Rabu, 16 Desember 2015

Stop Perdagangkan Manusia ke Mesir!

Stop Perdagangkan Manusia ke Mesir!

Dody Harendro  ;  Staf KBRI di Kairo, Mesir
                                                KORAN SINDO, 15 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Maryani, TKI Indonesia di Mesir asal NTB, jatuh dari lantai lima dalam upayanya melarikan diri dari rumah majikan hanya setelah dua hari bekerja. Lengan kiri patah, pinggul retak, dan kondisi mental tidak stabil. Ngadiyem, asal Bantul, meninggal pada usia 57 tahun setelah selalu berpindah majikan hingga stroke dan lumpuh sebagian. Wahyuni dan Rita bekerja selama tiga bulan dengan beban terlalu berat, waktu istirahat minim, dan hanya diberikan makanan sisa.

Melarikan diri ke KBRI Kairo, namun kemudian diketahui bahwa telah terdapat laporan kepolisian atas kasus pencurian dan telah divonis pengadilan dengan hukuman tiga tahun penjara. Sarah Mariam, TKI di Kuwait yang kemudian menikah dengan WN Mesir, menjadi korban KDRT dengan tiga anaknya. Proses cerai dan perebutan hak asuh serta sekolah anak telah dibantu Perwakilan RI.

Namun, suami melakukan teror, baik kepada yang bersangkutan juga kepada para pegawai KBRI. Iis Sophia Junaedi ditelantarkan di depan Kantor Konsuler dalam kondisi sekarat. Sebelum dilarikan ke Unit Gawat Darurat, dia terlebih dahulu meninggal di klinik. Almarhumah ternyata baru menginjak Mesir selama dua minggu, bagaimana seseorang dalam keadaan sakit keras bisa berangkat dari Indonesia dan diterima di Mesir dengan hanya visa wisata?

Serial kemalangan demikian tampaknya tidak terlalu seksi untuk dibahas atau mungkin tidak sebanding dengan keberuntungan para TKI ilegal lainnya maupun besarnya jumlah remitansi para pahlawan devisa. Persis seperti yang dijelaskan oleh Menaker Hanif Dhakiri bahwa kawasan Timur Tengah sangat berisiko terhadap para TKI informal, baik dari sisi struktur hukum, kultur, maupun adat istiadat serta kondisi masyarakatnya secara umum saat ini.

Dalam hal ini, Mesir tak jauh berbeda dengan negara Timur Tengah lainnya. Dari sisi aturan, Mesir memiliki sejumlah aturan yang tidak menguntungkan bagi penata laksana rumah tangga (PLRT) dari Indonesia, apalagi yang datang secara ilegal. Kondisi Mesir saat ini pun tidak kondusif dari sisi keamanan, terutama terhadap pekerja informal pada sektor domestik. Terkait kultur, sejumlah nilai yang perlu dipahami terkait relasi antara pekerja dan majikan adalah bangsa Mesir memiliki karakter asertif dan sangat bangga terhadap peradabannya.

Mesir sangat ekspresif dan mudah memperlihatkan emosinya, baik dalam hal positif maupun sebaliknya. Solidaritas nasionalisme jika berhadapan dengan bangsa asing pun tinggi. Logis kiranya bahwa selain tercipta kasta dalam hubungan majikan dan pekerja, tidak jarang juga para PLRT yang berhasil melarikan diri dianggap telah mencuri dan diperlakukan sebagai satu-satunya pihak yang salah karena bekerja dan tinggal di Mesir secara ilegal.

Dari sisi adat istiadat, terdapat sistem kafalah atau sponsor, di mana employer berkuasa penuh atas pergerakan dan aktivitas pekerjanya, termasuk menahan paspor (identitas) sebagai jaminan atas sejumlah uang yang telah dibayar kepada penyalur (sponsor)-nya. Pekerja tidak akan dapat berpindahpindah majikan untuk mencari kondisi kerja maupun gaji yang lebih baik karena tersandera oleh sponsor.

Faktor lain adalah keberpihakan sejumlah LSM Mesir bidang perlindungan buruh migran dan kelompok rentan ternyata terdistorsi oleh nasionalisme sebagai bangsa Mesir. Dalam sejumlah kasus, beberapa LSM belum akan menanggapi serius kasus yang dialami warga asing jika tidak terdapat penganiayaan atau bukti fisik lainnya yang dilakukan oleh WN Mesir. Terjemahan eksploitasi menjadi kabur dan para PLRT hanya dianggap sebagai economic migrants yang menyalahi aturan imigrasi dan memanfaatkan celah izin bekerja di Mesir.

Selain itu, menumpuknya beban finansial penanganan kasus ini, baik kebutuhan keseharian maupun layanan advokasi pengacara, juga membuat sejumlah LSM menutup shelter penampungannya.

Persaingan dalam kompetisi pasar PLRT di Mesir juga tidak sederhana. Pertama, rakyat Mesir sendiri. Dengan populasi terbesar di Timur Tengah (90 juta jiwa), secara tradisional WN Mesir mencari lapangan kerja di berbagai negara di kawasan karena tingkat pengangguran yang tinggi di dalam negeri yaitu 12,8% (Juni 2015). Sebesar 26% rakyat Mesir hidup di bawah garis kemiskinan dan persentase yang sama juga ditunjukkan pada tingkat buta huruf.

Walaupun pendapatan per kapita tidak jauh dengan Indonesia (USD3400/tahun), angka ini semakin menunjukkan disparitas kemakmuran yang tinggi antara golongan kaya dan miskin. Kedua, para pengungsi (refugee ) dari wilayah konflik baik dari Arab maupun Afrika Utara. Sejumlah 70.000 pengungsi Palestina, 12.600 asal Somalia, 30.000 Sudan, dan 5.000 dari Ethiopia (UNHCR 2015) adalah komposisi terbesar pengungsi di Mesir.

Dalam praktiknya, walaupun terdapat program dan tunjangan, baik dari Komisaris Tinggi Urusan Pengungsi PBB maupun IOM (Organisasi Internasional untuk Migrasi) dan LSM internasional lainnya, para pengungsi tidak jarang juga bekerja pada sektor-sektor domestik. Ketiga , mahasiswa asing. Mesir merupakan salah satu negara tujuan mahasiswa, khususnya pendalaman Islam pada Universitas Al-Azhar.

Proses masuk secara prosedural tidak sulit bagi yang memiliki latar belakang pendidikan agama sebelumnya dan dari sisi finansial, Al-Azhar juga sangat “bersahabat”. Pemerintah Mesir pun memberikan kemudahan (dan pengertian), baik dalam hal izin tinggal maupun kesempatan bekerja maupun berbisnis. Dari sekitar 50.000 mahasiswa tersebut, sebagiannya berasal dari keluarga dengan ekonomi sederhana yang kemudian mencari pengalaman hidup di samping aktivitas akademisnya.

Tidak jarang juga di antara mereka menjadi domestic worker pada rumah WN Mesir sehingga menjadi kompetitor tambahan bagi TKI PLRT. Grand Syeikh Al- Azhar sangat tidak menganjurkan para mahasiswa untuk bekerja, bahkan dalam beberapa kesempatan telah memanggil dan memperingati keras untuk mengeluarkan dan mendeportasi mahasiswa yang kedapatan bekerja pada WN Mesir.

Dengan komposisi sedemikian, para penyalur berada pada posisi di mana demand yang jauh lebih besar daripada supply . Namun, tingginya permintaan ini berbanding terbalik dengan daya tawar PLRT yang justru semakin rendah mengingat berbagai segi di atas dimulai dari sisi hukum, kultur, dan adat-istiadat yang memang tidak pernah kondusif sedari awal.

Fakta bahwa masih saja terdapat pihak yang mengambil keuntungan dari kemalangan bangsa sendiri dan bahkan bersembunyi di balik alibi berbuat kebaikan mencerminkan kualitas bangsa yang rendah. Ketika pemerintah tengah berusaha mengubah image sebagai bangsa pengirim PLRT, namun tetap bergelut dengan dilema kurangnya lapangan kerja dan berharganya devisa dari TKI, para pihak yang telanjur mencari keuntungan dari bisnis ini seharusnya dapat berhenti berpurapura bahwa yang mereka dapatkan selama ini berasal dari sumber yang halal.

Program pembukaan shelter pada perwakilan juga kebijakan pemulangan pun menjadi siasia. Shelter hanya dijadikan safe haven bagi PLRT yang telah bosan bekerja dan ingin pulang ke Tanah Air secara gratis, namun beberapa waktu kemudian kembali untuk pekerjaan yang sama. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus mengoptimalkan upaya penyadaran. Program pemberdayaan dan peningkatan ekonomi telah berjalan, namun kesadaran untuk lebih peduli terhadap diri sendiri menjadi tertutupi dengan iming-iming “bekerja di luar negeri”.

Kemudian para TKI juga harus diberi pemahaman bahwa dengan mengedepankan logika sendiri secara tidak langsung mereka juga menjadi bagian dari para pembujuk dan perayu dan secara tidak langsung ikut berperan dalam penganiayaan, penelantaran, pemerkosaan, bahkan meninggalnya rekan-rekan mereka lainnya.

Motor utama permasalahan TKI PLRT adalah para penyalur dan sebelum melebar pada tuntutan untuk menghentikan “penyalur internasional”, para penyalur dari bangsa sendiri yang sampai hati untuk menjadikan saudaranya sebagai “budak” di negeri orang harus dihentikan.

Tidak ada kebaikan dalam mengirim saudara sendiri dalam keadaan sehat ke luar negeri dan kembali dengan “tidak utuh”, baik gangguan psikologis, kerusakan fisik, atau bahkan hilangnya nyawa. Stop perdagangkan bangsa sendiri ke Mesir!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar