Ben Anderson, Sang Pembangkang
Vedi R Hadiz ; Guru Besar Masyarakat dan Politik Asia,
Murdoch University; Mulai Januari 2016, Guru Besar Kajian Asia pada
University of Melbourne
|
KOMPAS,
16 Desember 2015
Profesor Benedict Anderson
meninggal di Jawa Timur pada 13 Desember lalu. Selain keluarganya, yang
merasa paling kehilangan adalah para cendekiawan dengan keahlian studi
Indonesia dan Asia Tenggara. Nama besar Ben Anderson yang dibangun sejak
dekade 1960-an sudah lama melampaui wilayah keahlian utamanya.
Di tingkat global, Anderson
dikenal sebagai teoretisi fenomena nasionalisme dengan diterbitkannya buku Imagined Communities pada 1983. Selama
kariernya, pengaruh Anderson membentang dari ilmu politik, sosiologi,
antropologi, hingga bahasa dan sejarah. Namun, ada benang merah dalam
kariernya, yaitu kebiasaan untuk "membangkang" pada konvensi,
terutama pada topik akademis yang digelutinya.
Kadang kala kebiasaan itu disertai
pembangkangan politik sehingga Anderson dikenal sebagai pengkritik kebijakan
luar negeri Pemerintah Amerika Serikat sejak zaman Perang Vietnam. Ia juga
mengkritik kebijakan pemerintah negeri yang pernah ditelitinya, terutama
dalam masalah demokrasi dan HAM.
Di awal karier, ia
"membangkang" kepada gurunya sendiri, pendiri Studi Indonesia di
Universitas Cornell, George McTurnan Kahin. Dalam karya Kahin tentang
revolusi nasional Indonesia, perhatian condong diberikan kepada tokoh politik
seperti Sutan Sjahrir, yang mewakili kelompok intelektual berhaluan liberal
dan sosial demokrat. Namun, dalam buku Java
in a Time of Revolution (1972), Anderson justru menonjolkan peranan
kelompok pemuda radikal dan marjinal, terutama yang mengelilingi tokoh kiri,
Tan Malaka.
Perhatian Anderson kepada
Indonesia sejak muda menjadikannya pengecam rezim Orde Baru. Dalam suatu
percakapan, Anderson pernah mengatakan bahwa "dosa" utama Orde Baru
adalah upaya pembodohan sistematis terhadap rakyat.
Menurut Anderson, diskursus
politik Orde Baru telah menumpulkan imajinasi satu generasi bangsa yang tidak
bisa membayangkan perkembangan negerinya sebagai bagian dari gerak perubahan
dunia. Biang keladinya adalah anggapan bahwa sejarah dan budaya Indonesia
begitu unik sehingga tidak bisa diperbandingkan dengan negeri lain. Tujuan
rezim adalah mematikan tuntutan demokratisasi dari dalam dengan menyatakannya
sebagai sesuatu yang asing.
Ironisnya, Anderson telah
menyumbang pada legitimasi diskursus tersebut. Dulu banyak ilmuwan Indonesia
yang membenarkan otoriterisme dengan menunjuk pada salah satu karya Anderson.
Dipengaruhi sosiologi Weberian, artikel ini, The Idea of Power in Javanese Culture, menyatakan, pengertian
kekuasaan dalam kebudayaan Jawa berbeda dengan Barat sehingga berakibat
keengganan berbagi kekuasaan serta penerimaan terhadap pengumpulan kekayaan
lewat kuasa politik.
Saya pernah menanyakan kepada
Anderson bagaimana perasaannya bahwa
karyanya dipakai sebagai bagian apologia Orde Baru. Seingat saya, dia
menerima saja kenyataan itu, tetapi disertai nasihat menarik (waktu itu saya
baru mulai berpikir untuk menempuh jalan sebagai cendekiawan).
Pertama, ia membuat perumpamaan
bahwa setiap karya tulis bagaikan anak sang penulis. Kedua, ia mengingatkan,
setelah membesarkan anak, kita tidak punya kendali terhadap jalan
kehidupannya di kemudian hari-sebagai misal bisa saja anak tersebut menikahi
orang yang tidak disukai orangtuanya. Dengan demikian, ia dapat menerima
kenyataan salah satu anaknya telah "menikah" dengan Orde Baru yang
tidak disukainya.
Karya Idea of Power sebetulnya dimulai sebagai pembangkangan juga.
Pembangkangan terhadap ilmu sosial Amerika Utara yang sempat didominasi
sejenis struktural fungsionalisme dan 'teori sistem' yang mekanistis. Bagi
Anderson, perspektif ini gagal menangkap sistem simbolis yang
mengorientasikan perilaku politik.
Untuk sebagian, cara berpikir ini
pula yang menggiring Anderson pada Imagined
Communities yang terkenal. Dalam buku tersebut, Anderson menyatakan,
nasionalisme membutuhkan rasa persamaan dalam suatu komunitas luas yang
anggotanya tidak saling mengenal langsung. Solidaritas tersebut lahir dari
industri modern, seperti koran yang dibaca bersama (dalam bahasa yang
dipahami bersama) atau mungkin buku-buku kewarganegaraan di sekolah.
Memang Anderson semakin berupaya
untuk memahami perubahan budaya dengan cara yang bersinggungan dengan pola
kajian neo-Marxian yang mementingkan perkembangan material, bukan saja
gagasan, dalam masyarakat. Dalam karya-karya Anderson tentang Thailand, kita
menemukan perhatian terhadap persoalan konflik kelas dan hubungan negara dan
masyarakat.
Ironi
dan kontradiksi
Seiring dengan itu, ironi dan
kontradiksi sejarah semakin menjadi ciri tulisan Anderson, bahkan dalam karya
belakangan tentang anarkisme dan nasionalisme. Anderson menunjukkan bagaimana
politik anarkisme-yang amat anti otoritas-justru membantu mewujudkan
imajinasi tentang negara-bangsa Filipina modern.
Menurut hemat saya, kegemaran pada
ironi pertama kali terwujud dari pengalaman Anderson dengan Indonesia. Sebab,
sejak masa awal Orde Baru, ia sudah menyadari bahwa sebagian pemuda
serampangan dan radikal yang pernah dipujinya telah menjadi tua dan korup,
sebagai jenderal dan birokrat zaman Soeharto yang bahkan melarangnya memasuki
Indonesia.
Seiring dengan itu, budaya
Jawa-yang pada masa muda dielukannya sebagai alternatif terhadap budaya Barat
yang dirasakan semakin kering dan pragmatis-telah membinasakan Indonesia
revolusioner yang dicintainya karena semakin menonjolkan aspek feodal dan
otoriter.
Sejak diperbolehkan kembali ke
Indonesia, Anderson amat perhatian terhadap kreativitas orang Indonesia,
terutama pemudanya. Namun setelah reformasi, kalangan cendekiawan sering
menyayangkan bahwa ilmuwan Indonesia jarang melahirkan karya yang mempunyai
nilai teoretis dan komparatif.
Karena itu, ada satu ironi lagi:
Ben Anderson-orang Irlandia yang lahir di Tiongkok dan berkarier di
AS-menggunakan pengalaman dan pengetahuannya tentang Indonesia untuk
melahirkan karya besar, seperti Imagined
Communities, yang justru amat kaya dengan nilai seperti itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar