Kamis, 17 Desember 2015

Transformasi atau Mati!

Transformasi atau Mati!

FX Laksana Agung Saputra  ;  Wartawan Kompas
                                                      KOMPAS, 16 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 2015 adalah titik nadir dari hampir semua pelambatan kegiatan ekonomi nasional selama lima tahun terakhir. Semua berharap titik balik akan terjadi pada 2016. Namun, pertanyaan mendasarnya, titik balik seperti apa yang diinginkan?

Belajar dari sejarah, Indonesia telah mengalami sejumlah titik balik dari situasi ekonomi yang sulit. Namun, polanya selalu sama, yakni titik balik itu lebih sebagai limpasan situasi perekonomian global ketimbang perencanaan nasional jangka menengah-panjang. Bisa dikatakan, nihil prinsip proaktivitas di dalamnya.

Akibatnya, Indonesia hanya berkutat pada situasi jangka pendek. Indonesia tidak pernah bisa memanfaatkan keuntungan pada satu era untuk kepentingan jangka menengah-panjang. Yang terjadi adalah, ketika era berganti, Indonesia selalu mulai dari nol.

Satu dekade terakhir bisa disebut sebagai era komoditas primer. Komoditas yang dimaksud terutama adalah minyak kelapa sawit, karet, dan batubara. Indonesia habis-habisan mengekspor komoditas tersebut dalam bentuk mentah dan menuai keuntungan. Hanya itu. Tidak lebih.

Tahun 2015 harus dimaknai sebagai akhir era tersebut. Alasannya sederhana, tren harga komoditas konsisten menukik turun dan yang terpenting adalah model ini tidak memberikan nilai tambah pada perekonomian nasional, menguras sumber daya alam dalam negeri, dan terbukti tidak berkelanjutan.

Ketika harga komoditas melambung, pertumbuhan ekonomi terdongkrak. Ini yang menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 2010-2012 selalu di atas 6 persen. Puncaknya terjadi pada 2011 ketika pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 persen.

Namun, setelah itu, pertumbuhan ekonomi terus melambat sejalan dengan menurunnya harga. Dari 2012 hingga 2014, pertumbuhan ekonomi berturut-turut adalah 6,23 persen, 5,78 persen, dan 5,02 persen. Titik nadirnya terjadi tahun ini. Proyeksinya sekitar 4,8 persen.

Tahun depan, pertumbuhan ekonomi global akan menguat. Bank Dunia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi global meningkat dari proyeksi 2,8 persen tahun ini menjadi 3,2 persen pada 2016-2017.

Untuk kelompok negara berkembang, termasuk Indonesia, pertumbuhan tahun ini diperkirakan sebesar 4,4 persen. Tahun 2016 dan 2017, pertumbuhannya masing-masing naik menjadi 5,2 persen dan 5,4 persen. Limpasannya tentu juga akan dinikmati Indonesia. Namun, tentu kita tidak ingin melanjutkan sejarah menyia-nyiakan momentum setiap titik balik yang pernah ada.

Keseimbangan baru

Kini, jagat ekonomi sedang mencari keseimbangan baru. Era lama mulai ditinggalkan. Era baru masih samar-samar bentuknya. Tahun 2015 dan 2016 adalah jembatan transformasinya.

Tiongkok mencari keseimbangan baru. Amerika Serikat tengah melakukan normalisasi. Sementara harga komoditas primer di pasar internasional jatuh. Semua ini tentang transformasi eksternal. Di dalam negeri, banyak hal telah usang, terutama paradigma.

Untuk bertahan dan terbang, ekonomi Indonesia tidak bisa tidak harus bertransformasi pula di semua aspek. Setidaknya yang perlu menjadi prioritas adalah transformasi pada kebijakan pertumbuhan ekonomi dan kebijakan fiskal.

Transformasi kebijakan pertumbuhan ekonomi krusial. Sebab, kebijakan pertumbuhan ekonomi selama sepuluh tahun terakhir terbukti melebarkan ketimpangan ekonomi. Pada 2000, koefisien gini sebagai indikatornya adalah 30, sedangkan pada 2014 melebar menjadi 0,41.

Ini terjadi ketika pertumbuhan ekonomi selama sepuluh tahun terakhir rata-rata 6 persen. Artinya, pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati kelompok kaya.

Tanpa transformasi, kebijakan pertumbuhan ekonomi hanya akan makin dikapitalisasi oleh kelompok kaya sehingga kelompok miskin kian tertinggal. Mengutip laporan Bank Dunia, konsumsi oleh 10 persen warga terkaya di Indonesia pada 2002 setara dengan 42 persen warga termiskin. Pada 2014, konsumsi 10 persen warga terkaya sudah setara dengan 54 persen warga termiskin.

Kebijakan pertumbuhan ekonomi, dalam hal ini sumber-sumber pertumbuhan ekonomi, mesti bertransformasi. Sumber-sumber baru mesti mulai disiapkan dengan cepat. Pilihan paling rasional adalah industri manufaktur untuk menggantikan ekspor komoditas primer.

Paket kebijakan ekonomi pemerintah yang sudah mencapai tujuh jilid mayoritas ditujukan untuk pengembangan industri manufaktur. Hal ini bisa dibaca sebagai langkah awal. Meski demikian, masih banyak agenda lanjutan yang harus dikerjakan.

Dari aspek kebijakan fiskal, pemerintah sudah mulai melakukan reformasi, tetapi masih minim. Fiskal menjadi penting karena merupakan instrumen terkuat pemerintah untuk menstimulasi ekonomi sekaligus mengurangi ketimpangan ekonomi.

Reformasi yang telah dan akan segera dilakukan adalah restrukturisasi subsidi bahan bakar minyak per November 2014 dan subsidi listrik mulai 2016. Reformasi transfer ke daerah juga mulai dilakukan pada 2016. Namun, yang juga penting adalah peningkatan kualitas belanja anggaran pusat dan daerah.

Yang perlu disadari, risiko Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah bergeser dari sebelumnya subsidi energi menjadi penerimaan pajak. Sampai dengan 2014, defisit APBN hampir selalu melebar gara-gara subsidi energi membengkak. Setelah pemerintah memotong subsidi bahan bakar minyak per November 2014, subsidi energi tidak lagi menjadi isu. Mulai tahun ini, penggantinya adalah isu penerimaan pajak.

Kementerian Keuangan memperkirakan, penerimaan pajak sampai dengan akhir 2015 adalah 85 persen dari target. Dari ukuran capaian terhadap target, ini adalah yang terendah selama satu dekade terakhir.

Dengan asumsi total penyerapan anggaran belanja mencapai 92 persen dari pagu, defisit diperkirakan melebar menjadi 2,5-2,7 persen terhadap produk domestik bruto. Target APBN Perubahan 2015 adalah 1,9 persen.

Hal yang perlu diwaspadai, pertumbuhan belanja APBN selama satu dekade terakhir acap kali ditutup dari utang. Sebab, pertumbuhan pajak sangat lambat. Pajak adalah sumber utama pendapatan negara. Porsinya mencapai lebih dari 70 persen total pendapatan negara.

Sejak 2009 hingga 2015, realisasi penerimaan pajak rata-rata tumbuh 12,47 persen. Sementara pada periode yang sama, realisasi utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara tumbuh nyaris dua kali lipat, yakni rata-rata 22,79 persen per tahun.

Akibatnya, rasio utang terhadap pajak terus membengkak. Pada 2009, rasio utang terhadap pajak sebesar 27,33 persen. Pada 2014, rasionya naik menjadi 43,6 persen. Tahun ini, rasionya naik lagi menjadi 45,64 persen. Ini menggunakan asumsi realisasi penerimaan pajak mencapai 85 persen dari target sebagaimana skenario Kementerian Keuangan.

Konteks liberalisasi

Dalam bertransformasi, hal yang perlu diingat adalah liberalisasi sebagai aturan main perekonomian global mutakhir. Per 31 Desember 2015, ASEAN mencapai garis finis cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Sehari kemudian, ASEAN mulai menjalani cetak biru etape berikutnya, yakni MEA 2025.

Pada cetak biru pertama, arus utamanya adalah liberalisasi arus barang. Pada cetak biru kedua, liberalisasi barang diperluas dan porsi liberalisasi sektor jasa ditambah. Ekonomi digital juga lebih diperdalam.

Menurut Menteri Perdagangan Thomas Lembong, Indonesia akan bergabung dengan gugus Perdagangan Bebas Uni Eropa pada 2017. Menyusul setahun kemudian Kemitraan Trans-Pasifik.

Inti dari liberalisasi adalah bebasnya arus perdagangan barang dan jasa serta investasi. Ini mensyaratkan tiap-tiap negara mentransformasikan diri menjadi negara berdaya saing.

Tipsnya sederhana: yang berdaya saing tinggi akan optimal menuai manfaat. Sebaliknya, yang berdaya saing lemah akan keteteran. Di luar itu, Indonesia bisa memilih tidak ikut gugus liberalisasi mana pun yang relevan. Risikonya, ketinggalan gerbong.

Ekonomi Indonesia harus memaknai 2015 sebagai akhir era lama. Tahun 2016 adalah awal era baru. Dalam masa transisi ini, kredo bombastisnya satu, transformasi atau mati. Perencanaan, kerja tim, dan komitmen tinggi jadi kunci suksesnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar