Rabu, 16 Desember 2015

Sejahtera tanpa Kegaduhan

Sejahtera tanpa Kegaduhan

Mohammad Nuh  ;  Dosen Teknik Elektro ITS; Ketua PB NU
                                                    JAWA POS, 10 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MENYIMAK pemberitaan ”papa minta saham” atau penyertaan modal sementara (PMS) Freeport di berbagai media, terutama media sosial, tanda-tandanya masih akan berlangsung lama. Paling tidak sampai akhir tahun 2015. Bahkan, menurut analisis spekulatif, ada empat tahapan desain skenario kasus ini, yaitu (i) pertemuan para pelaku, sudah terjadi, (ii) pelaporan dan pembahasan di MKD, (iii) aksi dan eksekusi politik, serta (iv) konfigurasi politik pasca-eksekusi politik.
Tahap (ii) dan (iii) bukan tahapan konsekutif, tetapi bisa overlap atau paralel. Menurut analisis tersebut, bila tidak terjadi transaksi politik baru dan besar, skenario itu akan dirawat menjadi episode per episode bak sinetron Tukang Bubur Naik Haji (simbolisasi ketidakmungkinan menjadi kemungkinan dan kenyataan).
Pelajaran apa yang bisa diambil? Kalau direnungkan dengan baik, dan bebas dari kepentingan politik praktis, serta masa depan bangsa sebagai orientasi utama, bisa diambil beberapa pelajaran, yaitu sebagai berikut.
Pertama, pentingnya memahami posisi sebagai pejabat publik, termasuk pejabat negara. Sebagai pejabat publik, tidak cukup hanya berpegang pada prinsip kebenaran yang didasarkan atas logika, tetapi juga prinsip kebaikan yang didasarkan pada etika.
Jadi, bukan sekadar benar-salah, tapi pada saat yang bersamaan aspek baik-buruk, kepatutan dan kepantasan, harus menjadi pertimbangan. Karena itu, kasus PMS yang sedang ditangani Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) lebih pada etika, karena objek otoritasnya pada wilayah etika.
Namun sayangnya, MKD justru terjebak pada wilayah logika, bukan etika. Bahkan, pertarungan kepentingan politiknya lebih menonjol. Aneh memang! Ya, memang akan menjadi aneh kalau politik dan etika dipisahkan.
Itulah tontonan paling vulgar dan tidak mendidik tentang politik tanpa etika. Bahkan, oleh media massa tertentu, opini publik dibangun untuk membuat polarisasi sehingga media massa pun kehilangan fungsi mulianya, yaitu sebagai pendidik dan pencerah masyarakat.
Kedua, kasus PMS tidak hanya menyedot perhatian publik yang luar biasa, tetapi juga menimbulkan kegaduhan dan kontraproduktif. Berlarut dan liarnya kasus PMS dan membiarkan penyelesaiannya melalui hukum rimba politik justru akan melemahkan fungsi presiden sebagai kepala negara.
Ingat, presiden Republik Indonesia adalah kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Bisa saja, sebagai kepala pemerintahan (eksekutif), posisinya sama dengan pimpinan legislatif dan yudikatif. Namun, sebagai kepala negara, presiden memiliki kedudukan superioritas dibanding yang lain.
Ketiga, kita perlu mengingatkan kembali bahwa kita memiliki agenda utama sebagai mata pelajaran wajib (kurikuler). Energi (sosial, ekonomi, dan politik) yang kita miliki sangat terbatas. Karena itu, energi yang kita miliki harus difokuskan untuk menyelesaikan mata pelajaran wajib tanpa mengabaikan ekstrakurikulernya. Apa itu mata pelajaran wajibnya?
Antara lain menurunkan angka kemiskinan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta mengura ngi pe ngangguran dengan membuka lapangan kerja baru. Itu adalah janji presiden dan wakil presiden yang terucapkan, tertulis, dan masih tersimpan dengan baik dalam memori publik.
Di antara semua janji tersebut, belum ada yang tercapai. Mempertahankan prestasi tahun sebelumnya saja sudah bagus, malah yang terjadi adalah penurunan. Tentu dengan berbagai alasan. Data-data kuantitatif sengaja tidak disampaikan karena sudah menjadi pengetahuan publik.
Merahnya mata pelajaran wajib tersebut justru yang harus menjadi diskursus, perhatian, dan kehebohan publik. Jangan sampai opini publik kita mengalami pengalihan sehingga hanya sibuk mencermati ekstrakurikuler dan mengabaikan kurikulernya.
Keempat, pentingnya membangun budaya cerdas menuju masyarakat cerdas. Seseorang, organisasi, masyarakat, atau bangsa yang cerdas selalu dicirikan dengan empat hal. (a) Problem solving oriented: setiap menghadapi persoalan, orientasinya hanya satu, yaitu bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut. Bukan justru mempersoalkan persoalan, karena yang dibutuhkan persoalan adalah jawaban. (b) Cost-effectiveness: biaya yang dibutuhkan dalam menyelesaikan persoalan sangat murah dan efektif. Baik biaya sosial, ekonomi, maupun politik. (c) Timely propper: ketepatan dan kecermatan waktu dalam menyelesaikan persoalan. Tidak membiarkan persoalan sehingga melebar ke mana-mana atau hilang ditelan waktu (gone with the wind). Biarkan saja, toh nanti akan hilang sendiri. (d) Ethical corridor: dalam menyelesaikan persoalan tidak boleh melanggar-menabrak aturan dan etika.
Dilihat dari empat ciri tersebut, kita bisa menilai derajat kecerdasan diri, masyarakat, dan bangsa kita. Kecerdasan tidak harus dikaitkan dengan tingkat pendidikan formal, akan tetapi lebih pada kematangan jiwa dan berpikir. Dalam ranah kematangan jiwa dan berpikir itulah bersemai wisdom sebagai puncak dari hierarki pengetahuan. Meminjam istilah Gus Ali Masyhuri, kiai itu harus cerdas, pintar saja tidak cukup.
Kalau mengikuti tahapan analisis spekulatif tersebut, masih ada upaya mengubah konfigurasi politik. Dan ini berpotensi muncul kegaduhan baru sehingga penanganan PMS secara khusus merupakan jalan terbaik.
Bangsa ini memiliki momentum yang luar biasa untuk menjadi bangsa besar, yang semakin sejahtera, adil, dan berperadaban unggul, yaitu momentum 100 Tahun Indonesia Merdeka (2045) dan kebangkitan Asia.
Medan yang kita tempuh bukan lari jarak pendek, melainkan maraton, lari jarak jauh. Dalam maraton diperlukan energi besar dan cerdas serta canggih mengatur ritme. Untuk itu, kita harus berhemat energi (sosial, ekonomi, dan politik) serta menghindari pemborosan. Tidakkah kegaduhan merupakan bagian dari pemborosan energi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar