Rabu, 16 Desember 2015

Catatan Pilkada Serentak

Catatan Pilkada Serentak

Janedjri M Gaffar  ;  Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang
                                                KORAN SINDO, 15 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pilkada serentak yang diamanatkan oleh UU Nomor 1 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 telah dilaksanakan pada 9 Desember lalu. Penyelenggaraan pilkada serentak diterapkan karena dipandang lebih efisien dari sisi penyelenggaraan serta dimaksudkan agar stabilitas sosial, politik, dan penyelenggaraan pemerintahan tidak terlalu sering terganggu oleh eskalasi suhu politik dari pelaksanaan pilkada yang terus-menerus. Pilkada serentak dilaksanakan secara bertahap untuk menuju pilkada serentak secara nasional pada 2027.

Pilkada serentak 2015 ini merupakan pilkada serentak tahap pertama yang akan dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu 2017, 2018, 2020, 2022, dan 2023. Sebagai pelaksanaan yang pertama, semua hal yang terjadi harus mendapat perhatian dari semua pihak untuk perbaikan pengaturan dan pelaksanaan pilkada serentak selanjutnya. Secara umum pilkada serentak yang lalu berjalan baik, setidaknya jika diukur dari segi keamanan dan jadwal pelaksanaan.

Dari sisi keamanan, walaupun awalnya daerah tertentu telah diwaspadai munculnya gejolak dan konflik sosial, itu tidak terjadi. Dari sisi waktu pelaksanaan, pemungutan suara dapat dilakukan sesuai jadwal meski ada lima daerah yang harus ditunda. Kendati demikian, setidaknya terdapat tiga hal yang patut dicatat yaitu tentang pilkada di daerah yang ditunda, tingkat partisipasi, dan politik uang.

Penundaan Pilkada

Terdapat lima daerah yang mengalami penundaan pilkada yaitu di Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak, Kota Pemantangsiantar, Kabupaten Simalungun, dan Kota Manado. Walau penundaan di lima daerah ini tidak menghilangkan makna pilkada serentak, tetap harus mendapat perhatian khusus dengan harapan tidak ada penundaan lagi pada pilkada serentak 2017.

Penundaan tersebut terjadi karena persoalan hukum sengketa dalam proses pencalonan yang belum ada putusan akhir, sedangkan pemungutan suara harus dilakukan sesuai jadwal. Penyelesaian sengketa tata usaha negara pilkada, sebagaimana diatur dalam Pasal 153 dan 154 UU Pilkada, harus melalui upaya administratif di Bawaslu provinsi dan/ atau Panwaslu kabupaten/ kota sebelum diajukan ke PT TUN.

Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara pilkada ke PT TUN dilakukan paling lama tiga hari setelah dikeluarkan keputusan Bawaslu provinsi dan/atau Panwaslu kabupaten/ota. Putusan PT TUN dapat diajukan kasasi ke MA sebagai upaya hukum terakhir. Keseluruhan waktu yang dibutuhkan untuk proses perkara di pengadilan adalah 64 hari.

Agar tidak lagi terdapat penundaan, harus dilakukan penyesuaian antara waktu yang dibutuhkan keseluruhan sengketa TUN dan jadwal tahapan pilkada, khususnya dari tahapan kampanye hingga pemungutan suara. Demikian pula waktu untuk penyelesaian sengketa juga dapat diperpendek misalnya tujuh hari untuk PT TUN dan 14 hari untuk kasasi MA. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah kapan pilkada untuk lima daerah itu akan dilakukan.

Jika merujuk pada Pasal 201 UU Pilkada, pelaksanaan pilkada serentak adalah pada Desember 2015. Karena itu, harus diupayakan pelaksanaan pilkada untuk lima daerah itu adalah pada Desember 2015 ini. Jika tidak dapat dilaksanakan bulan ini, akan terdapat persoalan hukum karena tentu tidak dapat dilaksanakan pada 2016 karena UU Pilkada tidak menyebutkan ada pilkada pada 2016.

Kalaupun akan dilaksanakan pada 2016, tentu membutuhkan perubahan UU Pilkada atau perppu. Jika dilaksanakan secara serentak pada 2017, tentu akan menimbulkan persoalan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena tiadanya jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam waktu yang cukup lama.

Tingkat Partisipasi

Tingkat partisipasi pemilih merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian publik. KPU menargetkan tingkat partisipasi sebesar 77%, namun data hingga saat ini tingkat partisipasi ada pada angka 73,22%. Hal lain yang lebih penting adalah ada tingkat partisipasi yang sangat rendah misalnya di Medan yang hanya sekitar 30%. Tentu ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi.

Pembatasan model kampanye dan penyediaan alat peraga oleh KPU tentu ikut memengaruhi ketersebarluasan informasi dan antusiasme pemilih. Dari sisi peserta tampaknya juga memiliki pengaruh kuat. Partisipasi akan cenderung kecil di daerah dengan pasangan calon tunggal, adanya pasangan calon yang superior, atau semua pasangan calon tidak dikenal atau setidaknya dinilai sama saja oleh masyarakat.

Karena itu, untuk meningkatkan partisipasi menjadi tugas, baik penyelenggara maupun partai politik sebagai pengusung pasangan calon. KPU perlu melakukan upaya-upaya yang kreatif untuk menarik perhatian dan antusiasme masyarakat menggunakan hak pilih. Partai politik dituntut untuk dapat mengajukan pasangan calon yang berkualitas dan memiliki akar kuat di dalam masyarakat.

Politik Uang

Kekhawatiran terbesar dari pilkada adalah maraknya politik uang karena dampaknya yang sangat besar terhadap kualitas demokrasi dan keterpilihan pasangan calon. Kita bersyukur bahwa isu politik uang tidak mendominasi pilkada serentak yang lalu walaupun masih ditengarai politik uang dalam skala kecil.

Sekecil apa pun politik uang tetap harus diwaspadai karena tidak saja mencederai demokrasi lokal, tetapi juga dapat menyandera penyelenggaraan pemerintahan daerah pascapilkada. Pengaturan dan penegakan hukum untuk meminimalisasi politik uang harus ditingkatkan pada pilkada mendatang.

Pengaturan yang lebih detail dan tegas diperlukan, terutama untuk pembatasan dan pelaporan dana kampanye pasangan calon. Hal itu tentu harus diikuti dengan upaya pengawasan dan penegakan hukum, baik oleh penyelenggara maupun aparat penegak hukum. Dengan melihat pada pelaksanaan pilkada yang telah berjalan lancar, potensi jumlah perkara perselisihan hasil pilkada kemungkinan tidak sebesar pelaksanaan pilkada sebelumnya.

Apalagi telah ada ketentuan UU yang membatasi selisih suara yang memenuhi syarat untuk dapat diajukan ke MK. Jika melihat pada hasil pilkada sementara, daerah yang selisih hasil pilkadanya memenuhi syarat diajukan ke MK sesungguhnya tidaklah banyak. Meski demikian, tentu kembali kepada pasangan calon kepala daerah. Hal itu akan membuktikan tingkat kematangan kita dalam berdemokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar