendapatan negara. Porsinya mencapai lebih dari 70 persen total pendapatan
negara.
Sejak 2009 hingga 2015, realisasi
penerimaan pajak rata-rata tumbuh 12,47 persen. Sementara pada periode yang
sama, realisasi utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara tumbuh nyaris
dua kali lipat, yakni rata-rata 22,79 persen per tahun.
Akibatnya, rasio utang terhadap
pajak terus membengkak. Pada 2009, rasio utang terhadap pajak sebesar 27,33
persen. Pada 2014, rasionya naik menjadi 43,6 persen. Tahun ini, rasionya
naik lagi menjadi 45,64 persen. Ini menggunakan asumsi realisasi penerimaan
pajak mencapai 85 persen dari target sebagaimana skenario Kementerian
Keuangan.
Konteks
liberalisasi
Dalam bertransformasi, hal yang
perlu diingat adalah liberalisasi sebagai aturan main perekonomian global
mutakhir. Per 31 Desember 2015, ASEAN mencapai garis finis cetak biru
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Sehari kemudian, ASEAN mulai menjalani
cetak biru etape berikutnya, yakni MEA 2025.
Pada cetak biru pertama, arus
utamanya adalah liberalisasi arus barang. Pada cetak biru kedua, liberalisasi
barang diperluas dan porsi liberalisasi sektor jasa ditambah. Ekonomi digital
juga lebih diperdalam.
Menurut Menteri Perdagangan Thomas
Lembong, Indonesia akan bergabung dengan gugus Perdagangan Bebas Uni Eropa
pada 2017. Menyusul setahun kemudian Kemitraan Trans-Pasifik.
Inti dari liberalisasi adalah
bebasnya arus perdagangan barang dan jasa serta investasi. Ini mensyaratkan
tiap-tiap negara mentransformasikan diri menjadi negara berdaya saing.
Tipsnya sederhana: yang berdaya
saing tinggi akan optimal menuai manfaat. Sebaliknya, yang berdaya saing
lemah akan keteteran. Di luar itu, Indonesia bisa memilih tidak ikut gugus
liberalisasi mana pun yang relevan. Risikonya, ketinggalan gerbong.
Ekonomi Indonesia harus memaknai
2015 sebagai akhir era lama. Tahun 2016 adalah awal era baru. Dalam masa
transisi ini, kredo bombastisnya satu, transformasi atau mati. Perencanaan,
kerja tim, dan komitmen tinggi jadi kunci suksesnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar